32.5 C
Jakarta

Akankah Indonesia Menjadi NKRI Bersyariah?

Artikel Trending

EditorialAkankah Indonesia Menjadi NKRI Bersyariah?
image_pdfDownload PDF

Hanya dalam waktu 2×24 jam sejak Habib Rizieq tiba di tanah air, sepertinya suasana negeri ini sama sekali berbeda dari sebelumnya. Beberapa analis berspekulasi, ditulis di media sosial mereka, bahwa Imam Besar FPI yang terkenal dengan gagasan NKRI Bersyariah ini akan menjadi ancaman bagi pemerintahan Jokowi. Kebanyakan mereka mendesak pemerintah segera mengambil kebijakan. Semua analis, atau masyarakat umum, dengan genting berpesan: “Negara ini tengah terancam!

Di Twitter, tagar #KamiBersamaHabibana, #JokowiTakutFPI, #KawalPolriUsutRizieq, dan Presiden Joko Widodo ramai. Itu menandakan, masyarakat terpecah antara yang bangga dengan kepulangan Sang Imam dengan yang cemas khawatir memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi ke depan. NKRI yang keberadaannya dianggap final apakah akan menjadi NKRI Syariah sebagaimana dicitakan FPI? Apakah agenda Revolusi Akhlak tersebut berorientasi terhadap perombakan nilai-nilai pluralisme?

Apa pun respons atas kepulangan Habib Rizieq, menghujat dan atau berlebihan memuji adalah suatu ketidakperluan. Gangguan terhadap NKRI juga bukan kali pertama terjadi. Habib Rizieq adalah satu dari sekian tokoh yang memiliki gagasan bahwa Indonesia tidak bisa menyamaratakan agama—sebab Islam merupakan yang paling benar. Lagi pula, jika memaksakan diri, ia akan berhadapan dengan tokoh lain yang menyatupadukan Islam secara inheren dalam NKRI itu sendiri.

Jadi, di sini duduk perkaranya jelas; Habib Rizieq sudah pulang. Apakah ia akan diproses  hukum atas kasus tiga tahun yang lalu atau tidak, ia akan tetap mewacanakan NKRI Bersyariah. Ia tidak akan berubah, dan kita melihat ini melalui keberaniannya bercerita kepada pengikutnya bahwa pemerintah Indonesia di Saudi Arabia sudah mencekalnya. Gagasan NKRI Bersyariah akan berjaya di  akar rumput, di pelosok negeri, terlepas dari kegamangan yang melingkupinya.

Kegamangan NKRI Bersyariah

Garis besar gagasan NKRI Bersyariah adalah persoalan mayoritas-superior. Oleh karena Islam di negeri ini mayoritas, sebagian umat kemudian menginginkannya agar ia menjadi yang superior, mendominasi agama yang. Kecuali karena medannya lebih luas, ia mirip dengan Perda Syariah. Ia berbeda dengan gagasan khilafah ala HTI. Bukan sistemnya yang ingin mereka ganti, melainkan personel-personel yang dianggap salah, berkomplot dengan oligarki, umpamanya.

Itu yang kemudian membedakan antara FPI dengan HTI. FPI boleh jadi mungkir bila ditanya perihal kesetujannya terhadap khilafah, tetapi setiap aksi demo, bendera HTI masih bertebaran di tengah massa. Sungguhpun demikian, NKRI Bersyariah terlihat gamang ketika penjelasan tentangnya menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan. Mari kita simak penjelasan eks-Ketua PA 212 berikut tentang apa itu NKRI Bersyariah:

BACA JUGA  Strategi Kontra-Radikalisasi Berbasis Keadilan Hukum

“Itu cuma istilah. Jangan jadi mentang-mentang NKRI bersyariah terus Pancasila hilang gitu, ya enggak. UUD 45 ilang? Ya enggaklah. Itu istilah mbok ya kita itu taat pada Allah SWT. Tetep jadi bangsa Indonesia, tapi taat pada syariah Allah SWT, betul? Bukan tidak mengakui, jangan salah. Coba baca ulang kalimatnya, menjaga jarak. Kenapa jaga jarak, karena kita tetap milih oposisi. Tolong jaga jarak diartikan sebagai oposisi. Nggak ada dong. Nggak ada bertentangan (dengan Pancasila, red.),” terangnya.

Lalu untuk apa NKRI Bersyariah ditegakkan jika sebenarnya hari ini masyarakat telah melakukannya melalui Pancasila? Kegamangan tersebut memuncak ketika PA 212 ingin gagasan tersebut dikaji secara ilmiah. Keinginan tersebut dilatari kebodohan. Mereka tidak melihat bagaimana para pembaharu Islam—seperti Nurcholish Madjid—berusaha mempertemukan keislaman dan kenegaraan. Melihat ketidakmungkinan NKRI Bersyariah tegak, karena NKRI memang sudah bersyariah, asa yang harus ditanam adalah kepada Habib Rizieq itu sendiri.

Asa untuk Sang Imam

Mempertanyakan apakah Indonesia akan menjadi NKRI Bersyariah itu setali tiga uang dengan berangan-angan: apakah ke depan Habib Rizieq menjadi pemecah masalah (problem solver) bagi umat atau justru pembuat masalah (problem maker) bagi mereka. Demikian karena sang penggagas adalah dirinya, dan seluruh harapan bermuara kepadanya. Kalau Habib Rizieq mau, hari ini ia bisa menginstruksikan demo besar-besaran, dan apa yang akan terjadi tidak bisa diprediksi asal-asalan.

Hari ini, kepada para pengikutnya, Habib Rizieq sering bercerita pengalamannya di Arab Saudi, terutama tentang dirinya yang merasa dicekal pemerintah. Itu sangat disayangkan. Selaiknya, di babak baru perjuangannya ini, ia memiliki kedewasaan sikap untuk menghindari terprovokasinya umat. Yang masyarakat mau ia tidak lagi bermain isu agama: memantik umat agar membenci pemerintah. Bukan problem maker, melainkan problem solver. Ini yang sangat diharapkan oleh masyarakat.

Dan apa artinya itu? Artinya wacana NKRI Bersyariah tidak lagi dibawa ke ranah publik. Habib Rizieq mesti memiliki visi perjuangan baru yang umat-oriented, bukan perjuangan politik berbungkus agama yang rentan dimanfaatkan para cukong politik. Amien Rais dengan Partai Ummat-nya sudah siap mewadahi politik umat demi kepentingan pribadinya. Pertanyaannya adalah, apakah Habib Rizieq bersedia mengurungkan gagasan NKRI Bersyariah-nya demi kemaslahatan bersama?

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru