26.1 C
Jakarta

Pilkada Maut dan Kebangkitan PKI ala FPI Cs

Artikel Trending

Milenial IslamPilkada Maut dan Kebangkitan PKI ala FPI Cs
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Wakil Sekjen Persaudaraan Alumni (PA) 212 Novel Bamukmin, dilansir JPNN, mengatakan, pandemi COVID-19 yang terus berlangsung telah menimbulkan malapetaka dan menjadi ancaman terhadap kelangsungan hidup dan kehidupan. Menurutnya, langkah pemerintah untuk tetap memaksakan pelaksanaan Pilkada 2020 di tengah COVID-19 menunjukkan pengabaian mereka  terhadap jaminan keselamatan jiwa rakyat.

“Terlihat dari kebijakan rezim yang lebih aspiratif membela kepentingan eksploitasi ekonomi taipan pemodal, terus memasukkan TKA asing yang justru merupakan negara awal penyebab dan penyebar virus corona. Fakta menunjukkan tren laju pertumbuhan dan peningkatan rakyat yang terpapar COVID-19 demikian mengkhawatirkan. Laju angka pertumbuhan COVID-19 di Indonesia mencapai angka 4.000-an per hari,” ujar Novel, pada Rabu (23/9) lalu.

Novel juga menyatakan, PA 212, GNPF Ulama hingga Front Pembela Islam (FPI) sepakat menolak pelaksanaan Pilkada 2020 dan mengeluarkan maklumat bersama, yang ditandatangani oleh Ketum FPI Ahmad Shobri Lubis, Ketum GNPF Ulama Yusuf Martak, dan Ketum PA 212 Slamet Ma’arif. Mereka meyakini, bahwa proses pendaftaran pasangan calon kepala daerah telah menjadi sebab terjadinya mobilisasi massa dan penyelenggara Pilkada yaitu beberapa Komisioner KPU telah terpapar COVID-19.

“Dengan demikian, Pilkada kali ini dapat dikatakan sebagai klaster maut penyebaran COVID-19. Tidak ada dalil pembenar untuk kepentingan tetap menyelenggarakan Pilkada maut ini,” tandasnya.

Melihat sikap reaktif tersebut dengan alasan asal-asalannya, selaiknya kita memahami, FPI Cs bukan hanya tidak konsisten, melainkan juga memelintr persoalan. Kalau aksi-aksi demonstrasi yang tidak bermanfaat, yang berkerumun sambil arak-arakan ratusan massa mereka gelar, kenapa giliran Pilkada dianggap sebagai klaster maut? Apakah karena bukan kepentingan mereka? Bukankah Pilkada hanya sekali per lima tahun, tetapi demo-demo mereka dilakukan berulang-ulang dan aman saja?

Mau Pilkada digelar atau ditunda meniru Selandia Baru, itu bukan yang penting di sini. Otoritas yang memutuskan adalah pihak legislatif. Selama ini kasus COVID-19 sudah lebih dua ratus ribu dan itu terjadi bahkan tanpa pergelaran Pilkada. Pandemi ini adalah musibah yan non-prediktif. Meski Pilkada ditunda, tetapi protokol COVID-19 belum dipatuhi maksimal misal karena desakan kebutuhan ekonomi, misalnya, bukankah itu sama saja?

Pilkada Maut atau Dimautkan?

Sama dengan isu PKI yang sebenarnya tidak lagi bangkit, tetapi oleh FPI Cs diisukan bangkit, sehingga masyarakat jadi sensitif dengan komunisme bahkan menuduh rezim Jokowi sebagai jaraingan komunis, isu klater maut Pilkada ini juga demikian. Sebenarnya tidak semenegangkan itu, tetapi direkayasa seolah tingkat bahayanya ada di level paling atas. Andai motifnya normal, maka bisa dimaklumi. Yang disayangkan ialah ketika semua itu dilapisi kepentingan-kepentingan.

Dilansir dari Detik, pemilihan kepala daerah tahun 2020 akan digelar di 270 daerah, yaitu 9 Pilgub, 224 Pilbup, dan 37 Pilwalkot. Untuk itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Pasal 88C Ayat (1) PKPU Nomor 13 Tahun 2020 membuat setidaknya 6 jenis larangan, membatasi kebebasan kampanye di tengah COVID-19. Beberapa poinnya ialah melarang partai politik, tim kampanye dkk untuk menggelar rapat umum, kegiatan seperti pentas seni dan konser musik, kegiatan olahraga seperti JJS, perlombaan, bazar, donor darah, hingga peringatan HUT parpol.

Dengan aturan yang ketat tersebut, asal dipatuhi, bagian mana dari Pilkada kali ini yang FPI Cs anggap sebagai klaster maut? Asal mematuhi protokol COVID-19 maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya saja, beberapa pihak pasti menolak gelaran pemilihan ini karena alasan yang logis. Misalnya, sekolah ditutup sementara kegiatan politik dibuka. Ini seolah ada pengarusutamaan kepentingan. Masyarakat pasti cemburu, dan jika demikian maka protes pun tidak masalah.

BACA JUGA  Rajab, Bulan Penuh Pahala untuk Memerangi Khilafahisme

Yang menjadi masalah jika sampai menakut-nakuti, seperti narasi klaster maut tadi. Narasi FPI Cs tersebut bertendensi menghasut masyarakat dengan pemerintah. Dalam konteks posisi mereka sebagai oposisi, narasi tidak sehat ini perlu dkritisi. Kalau ada yang berdalih, itu buatan PA 212 bukan FPI, maka dalih tersebut datang karena ketidakpahaman akan polarisasi politik dalam FPI itu sendiri.

Mereka bukan representasi umat Islam, melainkan politikus semata yang memakai jubah. Sampai kapan pun, oposisi tetaplah oposisi. Setiap langkah mereka bukan solusi, tetapi hanya ingin mengambil untung dengan memanfaatkan situasi.

Memaklumi Oposisi

Kalau ada qaul masyhur, “Ikuti apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengaakan,” maka bisa dipastikan itu tidak berlaku dalam dunia politik. Pada tataran politik, mempertimbangkan siapa yang mengatakan juga merupakan keniscayaan. Sebab, oposisi senantiasa berkata seolah-olah benar dan masuk akal, padahal itu merefleksikan kepentingan mereka sendiri. Kendati demikian, itu adalah sesuatu yang maklum. Oposisi hanya punya satu agenda besar: menggantikan tampuk kekuasaan.

Umat Islam, oleh FPI Cs, sudah pernah ditakut-takuti dengan PKI. Kejadian apa pun yang menimpa ulama, mereka anggap itu sebagai kelakuan antek-antek Neo-PKI. COVID-19 kemudian menjadi alat teror mereka selanjutnya, yang esensinya adalah memojokkan pemerintah. Pemerintah yang dipojokkan tentu adalah Jokowi dan para kabinetnya, sementara pihak legislatif tidak mereka sentuh. Mudah ditebak, itu karena mereka mengincar kursi eksekutif bukan legislatif.

Ada dua alasan, setidaknya, mengapa FPI Cs sangat kukuh menolak Pilkada di tengah COVID-19 ini. Pertama, mereka belum punya calon dukungan yang mengakomodir kepentingan politik mereka. Contoh kecilnya saja Anies Baswedan. Kalau nanti cepat diganti, dan penggantinya adalah yang pro-Ahok  pada Pilgub lalu, maka nasib mereka tidak bisa dibayangkan. Akan kembali terpojokkan, dan menguatlah kembali narasi bahwa rezim ini anti umat Islam—tidak simpatik terhadap mereka.

Kedua, bagian dari proyek menjelekkan pemerintah. Ditempuh dengan apa saja dan dengan menikam siapa saja. Bagian ini dalam narasi FPI berlangsung sangat alot, dan isunya apa saja, termasuk Pilkada di tengah COVID-19. Sebenarnya “keberbahayaan” yang mereka bicarakan itu alasan belaka, sebab tujuan utamanya adalah bagaimana Pilkada 2020 ini ditunda. Setidaknya itu bisa menyelamatkan eksistensi mereka sementara di bawah gubernur yang mereka junjungi, dari pemerintah pusat yang mereka musuhi.

Apa pun keputusannya, sikap terbaik adalah menyerahkannya kepada pihak yang berwenang untuk urusan ini. Kalau pun Pilkada digelar, protokol kesehatannya pasti sudah dipertimbangkan dengan matang. Demikian pula, respons terbaik juga dari kita selaku masyarakat adalah tidak mudah terbawa narasi pesimistis, yang menakut-nakuti, bahwa Pilkada kali ini adalah “klaster maut”. Optimis atas keselamatan adalah keharusan, seharus harapan kita agar pandemi ini segera berkesudahan. Sementara, narasi FPI Cs diabaikan saja. Namanya oposisi pasti tugasnya memprovokasi.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru