29.7 C
Jakarta

RUU HIP: Islam, Komunisme, dan Trauma

Artikel Trending

EditorialRUU HIP: Islam, Komunisme, dan Trauma
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tak kurang seminggu terakhir, pembahasan kita berkutat pada polemik Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Berbagai perspektif diulas. Wacana kebangkitan komunisme, kapitalisme, hingga pemusnahan sila pertama Pancasila, juga memenuhi ruang publik. Spekulasi aktor di balik wacana tersebut juga menjadi sorotan.

Indonesia Lawyers Club (ILC) membahas polemik tersebut, pada Selasa (16/6) kemarin, dengan tema “RUU HIP: Benarkah Melumpuhkan Pancasila?” dipandu oleh Pemimpin Redaksi ILC, Karni Ilyas. Fadli Zon, Zaitun Rasmin, Prof Suteki, dan Aboe Bakar Al Habsyi, menjadi kubu yang menentang RUU HIP. Sementara itu, Ali Mochtar Ngabalin dan Teddy Gusnaidi berusaha menginterupsi mereka.

Ada juga kubu tengah, yang memaparkan persoalan dengan berpangku kepada idealisme Pancasila itu sendiri, seperti Irmanputra Sidin, Sukmawati Soekarnoputri, hingga Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo. Polemik RUU HIP memang sudah menemui kejelasan, setelah pemerintah menunda, dan fraksi PDIP sebagai pengusul mempertimbangkan musyawarah mufakat.

Yang menarik adalah, polemik RUU HIP sekarang ini menjadi yang paling heboh, sepanjang narasi Islam vs komunisme. Umat Islam interormas bersatu; suara MUI, NU, Muhammadiyah, setali tiga uang dengan sikap kalangan sebelah. Makanya, instruksi demo—trik klasik Muslim radikal dalam mengoposisi negara—merasa punya pembenaran sebab ‘kebersatuan umat Islam’ tersebut.

Editorial kali ini berusaha mengulas dari perspektif konklutif, setelah berbagai pihak buka suara tentang RUU HIP. Tampaknya, ada upaya untuk membesar-besarkan polemik, yang pada saat bersamaan juga berusaha memelintir kebencian. Luka lama umat Islam sudah sembuh, lalu ada yang berusaha kembali mengungkitnya.

Selama ini, klarifikasi terkait polemik RUU HIP tidak pernah terjadi dalam satu meja, satu forum diskusi. Yang ada hanyalah saling tuduh: komunis akan bangkit. Umat Islam semuanya, meminjam istilah Irmanputra, paranoid dengan komunisme. Padahal negara sudah mengunci rapat mereka, sehingga kebangkitannya tidak lagi perlu dikhawatirkan.

Polemik terus bergulir, seperti ada yang sengaja memanas-manasi keadaan. RUU HIP ditafsirkan secara luas, yang semuanya bermuara pada narasi ‘kebangkitan komunisme’. Padahal, bukan.

RUU HIP Bukan Komunisme

Yang perlu ditancapkan dalam kesadaran kita adalah, bahwa untuk menghancurkan sesuatu, kita tidak hanya bisa menempuh dengan memberikan serangan kepada mereka. Lebih dari itu, kita bahkan juga bisa menghancurkan mereka melalui problem internal, membuat elemen mereka saling berperang. Begitulah potret polemik yang terjadi sekarang.

Komunisme memiliki rekaman sejarah yang buruk dengan umat Islam Indonesia. Ketika dulu ulama dibantai oleh PKI, dendam kesumat lebih dalam bahkan melebihi kepada Belanda dan Jepang yang memperbudak-menyiksa rakyat Indonesia secara keseluruhan. Fakta ini disadari oleh oknum jahat, kemudian menghadapkan ‘umat Islam’ dengan ‘kaum nasionalis’.

Umat Islam yang dimaksud di situ sebenarnya adalah kalangan yang memang kontra-nasionalisme, yaitu Muslim radikal para aktivis khilafah Hizbut Tahrir. Mereka, para agen Hizbut Tahrir, pura-pura membela Islam, padahal ingin melancarkan agenda mereka. Mereka, agen Hizbut Tahrir, sok bilang cinta Pancasila, padahal bercita untuk mengganti dengan sistem transnasional yang dibawanya.

BACA JUGA  Metamorfoshow: Indoktrinasi Ajaran HTI Kembali Terjadi

Benar, ada masalah dengan RUU tersebut, dan kini masalahnya akan segara diatasi bersama. Mochtar Ngabalin jujur, ketika mengatakan, tidak ada yang menolak Pancasila. Umat Islam tidak selaiknya traumatik terhadap tragedi masa lalu. RUU HIP bukan indikator kebangkitan komunisme, sebagaimana membela Pancasila bukanlah kode kecintaan terhadap Pancasila itu sendiri.

Trauma umat Islam terhadap genosida oleh PKI memang konsekuensi logis peristiwa sejarah, sementara oknum yang mencoba benturkan Islam dengan nasionalisme adalah penjahat sebenarnya, yang berusaha menggerus persatuan melalui sikap pura-pura peduli Pancasila. Mereka ingin musuh lumpuh, sembari membuat masyarakat lupa bahwa mereka tidak ada bedanya.

Mereka mencekoki masyarakat dengan pikiran sesat. Komunisme adalah kamuflase an sich, bagian dari aktivitas penyesatan pikiran. Bukan untuk membela Pancasila, sejujurnya, melainkan untuk menghabisinya. Sila ketuhanan mereka bela mati-matian, sambil mencincang sila ketiga: Persatuan Indonesia. Sesat pikir, bukan?

Pikir[an] yang Disesatkan

Beberapa sesat pikir tentang RUU HIP mudah sekali dikenali. Pertama, anggapan bahwa RUU HIP mencederai sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini, dalam ILC kemarin, diutarakan oleh perwakilan MUI Zaitun Rasmin, anggota DPR fraksi PKS Aboe Bakar Al Habsyi, dan Fadli Zon dari fraksi Gerindra. Ketuhanan menjadi alasan pertama kenapa RUU HIP digugat: melumpuhkan sila pertama.

RUU tersebut memang berbau demikian, dan ini juga diafirmasi oleh Irmanputra Sidin sebagai pakar hukum tata negara. Sila pertama adalah induk sila-sila yang lain. Namun, sesat pikirnya, sementara kalangan justru mengaitkan absennya sila ketuhanan dalam RUU HIP dengan Jokowi. Mereka berdalil, dari dulu, komunis selalu bermain muslihat, dan kini momen tersebut terjadi kembali.

Kedua, kebangkitan komunisme. Ini ada tafsiran spekulatif yang terlalu jauh melebar, sebab pemerintah tidak akan membiarkan itu terjadi. RUU HIP memiliki tujuan baik, tetapi sang perancang, atau pengusul, menempuh cara keliru bak membangunkan singa tidur. Semua tahu, umat Islam memiliki trauma sejarah, tetapi Baleg abai dengan fakta itu. Umat Islam jelas marah, tetapi kemarahan tersebut tidak jarang berakibat tuduhan yang sesat.

Ketiga, premis awal bahwa Jokowi adalah anak ideologis PKI. Stigmatisasi presiden ini berdampak buruk ke semua aspek, hingga ada cita-cita melengserkan presiden. Masyarakat pun menjadi sensitif, mudah reaktif dengan wacana komunisme. Ini ibarat ada perpaduan luka: luka lama sejarah pembantaian di satu sisi, dan tuduhan presiden sebagai anak komunis di sisi lainnya.

RUU HIP, seharusnya, setelah ini, sudah final perdebatannya. Tidak ada lagi yang perlu dipersoalkan, dipelintir, apalagi dibumbui instruksi aksi demo. Perihal ketuhanan sudah menjadi konsensus yang final, tidak perlu ditakuti akan dihapus. Umat Islam dan trauma masa lalu tidak bisa berlarut-larut, lebih-lebih bila sampai mencederai keseluruhan isi Pancasila.

RUU HIP barangkali polemik kasuistik, sementara penyesatan informasi provokatif adalah agenda yang sistematis. Mereka memanas-manasi kita tentang sila ketuhanan, untuk menciptakan kerusuhan nasional. Trauma umat Islam adalah senjata menciptakan perpecahan.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru