27.6 C
Jakarta

Karikatur Nabi, Sekularisme Prancis, dan Kekanak-kanakan Kita

Artikel Trending

Milenial IslamKarikatur Nabi, Sekularisme Prancis, dan Kekanak-kanakan Kita
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Karikatur Nabi. Hari-hari ini, Muslim seluruh dunia digaduhkan oleh pernyataan Emmanuel Macron, Presiden Prancis, bahwa “Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis.” Statemen tersebut merupakan respons atas kasus Samuel Paty, guru sejarah yang dipenggal siswanya sendiri, Abdoullakh Anzorov (18), lantaran menunjukkan kartun Nabi dalam majalah satire Charlie Hebdo. Bagi Prancis itu kebebasan berekspresi, tetapi bagi sementara umat Islam, itu adalah penghinaan.

Aksi boikot terjadi di beberapa negara. Presiden Turki terang-terangan meminta rakyatnya tidak membeli produk Prancis. Di Bangladesh, demo besar terjadi. Mesir mengecam Charlie Hebdo yang mencetak ulang karikatur Nabi karena dianggap penyebaran kebencian. Demonstran di negara-negara Timur Tengah menginjak-injak gambar Macron. Al-Qaeda menggertak, penghina Nabi harus dibunuh. Sementara di Indonesia sendiri, aksi bela Nabi oleh FPI, PA 212 dkk digelar di Kedutaan Prancis.

Terlepas dari pro-kontra yang ada, polemik ‘penghinaan Nabi Muhammad’ telah menciptakan friksi politik tidak hanya antara Prancis dengan negara-negara Timur Tengah, melainkan antarumat beragama di seluruh dunia. Sekarang di hadapan kita terdapat dua pilihan dilematis: larut dalam ketidakdamaian ini atau berekonsiliasi. Yang terakhir ini tidak lantas berarti membiarkan penghinaan Nabi. Tidak begitu. Tetapi yang jelas, ketidakdamaian tak menyelesaikan apa-apa, justru akan merugikan Islam itu sendiri.

Presiden Joko Widodo membuat pernyataan resmi dari istana: mengecam Prancis karena melukai Muslim di seluruh dunia. Katanya, terorisme tidak dapat dikaitkan dengan agama. Agama tak ajarkan teror, dan teror tidak dijustifikasi oleh agama. Kendati demikian, dari pernyataan Presiden, ada satu perspektif yang diabaikan, yaitu gagal memahami secara empatik bahwa sikap Macron adalah personifikasi Prancis memandang agama. Presiden lupa, Prancis menganut sekularisme.

Ke depan, kita, umat Islam, sepertinya tidak akan baik-baik saja. Menabuh gendang permusuhan dengan negara besar bukan ide yang baik. Umat Islam secara keseluruhan akan diseret ke dalam stigma teroris, sekalipun yang meneror adalah Al-Qaeda, ISIS, atau JAD kalau di Indonesia. Polemik karikatur Nabi—selama tidak ada rekonsiliasi—akan berbuntut panjang, dan itu disebabkan kekanak-kanakan kita sendiri: memandang secara keliru bahwa otak persoalannya adalah karena Macron benci Islam.

Macron Membenci Islam (?)

Sama sekali tidak. Persoalannya bukan karena Macron membenci Islam. Majalah Charlie Hebdo juga tidak hanya membuat karikatur Nabi, melainkan juga Yesus. Jika hendak bicara soal penghinaan, seharusnya Kristen lebih terhina karena yang dikarikaturkan adalah tuhan mereka sendiri. Ketika pidato Macron tentang “Separatisme Islamis” dianggap menghina Islam dan Muslim, maka anggapan tersebut telah menyepelekan usaha Macron menjaga Prancis dan nilai-nilainya. Kalau pun nilai-nilai tersebut ternyata bertentangan dengan Islam, itu urusan lain. Prancis bukan negara agamis.

Kita, bagaimanapun, dalam menyikapi kasus ini, harus bertolak dari perspektif Prancis itu sendiri, bukan dengan kacamata agama, atau kacamata negara yang menjadikan agama sebagai bagian tak terpisahkan. Di Prancis, sekularisme dikenal dengan istilah “Laïcité”. Setelah Revolusi Prancis, Negara tersebut tidak menghendaki pengaruh agama, dan konstitusi Prancis memisahkan urusan agama dan negara. Agama apa pun tidak lagi Prancis akui, biayai, atau beri subsidi.

Agama apa pun, bukan hanya Islam, tidak boleh menampakkan simbolnya di ruang publik. Jilbab dan kalung salib besar tak boleh dipakai di sekolah dan universitas. Ketika imigran masuk ke Prancis, mereka tidak bisa beradaptasi, dan tetap lekat dengan simbol religiusnya. Ketegangan atas hal ini menjadikan republik semakin protektif terhadap sekularisme. Dengan kata lain, perspektif Macron, sebagaimana penduduk Prancis seharusnya, segala yang ada di ruang publik adalah kebebasan.

BACA JUGA  Idul Fitri: Meraih Satu Bulan Kemenangan, Tetapi Mengotori Sebelas Bulan Lainnya?

Masalahnya menjadi runyam ketika imigran yang tak bisa beradaptasi tersebut tidak tahu terima kasih, dan tetap melekatkan perspektif religiusnya, bahwa hal semisal karikatur Nabi adalah “penistaan agama,” bukan “kebebasan berpendapat”. Jadi intinya bukan Macron membenci Islam. Persoalannya adalah perbedaan perspektif antara kita yang religius dengan Macron yang sekuler. Lalu kita menuntut, semua Negara Muslim menuntut, bahwa Macron harus mengubah prinsip kenegaraannya? Sangat tidak masuk akal.

Prancis tidak akan mengalah. Mereka tengah berjuang mempertahankan republik dari pelunturan nilai-nilai sekuler. Kalau umat Islam di seluruh dunia hendak memantik permusuhan, maka yang rugi besar adalah Muslim itu sendiri. Ironisnya, kelompok teroris seperti Al-Qaeda, ISIS, JAD, dkk, akan semakin masif melakukan teror karena merasa punya pembenaran-pembelaan atas aksi-askinya. Yang semakin terpuruk dan tersudutkan tentu bukan mereka negara adidaya, tetapi kita sendiri.

Karikatur Nabi dan Respons Kita

Karikatur Nabi dalam perspektif sekularisme Prancis adalah sesuatu yang biasa. Dan andai semua Muslim meresponsnya secara dewasa, masalahnya tidak akan sepelik hari ini. Aljazair, Mesir, Irak, Palestina, Arab Saudi, Yordania, Kuwait, Qatar, Indonesia, dll boleh saja memboikot produk Prancis. Apakah itu semua memiliki dampak yang signifikan terhadap kekuatan Prancis itu sendiri? Rasanya tidak. Demikian, karena kita meresponsnya secara kekanak-kanakan.

Seorang pemuda membeli produk-produk Prancis dari minimarket lalu membakarnya. Sebuah minimarket menaruh gambar Macron di lantai masuk, lalu meminta semua pembeli menginjaknya. Seorang editor mengedit gambar Macron menjadi iblis. Demonstran membakar bendera Prancis dan gambar Macron di gedung Kedutaan Prancis. Bahkan, ada juga yang berdemonstrasi di tempat les bahasa Prancis. Di sini, tanpa maksud membela Macron sama sekali, patut untuk mengajukan pertanyaan: Apa efektivitas semua tindakan tersebut?

Solusi terbaik, respons terbaik kita dalam kasus ini bukanlah saling menjual amarah, karena amarah kita justru akan dimanfaatkan kelompok teroris itu sendiri. Al-Qaeda akan berdalih, “seluruh umat Islam sepakat membunuh Macron,” lalu mereka sebarkan teror di seantero Prancis. Meski mereka tidak akan berhasil membunuh Macron, secara tidak langsung mereka telah merugikan Muslim di seluruh dunia. Tetapi garis besarnya adalah: kita telah merugikan diri sendiri karena respons yang kekanak-kanakan, tidak dewasa, serta tidak diplomatis.

Sebagaimana dikatakan Nadirsyah Hosen dalam tulisannya, Penjelasan Soal Karikatur, “begitu muncul heboh karikatur yang diklaim objeknya sebagai Nabi Muhammad, tegas kami katakan bahwa itu bohong atau sebenarnya tidak ada itu karikatur Nabi.” Menurut Gus Nadir, kita tidak boleh terjebak provokasi recehan dan ikut-ikutan membela imajinasi yang keliru. “Katakan saja,” kata Gus Nadir, “Itu bukan wajah Nabi kami! Karikaturmu meleset dan salah sasaran.”

Atau, jika tetap ngebet cemooh Macron karena masalah karikatur ini, memangnya kita mau berperang melawan sekularisme Prancis? Itu namanya naïf.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru