30.8 C
Jakarta

Tantangan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin

Artikel Trending

KhazanahTantangan Islam Rahmatan Lil 'Alamin
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Banyak orang mengatakan bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin yang artinya rahmat bagi semesta. Model keislaman tersebut terus dikumandangkan oleh banyak orang. Karena itu, Islam seperti itulah yang selalu orang muslim impikan.

Ia rahmat bagi semesta yang tanpa pandang bulu identitas. Nabi Muhammad suatu waktu pernah menunjukkan rahmat Islam ke pada pengemis buta dari golongan kafir. Perilaku nabi itu merepresentasikan bagaimana seharusnya berislam dalam praktiknya.

Representasi praktik Islam rahmat bagi semesta tentu harus berlaku sepanjang waktu dan segala zaman. Namun tak bisa dielakkan berbagai tantangan terkadang menguji umat Muslim dalam mempraktikkan Islam. Misalnya, globalisasi sebagai tanda perkembangan dunia, baik dari segi budaya, tradisi, politik, dan perkembangan teknologi, semakin menguji mentalitas Muslim untuk mempraktikkan Islam rahmat bagi semesta.

Islam di Indonesia sedang menerima cobaan. Undang-undang penodaan agama yang bersanding dengan perkembangan teknologi informasi, akhir-akhir ini beberapa kali memunculkan laporan penodaan agama, baik itu dari non-Muslim maupun Muslim. Pertama, kasus penodaan agama oleh Ahok yang membuat umat Islam berkumpul dalam satu titik di Jakarta hanya untuk menuntut pelaku agar diproses secara hukum.

Kedua, kasus Sukmawati yang mana puisinya menganggap suara kidung lebih indah daripada adzan, dan yang terbaru membandingkan Soekarno dengan Nabi Muhammad. Kasus-kasus tersebut dianggap telah menodai agama.

Islam Rahmah

Namun, tentu sikap tersebut belum sempurna mencerminkan Islam rahmatan lil ‘alamin. Sikap-sikap cacian atas Islam yang disikapi Nabi secara tenang dan sabar berbeda dengan sekarang. Justru sikap reaktif akibat sensitivitas agama membuat mereka harus membawa pelaku penodaan agama ke ranah hukum. Tidak ada yang salah memproses secara hukum, tapi salah jika tindakannya hanya berdasarkan sensitivitas belaka. Sebagai rahmat, tentu umat Islam harus menampilkannya dengan cara yang bijak.

Penodaan agama walau perilaku yang tidak bermoral, seharusnya umat Muslim tetap bijaksana dalam bersikap agar tidak terjebak pada hal-hal yang justru mendistorsi Islam rahmat bagi semesta. Apalagi dunia politik dengan polarisasi dan orasinya yang arahnya tak jelas, ditambah perkembangan teknologi informasi sebagai simbol keluasan berkomunikasi, akan rentan dengan kesalahan, kekeliruan, dan bahkan kebencian.

Semuanya berpotensi mendistorsi wajah Islam sebagai rahmat bagi semesta. Dengan demikian, sikap-sikap kita sebagai Muslim dalam menyikapi tantangan globalisasi perlu kita bahas lagi dan lagi untuk meningkatkan toleransi dan kesantunan dalam bersikap sesuai akhlak Nabi, yaitu berislam dan mengamalkan.

BACA JUGA  Serangan Moskow: Bentuk Ancaman Terorisme Itu Nyata!

Reproduksi Ruang Bijak

Salah satu jalan agar sikap kita sebagai Muslim tetap mencerminkan rahmatan lil ‘alamin adalah dengan mereproduksi ruang bijak untuk mengkaji segala persoalan. Satu lagi harus tetap mendahulukan rahmatan lil ‘alamin. Ia penting sebagai pengingat ketika menghadapi persoalan yang sangat besar.

Reproduksi ruang bijak di masyarakat dengan penggunaan nalar dan hati agar terhindar dari bias-bias sensitivitas yang ciri-cirinya memutuskan tanpa melakukan pertimbangan nalar. Keputusan tanpa nalar tidak mencerminkan Islam. Bahkan sebagai agama menjunjung tinggi akal karena fungsinya untuk memahami sesuatu ketika keyakinan dan hati tak mampu memahaminya.

Penodaan agama baik Ahok dan Sukmawati seharusnya dikaji tidak hanya dari perspektif Islam saja, melainkan juga dari perspektif ilmu-ilmu lain. Jika ruang keputusan hanya melalui ajaran-ajaran tersebut, tentu tidak cukup. Karena setiap persoalan tidak lepas dari konteks, maksud penutur, dan tujuan sebenarnya.

Ruang bijak publik sangat penting berhubungan dengan keadaan perkembangan teknologi informasi yang sewaktu-waktu bisa memicu kebencian. Artinya, kita tidak bisa lagi menggunakan cara lama, misalnya tidak hanya mengkaji persoalan sesama tokoh agama, tapi mengundang ilmuan agama modernis yang aspek keilmuannya lebih relevan dengan keadaan Indonesia sekarang.

Tugas mengemban Islam sebagai rahmat bagi semesta memanglah tidak mudah. Sebagai Muslim harus bisa menyeimbangkan diri dengan perkembangan globalisasi. Berdiam diri seperti semula malah semakin mendatangkan mudarat karena tidak seimbang.

Namun dengan adanya ruang bijak di masyarakat untuk mendiskusikan berbagai persoalan memungkinkan keputusan-keputusan yang diambil selalu bijak. Bijak dalam arti tidak bercampur emosi, dendam, membela agama secara buta atau ikut-ikutan, dan terprovokasi oleh pihak-pihak berkepentingan. Keputusan bijak di ruang bijak publik dapat menjaga Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Karena sebenarnya, memudarnya sikap Muslim  yang tidak rahmat lagi, karena ruang keputusan mereka belum mampu menyikapi keadaan terbaru. Misalnya, ruang publik yang tradisional mengkaji persoalan-persoalan modernitas. Tentu hal tersebut tidak seimbang.

Kasus-kasus puisi yang sangat sastrawi tidak bisa begitu saja dianggap teks penodaan agama. Sebagai bahasa sastrawi, di dalamnya mengandung makna yang sulit diterka sesuai bagaimana sang penulis mengekspresikan dunianya. Mereproduksi ruang bijak di tengah masyarakat akan memungkinkan Islam tampil sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru