26.1 C
Jakarta

Romantisme COVID-19 dan Virus Intoleransi

Artikel Trending

Milenial IslamRomantisme COVID-19 dan Virus Intoleransi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Gonjang-ganjing disebabkan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) menyelimuti seantero dunia. Bahkan, di media sosial, meme bahwa bumi sedang sakit dan didoakan oleh planet lain bertebaran. Ketakutan menyelimuti umat manusia. Berita bohong menghiasi dunia berita. Dan stigma menyasar siapa saja. Chaos ini disebabkan satu musibah: virus Corona.

Dilansir Detik, hingga Kamis (20/3), tiga belas negara mengkarantina wilayahnya. Kebijakan karantina negara (lockdown) dimaksud ialah menutup jalur keluar masuk masyarakatnya. Dari ketiga belas negara, ada yang me-lockdown secara penuh, ada pula yang me-lockdown sebagiannya saja. Pertimbangan kebijakan tersebut ialah melindungi negara dari COVID-19.

Ketiga belas negara tersebut, bila diurut berdasar waktu lockdown, ialah China, Italia, Polandia, El Salvador, Irlandia, Spanyol, Denmark, Filipina, Lebanon, Prancis, Belgia, Selandia Baru, dan yang terbaru adalah Malaysia. Bagaimana dengan Indonesia? Negara kita ini tidak menerapkan kebijakan lockdown. Presiden Jokowi lebih memilih tes masyarakat secara massal.

Tes cepat secara massal (rapid test) yang diambil Jokowi meniru apa yang dilakukan oleh Korea Selatan dalam menghadapi virus Corona. “Ini penting sekali. Terkait dengan hasil rapid test ini apakah karantina mandiri, self isolation, ataupun memerlukan layanan rumah sakit. Protokol kesehatan lebih jelas,” terang Jokowi, pada Kamis (19/3), dilansir CNBC Indonesia.

Meskipun rapid test sukses di Korea Selatan, di Indonesia kebijakan tersebut menuai tidak sedikit kritikan. Terutama bagi non-pendukung Jokowi, mereka justru lebih mendukung kebijakan Anies, Gubernur DKI Jakarta, yang kebijakannya lebih mendekati/mirip dengan lockdown. Tetapi posisi Anies jelas tak sekuat Jokowi. Jokowi pun mengumumkan, yang berhak mengambil kebijakan terkait virus Corona ini adalah pemerintah pusat. Maksudnya, dirinya.

Akhirnya, virus Corona di Indonesia tidak tertangani secara kooperatif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Musibah ini justru dijadikan ajang jual muka ke publik. Di tataran pendukung, mereka saling serang, membela tuan politik mereka. Intoleransi pun tak terhindarkan. Virus Corona yang seharusnya ditanggulangi bersama, justru menjelma jadi ajang intoleran. Para politisi kita tidak punya sikap dewasa.

Saling Serang di Tengah Musibah

Apakah saling serang antarsesama warga Indonesia, terlepas dari perbedaan pilihan politik, masih belum cukup dikatakan sebagai tindakan intoleransi?

Jika belum cukup, maka ada yang keliru dari komitmen toleransi kita. Selama ini intoleransi selalu dikaitkan dengan persoalan keagamaan an sich, dan melupakan sikap-sikap intoleran dari aspek lainnya. Di sini tidak akan dijabarkan tentang siapa yang saling serang, terutama siapa yang bikin gaduh jagat maya dengan sikap ketidakdewasaannya.

Faktanya, intoleransi mencakup seluruh aspek bernegara kita, terutama dalam perbedaan kubu politik. Miris sekali bila ternyata sikap intoleran keluar dari mulut intelektual yang mengaku sebagai cendekiawan moderat, karena itu akan mengotori dari gagasan moderasi itu sendiri. Mereka telah kehilangan idealismenya sebagai pemikir, dan di pikirannya hanya satu: kawan politiknya.

BACA JUGA  New-Khilafah dan Pemerkosaan Demokrasi di Indonesia

Ketika beberapa waktu lalu presiden terkesan lamban mengambil kebijakan tentang virus Corona, sementara pemerintah daerah ada yang sudah memberlakukan social distancing, pendukung presiden berkoar di media sosial, bahwa presiden sedang menerawang menggunakan mata batinnya tentang kebijakan apa yang tepat dalam menangani COVID-19 ini.

Tetapi, pada saat yang bersamaan, pendukung presiden tersebut juga berkoar, kebijakan pemerintah daerah dianggap overdosis: melampaui wewenang presiden dan justru membuat penyebaran virus Corona semakin rentan, disebabkan antrean panjang transportasi umum. Tidak lama kemudian, cuitannya diposting ulang oleh orang yang bukan pendukung presiden, dengan ulasan serang balik.

Fenomena saling serang di media sosial tersebut adalah preseden terburuk yang dilakukan oleh orang-orang berilmu tapi kalah oleh nafsu politik. Dengan demikian, hipotesis bahwa intoleransi rentan keluar dari orang tak paham agama otomatis gugur. Kenyataannya, intoleransi itu rentan keluar dari mulut intelektual yang hasrat politiknya melampaui keilmuannya.

Implikasi buruk pun tak dapat dihindari. Sebagai public sphere, saling serang-menyerang tersebut diposting oleh orang awam. Negeri pun gaduh. Intoleransi terjadi di mana-mana. Sementara virus Corona terus menyebar. Betapa tidak geram, warga Indonesia harus menghadapi dua musibah sekaligus: virus Corona dan wabah intoleransi. Atau sebaliknya, intoleransi itu virus?

Virus Intoleransi

Corona disebut virus karena ia men(y)ebarkan penyakit mematikan dan tidak terlihat secara kasatmata. Tetapi keberadaannya bisa diketahui melalui gejala-gejala yang terjadi, seperti flu, batuk, diare, dan lain-lain. Ketika intoleransi juga men(y)ebar ke mana-mana, tak terlihat tapi gejalanya berserakan di media sosial, bukankah ia sama dengan virus?

Sebagaimana virus Corona yang mesti dicegah dengan social distancing, yakni menghindari kerumunan dan mengisolasi diri di rumah. Maka wabah intoleransi juga bisa dicegah melalui social distancing, yakni menjaga jarak dari media sosial yang tidak sehat. Baik keluar dari orang awam maupun dari tokoh intelektual sekalipun, jika isinya provokatif dan intoleran, wajib dijauhi.

Sebab, bahayanya sama. Virus Corona bisa menyebabkan kematian, sementara wabah intoleransi bisa menyebabkan hancurnya negeri ini. Karenanya, isolasi diri adalah keniscayaan, dan meruwat kedamaian di tengah perbedaan politik adalah kewajiban primordial setiap warganegara. Lalu kita akan aman dari virus Corona, dan selamat dari wabah intoleransi.

Dalam mengatasi virus Corona, langkah kooperatif adalah kewajiban yang mesti ditempuh. Tanpa saling pangku tangan, mustahil virus ini akan dapat dikalahkan. Yang ada Indonesia justru akan ambruk dalam berbagai sisi: masyarakat banyak yang terinfeksi bahkan ditimpa kematian, sementara negera itu sendiri tercerai-berai akibah ulah para politisi.

Yang demikian tentu tak ada yang menginginkan. Yang dicitakan bersama adalah terangkatnya virus, dan bebasnya negara dari wabah intoleransi. Dua musibah ini harus segera diatasi. Kuncinya satu: bersatu, bersama-sama, kompak, tidak cekcok, dan saling rangkul menuju keamanan dan kedamaian.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru