29.7 C
Jakarta

RUU HIP, Senjata Kaum Radikal Menumbangkan Pemerintah

Artikel Trending

Milenial IslamRUU HIP, Senjata Kaum Radikal Menumbangkan Pemerintah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tagar #JKWTumbangRakyatSenang di Twitter sudah mencapai puluhan ribu cuitan. semakin hari, Jokowi semakin tidak dipercaya rakyat. Terutama ketika dakwaan atas pelaku penyiraman air keras kepada Novel Baswedan mencerminkan ketidakadilan pemerintah, kritik berbagai pihak menggema di mana-mana. Belum lagi polemik RUU HIP. Sepertinya, Jokowi memang diharapkan tumbang.

Gerakan radikal saat ini sedang gencar-gencarnya. Alih-alih mereda, setiap pemerintah mengkonter, mereka justru playing victim menuduh rezim sebagai penindas. Pemangku kebijakan pun dihadapkan dengan situasi sulit: mereka ingin menjaga negeri dari rongrongan para manusia perusak negeri, tetapi dituduh anti-Islam dan oligarki komunis yang menggerogoti demokrasi.

Pada Rabu (10/6) lalu, beredar pamflet seruan aksi yang mengatasnamakan solidaritas umat Muslim Poso. Redaksi ‘Nyawa Telah Berjatuhan’ menjadi kalimat provokatif; aksi tersebut merupakan sikap reaktif terhadap—katanya—tragedi salah tembak teroris oleh aparat. Demonstran dihimbau bawa bendera tauhid (baca: bendera ISIS) dan bendera merah putih. Modus terakhir ini palsu. Semua orang yang sehat tahu, mustahil para dedengkot radikal-khilafah itu benaran cinta Indonesia.

Belum lagi, kasus lainnya, RUU HIP, yang sebenarnya sudah dua kali saya ulas di tulisan sebelumnya, dipelintir sedemikian rupa untuk memojokkan pemerintah. Seruan demi seruan dilayangkan. Paling baru, Minggu (14/6) kemarin, Solo bergerak menggelar Aksi Jihadul Kalimah, Unjuk Rasa Konstitusional, berbendera HTI, dipimpin oleh Ustaz Edi Lukito.

Solo menjadi pemantik aksi. Ke depan, aksi-aksi serupa akan berdatangan di berbagai tempat. Polemik RUU HIP bahkan akan keluar dari konteks polemik itu sendiri. Yang ada, para kaum radikal bukan ingin melawan komunisme, melainkan menumbangkan Jokowi, karena menuduh pemerintah sebagai dalang di balik semua ini.

Di sini ada yang perlu diluruskan. Meski fraksi PDIP menjadi pengusul RUU tersebut di badan legislasi (Baleg), dan Jokowi juga berasal dari PDIP, tetapi usulan tersebut murni dari DPR sebagai otoritas legislatif. Tidak semua keputusan dialih-tumpahkan kepada presiden. Bahkan sekalipun isi RUU HIP kentara pendiskreditan agama, pemerintah dan istansi legislatif tidak melulu bisa digeneralisasi.

Gerakan Provokasi Akar Rumput

Aksi yang digelar di Solo menjadi bentuk kesalahpahaman masyarakat terkait RUU HIP, jika aksi ditujukan untuk mengkritik pemerintah. Menko Polhukam Mahfud MD telah menegaskan, dilansir Kompas, tidak akan memberikan ruang terhadap kebangkitan ideologi komunisme melalui RUU HIP. Menurutnya, tidak ada ruang hukum untuk mengubah atau mencabut Tap MPRS XXV Tahun 1966.

Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas, dilansir Republika, mewant-wanti agar DPR tidak tergesa-gesa dengan RUU tersebut. Ia mensinyalir ada kejanggalan dengannya, misalnya perdebatan perihal kesan sebagai upaya terselubung eks-PKI untuk balas dendam sejarah. As’ad Said Ali, melalui laman Facebook miliknya, mengafirmasi bahwa maksud baik membuat HIP telah dinodai dendam eks-PKI.

Habib Rizieq Shihab, Imam Besar FPI, juga menyuarakan hal yang sama: menolak RUU tersebut. Gerakan di akar rumput pun tidak terhindarkan. Jihadul Kalimah, narasi aksi di Solo, adalah produk JAD—organisasi yang bercita mendirikan khilafah. Satu RUU problematik, mereka langsung minta konstitusi dirombak. Diganti apa? Jawabannya jelas: diganti konstitusi khilafah ala mereka.

BACA JUGA  One Ummah: Doktrin Neo-HTI yang Menyalahi Al-Qur’an

Mudah sekali membaca aktornya, yaitu JAD dan kelompok dedengkot khilafah lainnya. Juga tidak sulit menelusuri sasarannya, yaitu masyarakat di bawah yang tidak memahami duduk persoalan. Komunisme, kapitalisme, dan liberalisme adalah senjata mereka belaka. Yang ingin mereka rombak sejujurnya bukan satu kebijakan an sich, melainkan semuanya, termasuk pemerintah dan sistem pemerintahannya.

Memprovokasi akar rumput ini sangatlah efektif. Kalau tidak dicegah oleh aparat, atau kalau masyarakat tidak lekas memahami agenda terselubung ini, RUU HIP akan menjadi senjata kaum radikal untuk menumbangkan pemerintah, atau setidaknya memusnahkan integritasnya di mata masyarakat. Mana yang lebih ditakuti: kebangkitan komunisme atau kebangkitan radikalisme?

Baik komunisme maupun radikalisme sama-sama harus dilawan, karena keduanya musuh sejati negeri ini. Saling todong senjata antara kedua belah pihak adalah sesuatu yang lumrah, karena memang mereka berusaha merebut Indonesia dan, jika tidak bisa, maka menghancurkannya. Dalam konteks RUU HIP, kaum radikal memanfaatkannya untuk menjelek-jelekkan pemerintah. Pemerintahlah musuh utamanya.

Pemerintah Sebagai Musuh

Pemerintah yang dimaksud adalah presiden dan jajaran menteri kabinet. Ini perlu ditegaskan karena, di kalangan masyarakat umum, yang namanya pemerintah maka siapapun yang ada di lingkaran kekuasaan, baik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jika ada kebijakan yang tidak masuk akal dan perlu dikritik, maka yang mereka kritik adalah semuanya. Tak peduli presiden atau DPR.

Polemik RUU HIP adalah buktinya. Masyarakat akar rumput menggelar aksi, dan targetnya adalah pemerintah. Padahal RUU tersebut diusulkan DPR, dan pihak pemerintah, melalui Mahfud MD, telah menegaskan tidak akan membuka ruang bagi kebangkitan komunisme. Miskonsepsi ini melebar luas. Jika aksi serupa di Solo terjadi, maka penyebabnya adalah miskonsepsi tersebut.

Kendati demikian, di kalangan radikal yang ingin merombak sistem pemerintahan demokrasi menjadi khilafah ala HTI, JAD, dan sejenisnya, miskonsepsi bisa dibuat-buat. Artinya, mereka sengaja menuduh pemerintah aktor di balik RUU HIP ini bukan karena antipati terhadap komunisme, melainkan karena ingin merombak tata kelola pemerintahan itu sendiri.

RUU HIP dijadikan senjata untuk menuduh komunisme kepada pemerintah, terutama Jokowi. Kaum radikal memahami betul, menggugat DPR itu tidak ada artinya. Aksi baru berhasil, bila hasilnya adalah menumbangkan rezim. Melalui fakta ini, aksi-aksi seperti itu tidak boleh dibiarkan terjadi. Karena bukan wacana komunisme yang hencur, tetapi pemerintah itu sendiri. mereka mau memerangi pemerintah, sementara kebangkitan komunisme sebatas untuk mengelabuhi masyarakat.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru