27.3 C
Jakarta

Tantangan Wacana Keagamaan Mahasiswa PTKIN

Artikel Trending

KhazanahTelaahTantangan Wacana Keagamaan Mahasiswa PTKIN
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com-Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengingatkan tentang bahayanya radikalisme di perguruan tinggi. Hasil Penelitian Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) beberapa tahun lalu mengungkapkan bahwa, radikalisme sudah berkembang pada kelompok strategis mahasiswa. Ada sekitar 39% mahasiswa di 15 provinsi yang menunjukkan ketertarikannya pada paham radikal dengan kategori tiga tingkatan, di antaranya: rendah, sedang, tinggi. Kategori tersebut diukur dari seberapa besar keinginan para mahasiswa untuk menolak NKRI dan menginginkan pendirian negara Islam di Indonesia.

Sebenarnya, kalau kita lihat keberadaan organnisasi mahasiswa, kelompok ini rentan sekali disusupi oleh ajaran-ajaran radikal. Keberadaan Gerakan Mahasiswa (Gema) Pembebasan adalah potret ruang aman perkembangan ideologi radikal. Organisasi ini secara frontal mengajak massa di kampus untuk turut serta menyuarakan pendirian negara Islam. Karena organisasi tersebut merupakan sayap HTI di kampus, maka tidak heran bahwa Gema sampai pada hari ini, terus menyuarakan visi HTI sebagaimana aktivis khilafah lainnya.

Setidaknya ada tiga wacana keagamaan yang berkembang di kampus yakni: pertama, propaganda bahwa keselamatan hidup, baik pribadi atau[un bangsa hanya dibisa dirait melalui ketaatan terhadap ajaran Islam, dalam wujud penegakan Islam di tatanan negara. Kedua, propaganda bahwa Islam dengan diancam dengan musuh-musuhnya. Negara-negara Muslim yang memiliki permasalahan seperti Palestina, Muslim Uyghur, menjadi contoh dari propaganda yang disebarkan. Ketiga, ajakan untuk melakukan perang pemikiran untuk melawan ancaman demi kejayaan Islam.

Tiga wacana ini mendapatkan respon dari mahasiswa untuk terus mengasah berpikir kritis dengan memikirkan para umat Muslim yang kerapkali mendapatkan serangan dan kesengsaraan akibat dari negara-negara Barat. Kebencian terhadap negara Barat, menjadi salah satu topik yang nyata dari wacana keagamaan yang berkembang di tatanan kampus.

Fenomena ini radikalisme di perguruan tinggi tidak hanya para perguruan tinggi umum. Akan tetapi juga perguruan tinggi Islam. Berdasarkan hasil riset yang disampaikan oleh Halili, Direktur Riset Setara Institute pada tahun 2019, terdapat 10 perguruan tinggi yang terpapar oleh paham Islam radikalis, salah satunya UIN Jakarta. Kenyataan ini menjadi PR perguruan tinggi Islam untuk melakukan berbagai upaya pencegahan merebaknya radikalisme.

Banyaknya mahasiswa yang terlibat dalam radiaklisme tidak lepas dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah minimnya pengetahuan agama. Mahasiswa yang memiliki pengetahuan agama yang baik, lebih terbuka dalam memahami berbagai pandangan. Faktor eksternal dipengaruhi oleh lingkungan yang membentuk karakter dan kepribadiannya. Selain itu, dakwah yang diminati oleh para mahasiswa, turut berpengaruh terhadap pola pikir dan sikap keagamaan. Penting untuk melihat tren dakwah para mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) untuk memberikan edukasi terkait pemahaman keagamaan agar tidak terjerat dalam kubangan radikalisme.

BACA JUGA  Pendidikan Demokrasi di Lembaga Pendidikan Islam: Upaya Preventif Penyebaran Khilafahisme untuk Anak Muda

Dakwah yang User Friendly

Tahir (2023), dalam penelitiannya menjelaskan bahwa mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) menyukai dakwah yang mudah diterima dengan baik secara akal dan analoginya bisa dipahami oleh para akademisi. Para mahasiswa, yang seluruhnya mengakses media digital, sangat mudah mencari konten dakwah yang banyak direkomendasikan oleh youtube. Beberapa ustaz yang digandrungi oleh mahasiswa PTKIN adalah ustaz Adi Hidayat, ustazah Oki Setiana Dewi, ustaz Hanan Attaki, dan ustaz Abdul Somad.

Ada beberapa alasan mengapa mahasiswa banyak mengakses para dai seleb di atas di antaranya: gaya dakwahnya yang kekinian dan mudah dipahami oleh anak muda. Ada pula menjadi idola karena secara kongkrit memberikan kesimpulan atas paham keagamaan, seperti haram, halal, surga dan neraka. Ternyata, gaya dakwah semacam itu menjadi sebuah ketertarikan bagi mahasiswa dalam memahami agama secara utuh. Tidak hanya itu, mahasiswa yang merupakan kelompok masyarakat akademisi dan memiliki budaya belajar yang cukup tinggi, menyukai para pendakwah yang memberikan analogi terhadap sebuah kasus, atau hukum Islam dengan logis dan bisa diterima oleh akal. Sementara itu, dakwah yang sifatnya motivasi juga menjadi salah satu alasan ketertarikan para mahasiswa PTKIN dalam mengkonsumsi konten dakwah di media sosial.

Atas dasar fenomena tersebut, para pendakwah dituntut memberikan pemahaman keagamaan yang ramah dan harus mampu menarik perhatian anak muda agar kekhawatiran kepada mahasiswa untuk masuk dalam jaringan radikalisme bisa dicegah semenjak dini. Nihilnya para ulama, yang secara kredibilitas memiliki kemampuan tafsir, memahami Al-Qur’an dan memiliki visi yang sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, dalam penelitian tersebut, membuktikan bahwa menjadi pendakwah yang menyuarakan nilai-nilai kebangsaan dan keislaman, harus mampu user friendly dan disegani semua kalangan.

Sebagai anak muda yang lebih adaptif terhadap teknologi, perlu memproduksi konten hasil dari ceramah para ulama yang secara kredibilitas keilmuan sangat mumpuni. Sudah banyak dilakukan oleh para anak muda melalui akun Youtube yang menyebarkan ceramah dari para ulama. Namun, kita membutuhkan lebih benyak chanel serupa untuk terus memproduksi konten-konten keagamaan yang user friendly agar disukai oleh anak muda. Saatnya kita tidak hanya menjadi konsumen, akan tetapi juga jadi prdusen yang memproduksi konten-konten dari para ulama. Ini bukan persoalan beradu ketenaran. Akan tetapi untuk menjangkau masyarakat lebih luas, agar nilai tersebut bisa diterima oleh banyak orang. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru