25.4 C
Jakarta

Menulis itu Melukis dengan Kata

Artikel Trending

KhazanahLiterasiMenulis itu Melukis dengan Kata
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tulisan yang bagus adalah guratan yang mampu membangun emosi pembaca. Bahwa menulis tidak sekadar mengumpulkan kata, disusun menjadi kalimat; kalimat yang dihimpun menjadi paragraf. Lebih dari itu, tulisan mengandung ideologi, pengalaman, pemahaman, hingga keberpihakan penulis. Maka dari itu, tulisan harus memiliki jiwa, yang ketika dibaca dapat membangkitkan sukma.

Saya selalu kagum kepada mereka yang mampu menulis dengan lincah, memadupadankan satu kata dengan kata lainnya; mempertemukan analogi dengan argumentasi; mengawinkan kekayaan kosa kata dengan kedalaman makna. Apabila membaca tulisan yang bagus (dalam perspektif saya, tentu), saya selalu bertanya-tanya, “Bagaimana bisa ia menulis sebagus itu?”

Menulis tidak hanya mendayagunakan nalar, tapi juga memerlukan kreativitas. Dengan nalar, kita akan menulis dengan runut dan logis. Dan dengan kreativitas, kita akan melibatkan perasaan dalam proses penuangan ide dan gagasan dalam tulisan. Nalar dan kreativitas bertemu, kemudian memadu kasih melahirkan buah pikiran yang nyaman dibaca.

Menulis itu melukis dengan kata. Kata yang terdiri dari kumpulan huruf kemudian memiliki arti adalah senjata utama dalam menulis. Ia ibarat garis dalam lukisan, yang kalau saya dalami, garis merupakan kumpulan titik yang bersambung. Lukisan mungkin memiliki elemen yang lebih luas daripada tulisan. Ia tidak hanya bergaris, tapi juga ada warna dan bentuk yang membuatnya lebih kompleks. Tulisan hanya berisikan kata, tapi bagaimana mungkin ia, sebagaimana lukisan, mampu mencipta interpretasi yang kemudian menimbulkan emosi?

Tulisan hanya memakai kata sebagai satu-satunya instrumen penyampai pesan. Walau begitu, bagaimana mungkin tulisan dapat menyihir pembaca menjadi marah sejadi-jadinya, bahkan bahagia setinggi-tingginya, atau mungkin juga marah dan sedih dalam waktu yang sangat singkat, kemudian selanjutnya tertawa terpingkal-pingkal? Sesungguhnya, mengapa kata bisa memiliki kekuatan seperti itu?

Setiap kata memiliki makna yang menempel pada setiap kepala. Ketika setiap makna pada kata dipertautkan dengan makna lain, dan menghasilkan makna yang lebih dalam dan luas, itulah yang ditangkap oleh pikiran sekaligus perasaan. Pikiran mengolah informasi yang ada pada tulisan, perasaan memproduksi emosi. Maka dari itu, menulis itu melukis dengan kata; membangun emosi, citra, hingga nuansa melalui kata-kata.

Setiap elemen yang ada pada lukisan: titik, garis, bidang, ruang, hingga warna, dalam tulisan, yang merepresentasikan seluruhnya adalah kata. Kata memiliki kekuatan magis yang dapat mengonstruksi konsep ruang dalam kehidupan, membangun warna kehidupan; apakah hitam, putih, ataukah menyadarkan bahwa dalam hidup selalu terdapat abu-abu di antara hitam dan putih. Itulah kekuatan kata; dapat mengonkretkan apa yang abstrak, mengabstrakkan apa yang konkret.

BACA JUGA  Profesi Penulis Akan Sirna, Ini Alasannya

Kata-kata dalam tulisan, satu sisi bisa dimaknai sesederhana mungkin. Kesederhanaan kumpulan kata itu bisa kita temukan dalam tulisan-tulisan yang menggunakan “bahasa primer”, yang artinya tidak menggunakan penggambaran karakter, majas, analogi, dan hal lain yang ada pada “bahasa sekunder” yaitu sastra.

Namun, di sisi lain, kata-kata bisa sangat tidak ramah pembaca. Sungguh sulit dipahami. Kumpulan kata yang sulit dipahami tersebut, dipenuhi dengan metafora dan istilah-istilah yang njelimet. Tulisan semacam itu bisa kita temukan di buku-buku filsafat, sastra, hingga pemikiran Islam.

Melukis dari Bacaan

Tidak heran kalau saran pertama yang diberikan para penulis ulung kepada orang-orang yang gemar menulis adalah rajin membaca buku. Membaca banyak buku dahulu, menulis kemudian. Atau, membaca, menulis, dan terus lakukan keduanya. “Banyak buku” berarti kita berupaya menjamah sebanyak mungkin ragam jenis buku, dari buku yang paling mudah dikunyah hingga yang paling alot sekalipun.

Dari aktivitas membaca, otak kita akan menyerap banyak kata. Kata tidak sekadar kata, ada kompleksitas makna dan emosi di dalamnya. Maka memperkaya kosa kata dan terus bermain eksperimen kata dengan menulis adalah suatu hal yang wajib bagi mereka yang ingin belajar menulis. Dengan kekayaan kosa kaya yang kita miliki, semakin mungkin kita akan lihai melukiskan makna dalam untaian kata.

Tulisan yang dilemparkan kepada publik akan diuji kualitasnya. Apakah tulisan itu dapat memberikan kesan yang baik sehingga ketika ada publikasi selanjutnya akan tetap dibaca? Ataukah malah membuat dahi pembaca mengernyit kemudian meminta orang yang menulis lebih banyak berlatih lagi? Di situlah karya kita akan mendapat respons. Kalau responsnya positif, berarti tanda bahwa kita harus meningkatkan kualitas tulisan kita. Kalau responsnya negatif, berarti tanda bahwa kita harus dua-tiga kali lipat meningkatkan kualitas tulisan kita.

Seorang pelukis hebat tidak tercipta dari satu malam. Ia terus belajar bagaimana menggambar bentuk tertentu, kemudian dikombinasikan dengan warna. Ia menyelipkan pesan dalam setiap lukisan, yang bisa ditafsirkan apa saja oleh siapapun yang melihat lukisannya. Begitu pun penulis. Ia bisa melahirkan karya yang besar karena penjelajahan terhadap banyak buku, juga pendalaman yang khidmat secara emosional kepada diri dan lingkungan hidupnya.

Akbar Malik
Akbar Malik
Mahasiswa FIB Undip. Menyukai isu keberagaman, kemanusiaan, dan kebudayaan. Sesekali menulis esai di sejumlah media online.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru