Harakatuna.com. Jakarta – Rencana pemulangan 689 eks pendukung Negara Irak dan Suriah (ISIS) dinilai bakal mengancam keamanan nasional. Opsi ini rawan agenda terselubung. Berbagai pihak mulai menyangsikan kehendak pulang para pelaku ISIS. Termasuk dalam hal ini, adalah beberapa orang teroris itu sendiri.
“(Pemulangan) menjadi skenario terburuk,” kata analis terorisme Timur Tengah Universitas Indonesia (UI) Stanislaus Riyanta kepada media pada Minggu, 23 Februari 2020.
Menurut Riyanta, Presiden Joko Widodo harus mencegah eks ISIS kembali ke Indonesia. Pasalnya, ideologi mereka sangat radikal serta sudah menjual aset-aset di Indonesia. Keberadaan warga negara eks ISIS yang tak sedikitpun memiliki harta benda di Indonesia akan menjadi beben tersendiri bagi Indonesia.
Walau demikian Riyanta sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa Indonesia tak mau menanggung warganya. Tapi Indonesia harus menjamin seluruh kesejahteraan warganya. Termasuk eks ISIS. Pihaknya menekankan pada perihal keamanan nasional. Menurutnya, pemulangan eks ISIS mengancam keamanan Indonesia
Dia menilai pemulangan eks ISIS memang akomodatif bagi pegiat hak asasi manusia (HAM). Namun, pengembalian mereka bukan perkara mudah dan membutuhkan waktu panjang. Apalagi sejauh ini Indonesia mash belum bisa menyelesaikan permasalahannya sendiri. Termasuk radikalisme dan ketimpangan sosial.
“Mengingat anggota ISIS eks WNI (warga negara Indonesia) sudah membakar dokumen kewarganegaraan,” ujar Stanislaus.
Stanislaus menyarankan pemerintahan Jokowi berkolaborasi dengan intelijen negara lain. Kerja sama informasi ihwal terorisme sangat penting lantaran ada pergerakan aktor radikalisme lintas negara.
“Juga dilakukan dengan organisasi yang menangani pengungsi terutama untuk pendataan dan pemetaan,” imbuh dia.
 dinilai bakal mengancam keamanan nasional.Karena mereka berideologi keras){kind=link}