31.8 C
Jakarta

Yahya Waloni: PR Toleransi Para Penceramah

Artikel Trending

KhazanahTelaahYahya Waloni: PR Toleransi Para Penceramah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com-Setelah kasus Muhammad Kace, nama Yahya Waloni menjadi trending pada 27/08/21 di twitter setelah ditangkap tim Bareskrim Polri di rumahnya di kawasan Cibubur, Kamis (26/8) sekitar pukul 17.00 WIB. Bareskrim Polri juga sudah menetapkan Yahywa Waloni sebagai tersangka dalam kasus ujaran kebencian dan penodaan agama.

Jika dilihat dalam beberapa waktu yang bersamaan, trending twitter tidak lepas dari persoalan agama. Konflik keagamaan yang sangat santer dibicarakan oleh netizen, diantaranya:, ISIS, Taliban, dll.

Perbincangan dalam ruang virtual persoalan konflik keagamaan, di Afghanistan misalnya, belum selesai selama beberapa pekan terakhir. Imbasnya di Indonesia, tidak lain sebagai salah satu alibi bagi para pengusung khilafah yang bersuka ria dengan kemenangan Taliban, membawa syariat Islam sebagai pedoman yang ditegakkan di Bumi Afghanistan.

Belum selesai dengan fenomena diatas, di Indonesia kemudian beredar video Muhammad Kace, yang menyebut Nabi Muhammad pengikuti Jin dan menyalahkan kitab kuning. Setelah kasusnya diusut oleh pihak kepolisian, kini pihak kepolisian juga memproses laporan atas dugaan penistaan agama kepada Yahya Waloni.

Dilihat dari berbagai respon netizen, video yang disampaikan oleh Yahya Waloni, mengalami banyak komentar, khususnya dari beberapa kalangan umat kristiani yang memposting video tersebut dengan penuh kekecewaan. Di twitter, doa-doa terhadap Yahya Waloni dan harapan-harapan ceramah intoleransi tersebut mencuat.

Muallaf dan pembenaran agama

Penangkapan Yahwa Waloni bukan berjalan secara mulus. Pasalnya, berbagai sikap reaktif ditunjukkan oleh beberapa ustaz karib yang pemikirannya sejalan dengan Yahya Waloni. Respon dari Tim Habib Rizieq, misalnya: mereka menyayangkan penangkapan Yahya Waloni karena ceramah yang disampaikan oleh ustaz tersebut hanya untuk kalangan internal saja.

Respon keras lainnya justru disampaikan oleh Novel Bamukminin, selaku orang yang cukup dekat dengan Yahya Waloni. Ia justru membenarkan apa yang disampaikan oleh Yahwa Waloni dalam ceramahnya. Hal ini karena posisi Yahya sebagai seorang muallaf yang sudah cukup memiliki pengalaman dalam menganut agama Kristen. Sehingga sah-sah saja ketika ia membandingkan kedua agama tersebut.

Toleransi tidak cukup dinarasikan

BACA JUGA  Pendidikan Demokrasi di Lembaga Pendidikan Islam: Upaya Preventif Penyebaran Khilafahisme untuk Anak Muda

Apa yang disampaikan oleh Novel Bamukmin sebenarnya tidak bisa dijadikan pembenaran untuk melakukan penistaan terhadap ajaran agama yang lain. Seorang muallaf yang sudah meyakini agama pilihannya, bukan berarti bisa menyakiti agama yang dianut sebelumnya. Kesadaran semacam ini kadang luput dari kita sebagai bagian dari masyarakat yang beragama yang banyak.

Toleransi tidak hanya cukup digemborkan kepada orang lain, tanpa adanya implementasi yang nyata terhadap toleransi tersebut, nihil rasanya berbicara toleransi. Toleransi tidak cukup dijadikan sebagai kesadaran untuk hidup di tempat yang plural. Lebih dari dari itu, toleransi diabadikan dalam aksi yang sangat dasar. Seperti halnya menghargai kitab, peribadatan yang dilakukan oleh umat agama yang lain.

PR untuk para penceramah

Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran para penceramah juga menimbulkan pemahaman keagamaan yang cukup massif. Apalagi seiring dengan berkembangnya teknologi, narasi keagamaan dalam ruang virtual semakin tidak terbendung. Aliran pemahaman keagamaan juga ikut andil terhadap perkembangan wacana keislaman di Indonesia.

Keniscayaan semacam ini harus dipahami sebagai umat beragama bahwa menyelami pemahaman agama dalam ruang virtual perlu mewaspadai juga dari siapa ilmu agama tersebut disampaikan, berikut ustaz-ustaz dan pemahaman agama yang dimilikinya. Kwajiban untuk mencari guru yang tidak menghakimi agama lain, serta membenarkan pemahaman agama miliknya menjadi kewajiban yang harus dilakukan untuk mengetahui secara jelas keilmuan yang akan kita peroleh.

Berkaitan dengan ini, para penceramah memiliki PR besar untuk tidak menyampaikan ceramah yang cenderung menghakimi agama lain, menyudutkan bahkan menyalahkan keyakinan agama yang lain. Meskipun alasannya internal, lagi-lagi ruang virtual menjadi catatan utama yang harus dipegang sebagai role-model dalam keilmuan agama yang akan dijadikan panutan bagi masyarakat Islam.

Pemahaman tersebut harus kompleks, antara keduanya. Baik dari penceramah, atau sebagai umat Islam sendiri yang sering mengkonsumsi pengetahuan agama melalui ruang virtual. Lebih dari itu, penceramah seharusnya mencerminkan sikapnya yang bisa berdiri tegak ditengah arus keanekaragaman agama yang ada di Indonesia. Tanpa menyudutkan agama lain, menyakiti bahkan membunuh karakter keberagamaan umat lain. Wallahu a’lam

 

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru