32.9 C
Jakarta

Terjebak dalam Hijrah Transaksional

Artikel Trending

KhazanahOpiniTerjebak dalam Hijrah Transaksional
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hijrah menjadi sesuatu istilah yang sangat populer di kalangan masyarakat zaman sekarang, terlebih di kalangan muda. Berbagai kegiatan bertema hijrah juga digelar di berbagai tempat, dan hampir selalu ramai dengan peserta yang ikut berpartisipasi. Penggunaan istilah ini oleh kalangan muda atau millenial secara umum merujuk pada proses untuk menjadi lebih baik atau proses berpindah dari kondisi yang kurang baik kepada kondisi yang lebih baik dalam beragama.

Secara bahasa, dalam Mu’jam Lisan al-‘Arab hijrah adalah antonim dari al-washal (ketersambungan), sehingga hijrah diartikan dengan memutus atau meninggalkan. Hijrah diartikan sebagai proses keluar dan berpindah dari suatu daerah menuju daerah yang lain. Menurut al-Azhari, pada asalnya hijrah dalam tradisi Arab merujuk pada keluarnya orang-orang badui dari wilayah pedalaman menuju perkotaan.

Sedangkan menurut Ibnu Arabi, ulama telah membagi hijrah dalam artian keluar dari suatu wilayah menjadi dua. Pertama, hijrah untuk menghindari sesuatu. Misalnya adalah keluar dari wilayah konflik menuju wilayah yang aman, menghindari kezaliman, menghindari bahaya yang mengancam nyawa dan harta, juga keluar dari wilayah untuk menghindari suatu penyakit tertentu. Kedua, hijrah untuk mencari sesuatu yang bersifat duniawi atau juga yang bersifat ukhrowi. Misalnya bepergian untuk berdagang, untuk menimba ilmu atau pergi untuk berhaji.

Dalam tradisi sufi, hijrah dimaknai serupa dengan ‘uzlah atau penyendirian dan kontemplasi yang dilakukan oleh para sufi. Di mana mereka menyendiri, menghindar dari hiruk-pikuk keramaian duniawi secara spiritual rohani maupun juga sekaligus secara meteri jasmani dalam rangka penyucian jiwa.

Dari makna-makna yang ada, hampir keseluruhan mengacu pada usaha dan proses untuk terus menjadi lebih baik. Yang mana hal ini sejalan dengan hadis Nabi yang artinya: “Barangsiapa yang harinya lebih baik dari kemarin maka beruntung, barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin maka merugi, dan barangsiapa yang harinya lebih buruk dari kemarin maka celakalah ia.” (HR. Al-Hakim)

Hijrah Transaksional

Berusaha menjadi saleh agar mendapatkan jodoh yang salehah atau sebaliknya, shalat dhuha agar lancar secara ekonomi, dan beberapa pola pikir serupa merupakan suatu pola pikir yang agak umum di masyarakat. Tidak jarang dan bahkan mungkin banyak dari kita yang berbenah atau apa yang populer dengan istilah berhijrah, mengharapkan balasan materi duniawi dari Allah. Merasa sudah melakukan sesuatu sehingga berhak untuk mendapatkan suatu balasan dari Allah. Model hijrah transaksional semacam ini sering terjadi, dan tak jarang menjadikan proses berbenah justru tersandera pada tujuan-tujuan duniawi.

Seorang yang menyebut dirinya berhijrah namun terjebak pada niat transaksional dengan Allah, tak jarang kehilangan keistiqomahan. Bahkan ada yang kecewa dan menuduh Allah tidak adil dalam memperlakukan dirinya. Ketika yang dia anggap sebagai jodoh tidak sebaik yang dia harapkan, ketika rezekinya tidak selancar yang dia harapkan. Yang fatal adalah ketika puncak kekecewaan itu membawanya pada pengingkaran pada ketetapan Allah.

BACA JUGA  Etika Politik Berbasis Religi sebagai Kontra-Polarisasi Pemilu 2024

Sebuah hadis yang sangat masyhur di kalangan umat Islam. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Umar bin al-Khathab Ra. bahwasanya ia mendengar, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِيَّاتِ، وَإنَّما لِكلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فمَنْ كانَتْ هِجْرتُه إِلَى الله وَرسُوْلِه، فَهِجْرَتُه إِلَى الله وَرَسُوْلِه، وَمَن كانَت هِجْرتُه لِدُنْيَا يُصِيْبُها أَوْ اِمْرَأَةٍ يَنكِحُها فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.

“Sesungguhnya segala amalan tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang (akan memperoleh balasan) dari apa yang ia niatkan. Barangsiapa hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya untuk (harta dan kemewahan) dunia atau karena seorang wanita (jodoh) yang ingin dinikahinya, maka hinjrahnya adalah kepada yang ia kehendaki.”

Rasulullah telah mengingatkan tentang niat serta kedudukannya yang amat penting dalam setiap amalan seseorang, juga hijrah sebagai permisalan terkait aplikasi niat tersebut. Menariknya, Nabi memberi contoh dengan menyinggung hijrah seseorang yang diniatkan untuk mendapatkan harta dunia atau jodoh yang ingin dinikahinya.

Meskipun diriwayatkan bahwa hadis tersebut menyinggung seorang lelaki yang berhijrah dari Mekah ke Madinah agar dapat menikahi seorang wanita bernama Umu Qais, sehingga ia dijuluki sebagai “Muhajir Umi Qais.” Namun ternyata praktik dan pola pikir transaksional semacam itu masih ada dalam tradisi masyarakat modern. Banyak sekali dari kalangan muda yang berhijrah agar menikah dengan pasangan yang baik.

Dalam kitab Al-Hikam, Ibnu Atha’illah mengingatkan tentang perilaku dan pola pikir transaksional dalam beramal ibadah kepada Allah. Dia mengatakan:

لَا تَطْلُبْ عِوَضًا عَلَى عَمَلٍ لَسْتَ لَهُ فَاعِلًا . يَكْفِي مِنَ الجَزَاءِ لَكَ عَلَى العَمَلِ أَنْ كَانَ لَهُ قَابِلًا

“Jangan kau meminta imbalan atas amal yang bukan kamu pelakunya (secara hakikat). Dan jika Allah menerima amal tersebut, cukuplah itu balasan bagimu.”

Segala bentuk amal kesalehaan adalah bentuk karunia Allah kepada hamba-Nya. Termasuk kesadaran akan kesalahan, usaha untuk berhijrah menuju kebaikan dan kesalehan juga merupakan bentuk fadhilah dan hidayah yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Maka apakah pantas jika kita mengharap imbalan dari amalan yang Allah-lah yang menghendaki amalan tersebut.

Kesadaran bahwa setiap amal saleh adalah kehendak Allah, dan kita bukanlah pelakunya secara hakikat seperti yang dikatakan oleh Ibnu Atha’illah akan membuat kita terhindar dari sifat transaksional dengan Allah. Sehingga hijrah untuk terus menjadi lebih baik benar-benar menuju keridhaan Allah. Adapun doa dan permohonan kepada Allah, bukan karena manusia merasa sudah beramal saleh. Melainkan, doa dan permohonan karena manusia merasa bahwa ia adalah makhluk yang fakir dan membutuhkan pertolongan dan kasih sayang Allah.

Wallahu A’lam.

Darul Siswanto
Darul Siswanto
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru