32.4 C
Jakarta

Mewaspadai Diskriminasi Gender Berbasis Agama di Tahun Politik

Artikel Trending

KhazanahTelaahMewaspadai Diskriminasi Gender Berbasis Agama di Tahun Politik
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Menuju Pemilu 2024 mendatang, ada banyak upaya yang dilakukan oleh masyarakat sipil dan para aktivis untuk mendukung keterlibatan perempuan dalam ranah politik. Sejauh ini, keterlibatan perempuan menjadi salah satu representasi yang jelas bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, di mana dalam implementasinya, tidak ada diskriminasi antara laki-laki atau perempuan dalam ranah politik.

Di Indonesia, kebijakan affirmatice action menjadi salah satu ruang untuk mendukung perempuan dalam ranah politik. Kebijakan ini bisa dilihat dari beberapa hal, di antaranya: Pertama, Undang-Undang (UU) No. 68 Tahun 1958 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan tentang untuk tidak mendapatkan diskriminasi dalam Pemilu.

Kedua, UU No. 12 Tahun 2003 pasal 65 ayat 1 tentang keterwakilan perempuan oleh partai politik dalam pemilihan DPR, DPD, DPRD. Ketiga, UU No 10 tentang Pemilihan Umum Anggota Legislatif mensyaratkan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon legistlatif. UU No 2 Tahun 2008 partai politik menjamin minimal 30% keterlibatan perempuan di partai politik.

Apakah kebijakan ini benar-benar memberikan kemerdekaan bagi perempuan untuk berperan aktif dalam pemerintahan? Pada kenyataannya, keterlibatan perempuan dalam ranah politik perlu didorong dan disuarakan untuk menciptakan kebijakan yang mempertimbangan kebutuhan atas ketubuhan yang dimiliki perempuan.

Namun, persentase keterlibatan tersebut masih jauh dari kuota yang sudah disiapkan oleh pemerintah. Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi rendahnya partisipasi perempuan, seperti;

Pertama, sistem pemilihan umum. Sistem pemilihan umum yang Indonesia terapkan, adalah terbuka. Artinya, keputusan ada di tangan rakyat untuk memilih setiap calon yang partai usung. Rakyat harus memiliki kesadaran untuk memilih politisi perempuan dengan wacana politik yang ia miliki. Apabila rakyat menerima kehadiran perempuan dengan mempertimbangkan kualitas si calon, maka akan semakin banyak perempuan yang terpilih di parlemen.

Kedua, partai politik. Kuota 30% yang tercantum dalam UU, apakah sudah terealisasikan oleh partai? Benarkah partai secara serius mengusung keterlibatan perempuan dengan merekomendasikan perempuan yang memiliki kualitas mumpuni untuk memimpin?

Ketiga, kultur masyarakat. Budaya patriarki yang mengakar kepada masyarakat, terus menjadi masalah yang sangat besar. Kehadiran perempuan dalam ranah politik tidak diterima begitu saja oleh masyarakat. Seringkali politisi perempuan masih dipertanyakan akuntabilitasnya sebagai seorang istri, ibu ataupun pekerjaan domestik lainnya.

BACA JUGA  Mengapa Perempuan Terlibat dalam Kelompok Teroris? Pahami Faktor Penyebab Berikut Ini!

Budaya Patriarki

Berkenaan dengan faktor ketiga, narasi yang kembali muncul pada tahun politik terhadap kepemimpinan perempuan adalah, ketidakberhasilan perempuan apabila menjadi pemimpin. Hadis ataupun ayat merupakan legitimasi utama untuk menguatkan narasi bahwa, perempuan tidak berhak untuk menjadi pemimpin karena rendahnya pengetahuan atau keterampilan dalam membuat keputusan.

Narasi ini gencar disuarakan oleh para aktivis khilafah dalam media online, di mana penulisnya adalah perempuan, aktivis Muslim. Berkenaan dengan fakta ini, tantangan perjuangan keadilan gender, utamanya gerakan terhadap peningkatan keterlibatan perempuan dalam ranah politik, berasal dari kalangan umat Islam sendiri.

Penafsiran secara literal terhadap ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis yang disebarkan, semakin menguatkan perspektif bahwa, perempuan tidaklah penting untuk terlibat dalam politik. Padahal justru sebaliknya.

Kenyataan ini adalah bentuk ketidakadilan gender yang bisa dilihat dari beberapa hal seperti: subordinasi, diskriminasi, tindak kekerasan dan beban kerja. Para aktivis khilafah justru meninabobokkan diri dan terhanyut dalam posisi bahwa menjadi Muslimah merupakan posisi yang ideal tanpa berpikir untuk berperan dan memberi kebermanfaatan bagi masyarakat secara luas.

Padahal, jika dengan terlibat dalam ranah politik, perempuan bisa menyebarkan secara luas kebaikan dan kebermanfaatan dirinya, mengapa hal ini tidak diperjuangkan?

Penafsiran Agama

Tradisi agama dalam dimensi historis memiliki sumbangan tersendiri bagi pelanggengan fenomena ketidakadilan gender. Penggambaran posisi rendah yang disampaikan oleh para aktivis Muslim dengan nihilnya perspektif gender, justru semakin menguatkan relasi ketidakadilan gender.

Teks-teks keagamaan yang menyatakan perempuan makhluk kedua, rendah ataupun kepemimpinan yang gagal apabila dilakukan oleh perempuan, seharusnya tidak didekati secara normatif an sich, akan tetapi secara kontekstual.

Jika penafsiran semacam itu terus dilanggengkan, maka akan semakin melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan. Setiap momentum politik, pasti akan ada narasi semacam ini. Tugas kita sebagai umat Muslim untuk lebih kritis terhadap narasi-narasi agama yang mendiskriminasi perempuan dan menghilangkan kemanusiaan perempuan. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru