30 C
Jakarta

Menyorot Ustaz Yutub; Millennial Trendsetter dan Dakwah-cum-Radikalisasi

Artikel Trending

Milenial IslamMenyorot Ustaz Yutub; Millennial Trendsetter dan Dakwah-cum-Radikalisasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Bismillah. Sebelum menuju pembahasan, ada tiga hal yang mesti saoya tegaskan terlebih dahulu. Pertama, ‘Yutub’ dalam judul tulisan ini adalah serapan dari kata ‘YouTube’, platform berbagi video yang semua orang sudah pasti mengenalnya. Tolong jangan sampai salah membaca ‘t’ jadi ‘s’, sebab tulisan ini bukan tentang ustaz kondang ayah Wirda Mansur. Kedua, masih tentang tersebut, yang juga harus saya tegaskan, Yutub di sini adalah keterangan tempat, bukan objek.

Artinya, ustaz Yutub yang saya maksud ialah para dai yang berdakwah melalui Yutub, hingga terkenal, utamanya di kalangan milenial. Tidak dimaksudkan sebagai objek, bahwa Yutub adalah platform bagi orang yang ingin mencari tahu apa pun, hingga seakan Yutub adalah ustaz mereka. Ketiga, saya ingin mengutip kata-kata Angling Dharma yang terkenal, sebagai catatan. Bahwa, “biasanya orang yang baru memiliki ilmu sejumput, mengira air kobokan adalah samudera raya.

Sebagaimana maklum, di tengah-tengah kita, dakwah melalui Yutub lagi marak-maraknya. Tak butuh waktu lama untuk jadi terkenal, punya jemaah pengikut, bahkan punya lembaga dakwah. Bukan hal sulit untuk diundang ke mana-mana. Kita hanya perlu menyiapkan beberapa hal; subscribers, viewers, dan followers panspage. Mudah sekali untuk dipanggil ustaz, gus, bahkan kiai. Kita hanya perlu peci putih, baju koko, dan sorban. Lalu peganglah kitab, ya, walaupun itu kitab terjemahan.

Gaya dakwah yang mengikuti tren, idealnya, tidak masalah. Beberapa ustaz Yutub ceramah dengan pakaian kekinian, demi menggaet jemaah dari kalangan milenial. Begitu pun dengan temanya. Biasanya topik yang dicermahkan adalah seputar hijrah; pacaran ke taarufan, jilbaban, cadaran, sampai mengulas Rasulullah dengan perspektif kekinian. Di podium, di depan para jemaah, atau di vlog-vlog, mereka menjadi sosok alim yang ahli memecahkan problematika milenial tentang move on dari kelamnya masa lalu.

Dari Yutub ke Pembuat Tren

Sebagai pengisi konten (content creator), ustaz Yutub pasti memahami betul medan dakwah yang ditempuhnya. Segala statemen harus hati-hati, karena sedikit ada yang keliru akan melunturkan integritasnya di kalangan jemaah netizen. Mereka juga memahami betul bahwa yang seperti dirinya, ingin berdakwah melalui Yutub, tak sedikit. Artinya, kalau hanya keilmuan yang diandalkan, tidak cukup. Harus ada ciri khas lain, agar mereka disuka, agar mereka laku di pangsa pasar.

Itulah yang menjadikan mereka, di sela-sela sebagai pendakwah, merangkap jabatan sebagai pembuat tren (trendsetter). Tren di sini mencakup beberapa hal, tidak hanya penampilan atau fashion saja, melainkan juga medium dakwah itu sendiri. Jadi, selain gaya busananya yang digandrungi generasi milenial, kita juga disuguhkan fakta bahwa kemunculan mereka merupakan buah  tren dakwah visual. Sebelumnya, tren dakwah masih televisi, simbol ustaz milenial hanya satu: Ustaz Maulana di TransTV.

Saya mengakui, tidak semua spesifikasi ustaz Yutub berkonotasi buruk. Kalau hendak dilacak awal mulanya, Ustaz Abdul Somad (UAS) adalah pendakwah Yutub generasi pertama, yang memecah rekor para pendakwah televisi. Mula-mula UAS murni berdakwah, dan Yutub hanyalah media. Tetapi dalam konteks sebagai trendsetter, ia menjadi tungku dari munculnya ustaz-ustaz setelahnya. Milenial pun merespon antusias, mereka haus dakwah baru yang seringkali mengabaikan kualitas dainya.

Lahirlah para ustaz gaul menghiasi wall Yutub orang-orang yang mengaku tengah berhijrah. Seiring waktu, populasi mereka menjamur. Spesifikasi keilmuan tak lagi menjadi tolok ukur. Keahlian (expertise) sudah mati. Integritas profesor keislaman bahkan bisa jadi dianggap tidak lebih tinggi ustaz-ustaz Yutub tersebut. Yang terpenting, topik dakwahnya dirasa menarik. Syukur-syukur jika yang diulas adalah seputar tasawuf atau cara memperbaiki diri, di antara mereka bahkan ada yang menyerempet statemen-statemen berbau radikal.

BACA JUGA  Wahabi dan Ba’asyir; Propaganda Polarisasi Umat yang Harus Diwaspadai

Menyerempet Radikalisme

Apakah kita asing dengan ustaz EE dan FS? Beberapa waktu lalu, ustaz EE viral lantaran menyatakan bahwa Nabi Muhammad pernah sesat. Pro-kontra pun merebak, yang berujung pada permintaan maaf dari dai berpenampilan kasual tersebut. Sementara FS sudah terang-terangan mengampanyekan khilafah, dengan argumen yang seolah-olah kuat. Pada kasus FS, jika kita tak memiliki pemahaman sejarah yang memadai, pasti tentang khilafah, kita akan setuju dengan ustaz mualaf itu.

Lain lagi dengan SN, yang para jemaahnya memanggil ia gus. Ia berdakwah dengan akun Yutub Munjiat Channel. Ujaran-ujarannya tak jarang bernuansa cacian, kebanggan diri, dan bertendensi oposisi. Ustaz M, yang berjulukan at-Tuwailibi, juga sama sekali tidak mencerminkan sikap atau akhlak seorang mubaligh. Kebencian menjadi ciri khas, ditambah lagi ekspresi wajah yang seakan kesal pada status quo. Yutub kita dipenuhi oleh mereka, dan output generasi milenial kita semakin tak jelas arahnya.

Sungguhpun demikian, barangkali mesti dimaklumi, lantaran kebebasan yang tawarkan Yutub sangatlah tak terbatas, ketimbang televisi. Narasi mengkonter mereka juga tak lebih kuat, dari bagaimana masifnya mereka menjalankan siasatnya, menyebarkan paham yang men-thaghut-kan otoritas kekuasaan, di Yutub. Saya menyebut dakwah mereka sebagai dakwah-cumradikalisasi, sebab mereka tak secara langsung menyebarkan paham radikal. Mereka hanya bermain dalam mindset para jemaah, melalui sesuatu yang mereka doktrinkan sebagai ‘murni dakwah’.

Yang mesti disadari, lambat-laun indoktrinasi samar tersebut memiliki dampak yang amat besar; lahirnya sikap reaktif-berontak terhadap sistem dan ideologi Negara. Lalu lantaran benci pada otoritas kekuasaan, aksi nekat pun dilakukan. Radikalisasi memang tak akan menyerah oleh kondisi apa pun, dan medianya adalah semua platform yang ada. Saya pun tidak bermaksud menuduh, menggeneralisasi para ustaz Yutub tersebut sebagai radikalis. Tetapi, bukankah kita bisa analisis dari konten dakwahnya?

Masa Depan Ustaz Yutub

Berspekulasi tentang masa depan ustaz Yutub, adalah secara bersamaan berspekulasi tentang masa depan generasi milenial itu sendiri. Sebagai keniscayaan zaman, dakwah Yutub tidak bisa kita negasikan keberadaannya. Yang dapat kita lakukan, mungkin, ialah melakukan sterilisasi konten dakwah. Tetapi bukan lantas mengutus aparat dalam setiap mashalla atau masjid, atau memblokir akun Yutub mereka. Sterilisasi yang saya maksud ialah pembinaan, selagi cara ini masih dianggap efektif.

Penyebaran paham radikal, atau radikalisasi, dalam apa pun wujudnya, memerlukan upaya-upaya pencegahan. Ustaz Yutub semestinya tidak menyebarkan konten dakwah provokatif, dan menyebarkan pesan keislaman yang partisan. Jika demikian, dakwah sudah reduktif, tak murni sebagai dakwah, melainkan penyevaran ideologi. Tidak ada masalah dengan millennial trendsetter yang diulas sebelumnya, kecuali jika dakwah yang disampaikan tidak berorientasi pada kemaslahatan bangsa.

Tanpa langkah strategis untuk mengampanyekan moderasi beragama (al-wasthiyyah fi al-Islam), tidak sulit untuk berspekulasi tentang masa depan ustaz-ustaz Yutub tersebut. Ketika medan dakwah telah mereka kuasai, dan jemaah khususnya kalangan milenial terpengaruh paham keagamaan eksklusif, itu akan jadi kabar buruk.

Lebih-lebih bila pada saat yang sama, radikalisme semakin akut penyebarannya. Caci maki, pelintiran kebencian (hate spin), olok-olok, misalnya, menjadi tren baru dalam tradisi dakwah kita. Ditambah lagi matinya kepakaran. Semua ini, bagi ustaz-ustaz Yutub yang belajar Islam otodidak, mungkin adalah puncak dari karir mereka. Tetapi bagi keutuhan NKRI, jelas merupakan bahaya besar. Sekali lagi, dalam rupa apa pun, radikalisasi harus ditentang, hingga ke akar-akarnya.

Wallahu A‘lam…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru