29 C
Jakarta

Gus Dur dan Sikap Atas Yang Berbeda

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuGus Dur dan Sikap Atas Yang Berbeda
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul Buku: Abdurrahman Wahid, ISBN: 978-602- 5783-95-1, Jumlah Halaman: 184 halaman, Pengarang: Ahmad Salehudin, Penerbit: BasaBasi, Tahun Terbit: 2019.

Manusia sangat bergantung kepada agama yang dipeluk. Semakin baik aturan agama yang dianut maka semakin baik pula peran sosial serta kerohaniahannya. Meskipun demikian, ada perbedaan pendapat bahwa agama yang membentuk masyarakat ataukah masyarakat yang membentuk agama sampai sekarang tidak pernah menemukan titik temu [hlm. 17].

Para tradisionalis memandang nilai-nilai agama adalah pembentuk masyarakat. Sedangkan kaum modernis memandang adat istiadat yang membentuk nilai-nilai yang ada dalam agama. Perbedaan ini membuat perdebatan sengit dalam hal boleh atau tidaknya adat istiadat dijalankan beriringan dengan agama.

Misal dalam perkara ini adalah konsep khilafah yang diusung oleh beberapa kelompok sebagai bentuk negara. Khilafah sendiri merupakan model pemerintahan pada masa kerajaan Islam silam. Memang pada masa itu konsep ini berhasil memperluas wilayah dakwah umat Islam hampir ke seluruh penjuru dunia.

Selain itu, ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi juga berkembang pesat hingga orang-orang Barat yang saat itu sedang mengalami masa kegelapan berguru kepada umat Islam. Alasan itulah yang menjadi dasar beberapa kelompok merindukan terbentuknya negara khilafah untuk membangkitkan kejayaan Islam yang lama terpendam.

Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, Indonesia digadang-gadang bisa menjadi titik balik kebangkitan Islam. Sejumlah kelompok yang memimpikan terbentuknya negara khilafah mulai mendekati Indonesia. Mereka memulai dengan membentuk pos-pos organisasi yang harapannya bisa menjadi besar di wilayah Indonesia.

Menurut Joachim Wach (1996: xxxv-xxxvi), pengaruh agama terhadap masyarakat dibagi menjadi dua. Pertama, pengaruh agama terhadap bentuk dan sifat organisasi-organisasi, hubungan-hubungan, dan bentuk-bentuk sosial. Kedua, pengaruh agama terhadap agama seperti yang terlihat dalam pembentukan, pengembangan, dan penentuan kelompok-kelompok spesifik baru [hlm. 18].

Sayangnya, gagasan pembentukan khilafah bertabrakan dengan pola tradisi masyarakat. Nenek moyang masyarakat Indonesia dahulu beragama Hindu-Budha. Sehingga tradisi-tradisi Hindu-Budha sedikit banyak masih melekat pada warga Indonesia. Misalnya, dalam masyarakat Jawa, ada beberapa tradisi yang disandingkan dengan agama Islam, seperti grebeg maulud. Tradisi seperti ini telah lama dilaksanakan oleh masyarakat, dan turun temurun hingga sekarang ini.

BACA JUGA  Hadis-hadis tentang Politik Kebangsaan; Sebuah Telaah

Ketika Clifford Geertz mendatangi Mojokuto (Pare, Kediri Jawa Timur) pada tahun 1950-an, dia menjumpai Islam yang tidak tunggal, tapi hadir dengan tampilan tiga wajah yang kemudian dia klasifikasikan menjadi santri, abangan, dan priyayi (Geertz, 1960). Walaupun banyak yang mengkritik klasifikasi tersebut, apa yang disampaikan oleh Geertz tersebut mengkonfirmasi bahwa agama Islam cenderung memiliki banyak wajah [hlm. 19].

Konsep khilafah yang diusung kelompok-kelompok Islamis memandang persatuan bagi seluruh umat manusia. Perbedaan bagi mereka akan menjadi boomerang yang merongrong baris pertahanan sendiri. Seperti perbedaan pendapat pada kelompok Ali bin Abi Thalib yang berakhir dengan terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib.

Namun masyarakat Indonesia yang sejak lama bergumul dalam perbedaan tentu akan sulit dirubah oleh stigma apapun. Oleh karenanya, ada beberapa kelompok berideologi khilafah  yang menggunakan cara-cara kekerasan sebagai jalan keberhasilannya. Paling banyak dari mereka melakukan bom bunuh diri untuk membunuh kelompok-kelompok yang berbeda, hingga menyisakan kelompok yang siap sepemahaman dengan mereka.

Cara seperti ini menunjukkan kegagalan mereka dalam menyikapi perbedaan yang ada. Mereka gagal menempatkan konsep “agama yang menjadi dalil bagi tradisi masyarakat”. Mereka terlalu tergesa-gesa, sehingga menerapkan prinsip “yang berbeda harus dihapuskan keberadaanya”. Dalam pandangan masyarakat, kelompok mereka adalah kelompok yang kotor, begitupula dengan ajaran mereka adalah ajaran yang kaku.

Seharusnya sebelum merevitalisasi peran agama tentunya harus dilandaskan spirit hadirnya agama dalam konteks kemanusiaan karena bagaimanapun juga keberadaan agama merupakan upaya untuk membimbing manusia menuju kehidupan yang lebih baik. Jika hasil penafsiran dan pemahaman terhadap agama menyebabkan terciderainya nilai-nilai kemanusiaan, maka yang perlu dilakukan adalah memeriksa kembali hasil penafsiran dan pemahamannya terhadap teks-teks keagamaan [hlm. 23].

Maka disinilah Abdurrahman Wahid atau yang sering disapa Gus Dur merancang 9 nilai yang bisa dijadikan pedoman dalam menyikapi perbedaan, pluralisme. Sembilan nilai itu adalah ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kesatriaan, serta kearifan lokal. Sembilan nilai itu bisa menjadi kunci terbentuknya watak luhur dalam menghadapi perbedaan yang ada. Sehingga pola keagamaan yang mereka tampilkan tidak tergolong sebagai pola yang kaku.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru