28 C
Jakarta

Sang Kyai dan Cinta Sejati (Bagian XXIV)

Artikel Trending

KhazanahOpiniSang Kyai dan Cinta Sejati (Bagian XXIV)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Santri duduk berbaris rapi di dalam masjid. Beberapa pengurus berdiri mengontrol santri agar duduknya tetap teratur dan mengikuti pengajaran kitab dengan baik sampai selesai. Seorang pengurus menjaga di baris depan. Seorang yang lain menjaga di tengah masjid. Seorang juga menjaga di baris belakang. Semua baris terkontrol. Santri tidak punya kesempatan tidur selama materi berlangsung.

Malam ini materi kitab Al-Hikam karya Ibnu Atho’illah as-Sakandari, tokoh sufi asal Iskandariah (Mesir). Kitab ini termasuk kitab tasawuf terpopuler setelah Ihya’ Ulum al-Din karya al-Ghazali. Bahkan, tidak semua orang dapat mengajarkan kitab Al-Hikam kecuali ia sudah selesai dan paham betul kitab Ihya’ Ulum al-Din.

Yang menyampaikan kitab Al-Hikam adalah pengasuh pesantren, Kyai Warits. Beliau terkenal kealimannya. Teman-temannya sering melakabi beliau dengan Kamus Berjalan, karena ditanya kapan pun dan di mana pun menyangkut kosakata bahasa Arab pasti dijawab. Bahkan, beliau sendiri diakui hafal kamus Al-Munjid yang amat tebal.

Para santri duduk sembari menunggu Kyai Warits. Ada yang sambil muraja’ah atau mereview materi yang sudah disampaikan. Ada yang diskusi dengan teman yang duduk disampingnya. Bahkan, ada yang ngobrol ngalor ngidul. Menunggu guru adalah salah satu bentuk pengormatan santri. Karena, termasuk tidak sopan bila sang guru datang terlebih dahulu di tempat belajar.

“Sttt.” Beberapa pengurus yang bertugas menenangkan suasana. Tiba-tiba suasana jadi sunyi. Tanpa ada suara.

Santri yang ada di baris terdepan berdiri kemudian diikuti baris di balakang sampai semuanya berdiri. Mereka berdiri dengan muka menunduk sembari meletakkan kedua tangannya pas di pusar. Begini etika menghormati guru, termasuk pengasuh, di Pesantren Annuqayah. Boleh jadi di pesantren yang lain berbeda.

Terlihat dari dalam jendela masjid seorang Kyai mengenakan peci putih berbalut sorban. Sebuah kitab terdekap di dada. Dialah Kyai Warits. Beliau berjalan semakin mendekat beranda masjid. Tampak dari aura wajahnya yang berbinar-binar. Dipandang menenangkan hati.

Terompah sang Kyai dilepas di dekat tangga masjid lalu masuk ke dalam. Ada seorang santri yang dari tadi menunggu dan saling berebutan membalikkan posisi sandal Kyai yang menghadap pintu masjid kemudian jadi membelakangi, sehingga nanti sang Kyai tidak kesulitan saat keluar dari masjid dan memasang sandalnya. Mempermudah guru diyakini para santri sebagai cara mendapatkan barakah.

Sang Kyai memulainya dengan salam dan membaca doa pembuka lalu membuka kitab Al-Hikam. Beberapa bait yang telah diterangkan sebelumnya direview sekilas supaya para santri dapat mengingat kembali sesuatu yang telah berlalu. Setelah itu, dilanjutkan ke bait yang ditunggu-tunggu para santri, termasuk Fairuz. Bait kali ini tentang cinta.

BACA JUGA  Mendidik Anak, Membangun Bangsa: Belajar dari Ibunda Imam Syafi’i

“Santri yang dimuliakan Allah,” kata Kyai Warits, “Mari simak baik-baik bait yang ditulis oleh tokoh sufi Ibnu Athoillah.”

Dibacalah bait tersebut dalam bentuk bahasa Arab kemudian dikasih arti kata perkata, sementara para santri menulis arti kata dengan tulisan menggantung, karena memang begitu tradisi pesantren tradisional. Kehebatan Kyai Warits tampak dari cara memberikan arti ini. Banyak santri yang sudah paham sebelum dijelaskan.

Kyai Warits kemudian menerjemahkan pesan Ibnu Athoillah secara utuh sehingga para santri semakin paham. “Pencinta itu bukanlah orang yang mengharapkan imbalan dari kekasihnya atau mengejar sebuah tujuan dari sang kekasih. Pencinta itu orang yang berbuat sesuatu untukmu. Pencinta itu bukan orang yang diberikan sesuatu olehmu.”

Kyai Warits terbatuk sejenak. Uhuk-uhuk. Diteguk air gelas yang ada di dekatnya. Kemudian kembali dilanjutkan penjelasan tentang cinta yang semakin bertambah luas. Dinukillah gagasan para ulama yang menafsirkan pesan-pesan Ibnu Athoillah yang agak global.

“Syekh Syarqawi,” jelasnya, “menjelaskan hikmah ini bahwa orang yang mengaku cinta kepada Allah takkan mengharapkan apa pun atas amal ibadahnya. Orang yang cinta sungguhan kepada Allah hanya berharap ridha-Nya.”

Fairuz berkata dalam hatinya, sungguh berat cinta semacam ini. Kadang setiap beribadah hati selalu mengharapkan balasan materi dari Tuhan semacam dipertemukan dengan jodoh yang baik. Bahkan, karena kekotoran hati ini, kadang menyalahkan Tuhan sebab yang diminta tidak membuahkan kenyataan. Sungguh berdosa diri ini, Rabb!

Sebagian santri menggeleng-geleng menyikmak hikmah Ibnu Athoillah. Mencintai dengan harapan imbalan adalah cinta dengan kualitas yang rendah. Banyak manusia yang berkutat dalam cinta yang maha rendah ini. Hanya sebagian orang yang memimpikan cintanya dengan kualitas yang tinggi.

Sudah hampir satu jam kajian kitab Al-Hikam berlangsung. Tidak terasa, seakan satu detik. Apa pun yang dijalani dengan penuh cinta, putaran waktu tidak akan terasa. Sebaliknya, sesuatu yang dijalani dengan keterpaksaan akan terkesan lama dan tidak menyenangkan.

Kyai Warits mengakhiri kajian ini kemudian beliau bergegas keluar masjid. Fairuz masih duduk di dalam masjid, sekalipun beberapa santri sudah banyak yang bubar. Fairuz membatin, bahwa dibutuhkan belajar tentang cinta bagi para pencinta agar tidak salah arah dalam menggapai cinta sejati. Fairuz merasa cinta yang dirasakan bukanlah cinta yang sesungguhnya. Boleh jadi sebatas kecenderungan hati karena kecantikan Diva yang terus membayang dalam pikirannya atau kecerdasan Diva yang membuatnya kagum.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru