28.4 C
Jakarta

Narsisme, Terorisme, dan Perdamaian Global

Artikel Trending

KhazanahPerspektifNarsisme, Terorisme, dan Perdamaian Global
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Semua siap menolak aksi terorisme yang kian  menguak. Argumen, peraturan undang-undang, hingga penahanan tak luput menjadi ancaman. Karena dari sisi manapun, terorisme bertentangan dengan nilai kemanusiaan universal dan juga nilai-nilai esensial semua agama. Maka, segala bentuk kebrutalan, pengrusakan, dan pembunuhan masal harus segera dihapuskan.

Kebanyakan orang hanya mengutuk, namun lupa untuk menutup. Mereka hanya bicara tapi lupa melenyapkan dengan segala upaya. Akibatnya, pembunuhan masal tetap merajalela dan pelaku teror kian berpesta pora. Senyatanya, aksi teror salah satunya diakibatkan oleh rasa keangkuhan suatu kelompok bangsa tertentu dalam menyikapi kehidupan global.

Dalam kondisi seperti ini, kelompok yang memiliki kekuatan dapat berkuasa sedangkan yang tidak memiliki kuasa akan ditindas dan tersiksa. Kelompok lemah melakukan segala cara dengan justifikasi mencoba melawan tekanan dengan cara mereka sendiri. Maka, pokok penghapusan terorisme adalah melakukan segala cara melenyapkan sikap keangkuhan kekuasan dan menggantinya dengan suatu sistem kehidupan yang lebih manusiawi dalam arti yang sebenar-benarnya di jagat raya ini.

Narsistik, atau sikap pamer, ingin dihormati, dan dipandang menjadi dalang dibalik pembunuhan masal. Menurut Fromm (2000), dalam narsisme kelompok, penegasan semacam bahwa negara (bangsa, agama saya atau kami) yang paling hebat, paling berbudaya, paling kuat, dan paling cinta damai, sama sekali tidak dirasakan berlebihan, bahkan dianggap sebagai ungkapan patriotism, keyakinan, dan kesetiaan.

Persaingan kian terasa, ketika satu kelompok merosot, kelompok lain berebut memanjat ke titik puncak. Pada puncak tertinggi, mereka akan berkata bahwa kelompoknya adalah kelompok yang paling benar dan tidak bisa disalahkan. Sebaliknya, kelompok yang terperosok akan dianggap sebagai kelompok buruk, licik, dan brutal. Perbuatan semena-mena itu membuat kelompok lawan semakin menderita. Akhirnya, kelompok lemah mengangkat pedang mengibarkan bendera peperangan.

Hal itulah yang sebenarnya menjadi salah satu persoalan dasar yang memunculkan kekerasan global saat ini. Artinya, selama di jagat raya ada kelompok bangsa yang mengidap sikap patalogis narsistik seperti ini, selama itulah ketidakadilan dan kekerasan akan beriringan di muka bumi ini.

Persoalan semakin rumit jika kedua kelompok memiliki perbedaan keyakinan, misalnya agama. Karena bahasa beda keyakinan dapat menjadi pemicu yang kuat mewarnai aksi peperangan diantara mereka. Dalam permasalahan ini, justifikasi agama sering disalahgunakan oleh kelompok yang lemah. Tidak hanya sebagai legalitas terhadap perbuatan mereka, agama juga berfungsi ganda sebagai motivator sekaligus mencari dukungan dari umat yang seragam.

BACA JUGA  Menghindari Tafsir Tekstual, Menyelamatkan Diri dari Radikalisme

Kelompok superior membuat narasi tandingan dengan menggalang kabar hoaks dan tuduhan hoaks yang menyudutkan. Tanpa mengoreksi tindakan mereka sebelumnya, mereka mengklaim bahwa dirinya adalah korban dari sebuah kejahatan yang dilakukan oleh seseorang. Dengan mudahnya mereka menuduh salah satu agama atas kesalahan beberapa kelompok kecil saja.

Alhasil, antara narsisme dan terorisme hanya sebatas sekat tipis. Masing-masing akan berujung tindakan brutal, kekerasan, dan destruktif. Bahkan jika dipikir lebih jauh lagi, kedua aksi tersebut tidak pernah menyelesaikan persoalan sebenarnya. Pada satu pihak, terorisme tidak mewariskan ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan. Tindakan itu hanya akan menghasilkan penderitaan panjang bagi umat manusia, termasuk bagi keluarga, pelaku, maupun seluruh jajaran umat manusia.

Di sisi lain, memerangi terorisme dengan cara brutal tidak akan membuat jera pelaku teror. Sebaliknya, hal itu memicu tumbuhnya generasi baru teroris yang bahkan dapat melakukan tindakan lebih brutal dan sadis dari pelaku teror sebelumnya.

Melihat paparan tersebut, cara paling ampuh memutus tindak terorisme dengan menghilangkan sikap narsisme antar kelompok sekaligus. Dengan begitu, pemicu tindakan terorisme bisa berangsur angsur terkurangi. Hal itu bisa dimulai dengan mewujudkan tatanan dunia yang lebih mengutamakan kesetaraan, keadilan, kesederajatan dengan tujuan mencapai kesejahteraan masyarakat global. Sebenarnya isu seperti ini sudah lama digemakan sejak dahulu. Maka dari itu, yang diperlukan saat ini bukanlah sebuah wacana belaka, namun tindakan konkret ke arah tujuan itu.

Sebagai langkah awal sebuah dialog yang sangat penting dilakukan. Melalui dialog antar-kelompok, antar-bangsa, dan antar-penganut agama diharapkan semua dapat memahami satu sama lain. Masing-masing perlu menganggap semua kelompok bagian darinya termasuk yang berbeda pandangan sekalipun. Dengan demikian, semua agama, bangsa, dan kelompok dapat bekerjasama dan mau menghormati di atas nilai perbedaan mereka.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru