33.2 C
Jakarta

Pancasila; Awas Bahaya Radikalisme Sekuler

Artikel Trending

Milenial IslamPancasila; Awas Bahaya Radikalisme Sekuler
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Benar-benar strategi politik di luar nalar sehat, langkah kelompok-kelompok radikal belakangan ini tampak mengalami perubahan pola secara drastis. Timbul tanda tanya, apakah ada maksud lain di balik aksi penolakan RUU HIP/membela Pancasila? Mungkinkah pendekatan kultur politik tersebut hanya tipu muslihat semata ataukah sekedar drama para kaum ekstremis?

Konspirasi atau persekongkolan dalam upaya membela Pancasila dapat kita cermati, selama awal bulan Juni-Juli 2020 aksi-aksi jihad datang tanpa diundang, kajian online/webinar yang kian masif mengulas wacana khilafah dan persepsi politis soal tanda-tanda kemunculan paham komunis/PKI.

Tafsir politis terkait Revisi Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) datang dari kelompok-kelompok Islam radikal. Sehingga, benarkah Front Pembela Islam (FPI), eks Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) bersungguh-sungguh berjuang demi ideologi? Ataukah hal ini hanya konspirasi semata?

Lalu, bagaimana dengan ideologi khilafahnya kelompok Islam radikal tersebut? Apakah mereka sadar atas kesalahan yang sering ditimbulkan? Dengan mereka bela Pancasila sembari menuduh pemerintahan komunis dan anti Islam telah menunjukkan sikap yang inkonsistensi.

Peristiwa tersebut tidak memiliki komitmen yang tegas terhadap penguatan ideologi Pancasila, melalui agenda terselubung ini. Belaan mereka potensial menghancurkan ideologi negara dari dalam, persoalan demikian. Tentu, menjadi sekelumit masalah yang harus dipikir secara matang oleh semua pihak.

Manipulasi hijrah selalu dimainkan tanpa memerhatikan etika sosial, dan ajaran Islam. Label atau simbol agama adalah tindakan yang kerap dipertontonkan sebagai pencapaian akhir dari segala perjuangan, dari jihad radikal-politis mereka berupaya menggunakan jihad radikal-sekuler.

Bukti nyata, bahwa setiap kritik mereka terhadap pemerintah adalah soal Pancasila, Islam, dan Khilafah. Dan simbol agama dibenturkan dengan Pancasila guna untuk meraih dan melampiaskan amarah, serta nafsu politik kekuasaan. Sehingga, tidak pernah berhenti bela agama dan mendiskreditkan Pancasila. Namun, jikalau kali ini bela Pancasila adalah teka-teki.

Sekularisasi Radikal

Menjelang pesta demokrasi 2021, kelompok Islam radikal sengaja menaruh simpati terhadap ideologi Pancasila sebagai aset politik jangka panjang. Praktik sekularisasi radikal tersebut secara spontan menjadi sangat mudah menarik perhatian seluruh elemen masyarakat, khususnya umat Islam.

Meski sebelumnya, kelompok Islam radikal menggunakan pendekatan radikalisasi agama, baru kali ini pendekatan sekularisasi radikal ditempuh sebagai jalan alternatif lewat agenda menolak RUU HIP (membela Pancasila). Gerakan tersebut selalu mereka tafsirkan adalah jihad.

Aksi jihad radikal-politis tidak akan pernah efektif dan meyakinkan seluruh pihak yang ada, baik oposisi maupun yang di internal pemerintahan sendiri. Kecuali, jihad radikal-sekuler yang terkesan samar bahwa sikap mereka bisa saja dianggap benar-benar berjuang demi Pancasila.

Padahal, jihad radikal-sekuler merupakan bahaya besar yang harus dijajaki dan ditelusuri oleh aparatur negara sejauh mana hijrah para kaum ekstremis/aktivis khilafah? Dan kenapa harus meninggalkan ideologi khilafah tersebut? Apakah mereka mungkin tidak punya pilihan lain, selain Pancasila.

BACA JUGA  Kesesatan Paham Radikal Harus Dimatikan Oleh Akal Sehat

Ketika pemerintah dan ulama NU dan Muhammadiyah sepakat menamai negara Pancasila. Kenapa mereka beranggapan dan menuduh negara kafir/hizbut thaghut? Pertanyaan ini merespons atas peristiwa-peristiwa politik yang ditunggangi simbol-simbol agama. Sehingga, penegakan hukum di negeri ini tidak efektif, dan demokrasi tidak berjalan dengan normal.

Mustahil mereka menerima hubungan Pancasila dengan Islam seutuhnya. Sebab itu, Pancasila telah mereka anggap menjadi penghambat formalisasi syariat Islam, dan tegaknya sistem khilafah. Bela Pancasila ala mereka menunjukkan model pemikiran sekuler-radikal tersebut akan sangat mudah bagi mereka dalam mendirikan negara Islam.

Kebangkitan Islam bukan berarti berbahaya bagi umat Islam itu sendiri. Akan tetapi, meneladani jejak sejarah yang pernah dilakukan Rasulullah Saw ketika memimpin kota Madinah. Artinya, permusuhan atau pertikaian harus kita hindari sebagai umat Islam yang mengajak kepada wahana kedamaian.

Esensi Pancasila

Dalam acara Training of Trainers yang digelar oleh The Wisdom Institute, penulis menyaksikan. Menurut Yudi Latif, Pancasila harus menjadi alat kritik terhadap penyelenggara negara, dan tidak boleh dibenturkan dengan agama. Sebab itu, Pancasila tanpa dukungan semua agama, maka akan ambruk. Untuk itu, kalau Indonesia ingin dijadikan negara Islam, maka kita jamin umat Islam yang bakal berantem sendiri. [09/07/2020]

Dalam konteks ini, tafsir Yudi Latif memperjelas bahwa Pancasila akan semakin buruk di mata kelompok Islam radikal selama itu tidak diamalkan. Pertiakan yang bertambah meningkat tidak hanya di dunia nyata, melainkan di dunia maya. Perilaku seperti ini perlu dihindari oleh umat agama apapun.

Hemat penulis, kita hidup dalam negara tanpa Pancasila ibarat berislam tanpa menjalankan syariat. Meskipun akidah kita sekuat baja selama masih menentang syariat Allah, maka jelas melanggar hukum Islam. Artinya, sebagai umat Islam harus mampu menjalankan aturan-aturan dalam bernegara. Misalnya, mempraktikkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, dll.

Pedoman yang sifatnya sakral, dan tidak bisa ditawar (qat’i). Pancasila merupakan hasil ijtihad para pendiri bangsa dan para ulama dalam rangka mewujudkan negara bangsa yang penuh benih-benih cinta dan harmonis. Kendati pun, gagasan tersebut setidaknya menjadi pengendali amarah kaum ekstremis dan kontrol pola pikir radikal yang terkesan sekuler.

Di tengah maraknya jejaring radikalisme sekuler harus menjadi kewaspadaan diri bagi umat beragama, khususnya umat Islam agar tidak mudah termakam oleh virus provokatif dan propaganda-propaganda yang bersifat manipulatif. Dengan wawasan Islam dan kebangsaan setidaknya menjadi benteng awal menangkal sekularisasi radikal.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru