33.2 C
Jakarta

Menyemai Toleransi Berbasis Akal dan Teologi

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMenyemai Toleransi Berbasis Akal dan Teologi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Reopening Muslim Minds, Penulis: Mustafa Akyol, Penerbit: Noura Books, Tahun: Januari 2023, ISBN: 978-623-242-339-8, Tebal: 394 halaman, Peresensi: Moh. Rofqil Bazikh.

Harakatuna.com – Benarkah klaim bahwa manusia tidak mampu mengetahui Tuhan hanya dengan bekal akal? Jika pertanyaan ini diajukan pada Ibn Thufail jawabannya pasti tidak. Melalui perantara tokoh fiktifnya, Hayy Ibn Yaqzhan, ia mencoba membantah anggapan yang menegasikan akal.

Tepatnya, ketika akal tidak lagi diberikan porsi untuk mencapai kebenaran, menentukan baik dan buruk bahkan. Tokoh Hayy yang dicitrakan sebagai pencari Tuhan itu membawa sebuah gagasan besar akan keagungan akal. Jauh pasca Ibn Thufail merangkai tokoh fiktifnya tersebut, Mustafa Akyol kemudian menyitirnya lagi.

Ia memang memulai tulisannya dengan cerita Hayy. Berlanjut pada penjabaran terhadap data historis yang menjadi pijakannya. Untuk merombak ulang sikap dan cara pandang muslim, terlebih dahulu ia menarik pada akarnya. Ketertutupan umat Islam dan pemberian porsi yang sedikit terhadap akal ditelusuri Akyol pada pangkal persoalan.

Kita dibawa berkelana ke dunia masa lalu, menelusuri konteks sosio-politik pada waktu itu, lalu kemudian menariknya pada masa yang lebih dekat. Implikasinya, ia berani mempertanyakan—bahkan menggugat—nyaris semua hal yang selama ini dianggap pakem.

Musabab membicarakan bagaimana posisi akal di dalam Islam, baik fase awal hingga sekarang, maka kurang afdal jika melewatkan pertarungan sekte dalam Islam. Khususnya, dua sekte yang berkembang pada fase awal, Qadariyah dan Jabariyah. Jika aliran pertama penganut aliran kehendak bebas manusia, berbanding terbalik dengan aliran yang terakhir. Aliran Jabariyah inilah yang menegasikan segenap kemampuan dan kehendak manusia.

Hanya saja yang terlewat dari catatan sejarah kita selama ini adalah posisi Jabariyah dan kaitannya dengan politik kekuasaan. Ringkasnya, jika hendak jujur maka bisa dikatakan sekte ini hadir untuk memberikan legitimasi terhadap sikap lalim penguasa. Hanya dengan begitu, seorang penguasa dapat berargumen bahwa ia berbuat lalim bukan karena dirinya sendiri. Melainkan semata-mata kehendak Tuhan memang demikian.

Bagaimana Kita Kehilangan Nalar

Seterusnya, kita lihat bagaimana relasi setiap sekte pada fase awal dengan kekuasaan. Sikap politis mereka sangat menentukan terhadap keberlangsungan gagasan teologis itu. Pertarungan antara Mu’tazilah dan Sunni pada masa lalu juga dihadiri oleh politik kekuasaan yang ikut andil.

Lihat saja dalam kasus mihnah yang kerap dicitrakan sebagai pemaksaan oleh kalangan Mu’tazilah melalu tangan kekuasaan khalifah Al-Ma’mun. Sementara itu—ini yang sering terlewat—jauh sebelumnya ternyata orang-orang Mu’tazilah mengalami nasib yang sama.

Sehingga, ortodoksi Sunni yang berkembang hingga saat ini bukan semata-mata karena gagasan teologis. Ada jauh hal yang lebih kompleks daripada itu semua, yakni ikut andilnya kekuasaan. Ketika penguasaan turun tangan untuk menjadikan sebuah gagasan sebagai doktrin resmi negara.

Terpinggirkannya Mu’tazilah ini memberikan banyak dampak terhadap dunia muslim hari ini. Bagi mayoritas kalangan Sunni, golongan semacam Mu’tazilah dan para filsuf di masa lalu merupakan golongan berbahaya.

Budaya penolakan yang terjadi di masa lalu seperti ini mempunyai implikasi hingga hari ini. Sependek pembacaan saya terhadap gagasan Akyol, bahwa semua bermula dari teologi. Asy’ariyyah yang masyhur dengan okasionalismenya, negasi terhadap hukum alam.

BACA JUGA  Peran Pesantren dalam Memberangus Radikalisme-Ekstremisme

Hal ini juga berkaitan dengan voluntarisme, di mana baik dan buruk dianggap tidak bisa ditentukan oleh pikiran. Melainkan berpijak pada ‘apakah hal tersebut diperintahkan oleh Tuhan atau tidak’. Konklusinya, segala hal yang diperintahkan oleh Tuhan kemudian digolongkan ke dalam perbuatan baik, begitu juga sebaliknya.

Implikasi lain dari hal ini adalah kekosongan nalar dalam mempertanyakan segala sesuatu yang diperintahkan Tuhan. Tidak banyak orang yang berani menggugat dan bertanya terhadap apa yang konon diinstruksikan. Sebab, pemahaman umat sudah sampai pada kesimpulan bahwa apa yang diperintahkan sudah pasti baik. Ini bermula dari apa yang disebut Akyol sebagai dilema Euthyphro Islam. Pijakannya berada pada apakah perintah Tuhan tersebut secara objektif dapat diukur, baik dan buruk, atau tidak. Atau semua sekehendak Tuhan saja.

Toleransi Berbasi Teologi

Pada mulanya adalah teologi, sebagaimana saya kemukakan di awal. Sehingga, untuk memberikan jawaban terhadap persoalan hari ini Akyol mengangkat kembali teologi Murji’ah. Sebagai orang yang mendeklarasikan kebebasan di dunia muslim, termasuk kebebasan memeluk agama, maka ia memberikan ruang terhadap posisi nonmuslim.

Hal tersebut dibahas pada dua bab terkait dengan isu penistaan dan kemurtadan. Dua isu yang termat sangat sensitif belakangan ini. Pada saat yang sama, umat muslim semakin lekat dengan kasus-kasus pemaksaan.

Pemaksaan agar orang muslim tetap saleh, sehingga hadir orang-orang semacam polisi agama. Dalam konteks Indonesia, kita biasa akrab dengan polisi syariat ini ketika bulan puasa. Tatkala banyak warung makan yang buka di siang hari kemudian digeruduk. Pemaksaan yang lain adalah agar orang Islam tetap dalam ortodoksinya.

Hingga pemaksaan agar orang-orang nonmuslim menghormati Islam, namun tidak sebaliknya. Jangan heran jika sedikit saja menghina Islam, maka gaungnya akan besar. Sebaliknya, ketika melecehkan agama lain dianggap wajar dan lazim saja.

Teologi Murji’ah ini di bab terakhir menjadi solusi dan fondasi bagi toleransi. Sebuah teologi penangguhan untuk orang-orang yang melakukan dosa besar. Ringkasnya, teologi ini tidak hendak melakukan penghakiman terhadap hukuman apa yang pantas bagi seseorang yang dinilai berbuat dosa besar.

Ini berguna juga untuk melihat perbedaan yang selama ini mengemuka di tengah umat Islam. Baik dalam internal Islam sendiri, maupun antar agama Abrahamik. Agar tidak terburu-buru menghakimi orang lain dengan sesat dan masuk neraka, maka solusinya adalah teologi penangguhan ini.

Dengan mengutip drama Nathan the Wise-nya Gotthold Ephraim Lessing (w. 1781), Akyol menyempurnakan bangunan toleransi. Mirip dengan gagasan besar penangguhan ala Murji’ah itu, hanya saja dalam hal ini analoginya memakai cincin. Tiga agama besar Abrahamik diibaratkan tiga cincin yang sama berharagnya. Hanya satu dari ketiganya yang asli, sayangnya para pemakainya tidak akan tahu keasliannya. Hingga suatu saat datang Juru Penengah (Tuhan) untuk memberikan putusan.

Ringkasnya, toleransi bisa dimulai ketika kita sudah mampu memaksimalkan potensi akal. Sukar membayangkan toleransi di tengah-tengah masyarakat yang nerima begitu saja, tanpa nada kritis sedikit pun. Sebagaimana juga toleransi dapat dimulai dari basis bernama teologi. Teologi penangguhan ala Murji’ah lebih tepatnya.

Moh Rofqil Bazikh
Moh Rofqil Bazikh
Mahasiswa Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga. Mukim di Garawiksa Institute Yogyakarta. Menulis puisi di pelbagai media cetak dan online antara lain; Tempo, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Tribun Jateng, Minggu Pagi, Merapi, Rakyat Sultra, Bali Pos, Harian Bhirawa, Lampung News, Analisa, Pos Bali, Banjarmasin Post, Malang Post, Radar Malang, Radar Banyuwangi, Radar Cirebon, Radar Madura, Cakra Bangsa, BMR Fox, Radar Jombang, Rakyat Sumbar, Radar Pagi, Kabar Madura, Takanta.id, Riau Pos, NusantaraNews, Mbludus.com, Galeri Buku Jakarta, Litera.co, KabarPesisir, Ideide.id, Asyikasyik.com, dll.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru