30 C
Jakarta

Menunggu Sang Pemenang (Bagian XX)

Artikel Trending

KhazanahOpiniMenunggu Sang Pemenang (Bagian XX)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“Adel, bangun dong!” paksa Hanum mencubit-cubit kulitnya.

Bantal guling yang dipeluknya dipindah menutupi kepalanya. Tidak mempedulikan godaan Hanum dari tadi.

“Adelll..!” Hanum makin geram.

“Apa sih? Sukanya gangguin orang mulu.” Adel mulai kesal melihat kelakuan Hanum yang diduganya usil.

“Bangun dulu, aku punya cerita.”

“Nggak mau ah,” bantahnya membuat Hanum makin kesal.

Mereka sama-sama kesal. Hanum kesal karena tidak dipedulikan, padahal pagi itu ada kado cerita menarik dan fantastik. Adel kesal karena tidurnya terganggu.

Adel pura-pura mendengkur. Pura-pura tidur. Mata mengerjap-ngerjap di balik bantal guling yang tengkurap di atas kepala. Hanum membatin: Sepertinya Adel tidak sadar kalo sudah pagi.

“Udah pagi Del, bangun, bangun.” Hanum terus memaksa Adel kesekian kalinya. Badannya diunduh kayak mengunduh pohon biar buahnya berjatuhan. Adel merasa seperti diguncang gempa dahsyat.

Terdengar kata “pagi”, Adel seakan tidak percaya. Akhirnya, dia bergegas duduk. Belum percaya melihat suasana di luar jendela masih gelap.

Adel belum shalat Subuh dan tidak mengikuti shalat jamaah. Biasanya santri yang tidak shalat berjamaah di masjid dipanggil ke kantor pesantren dan mendapat hukuman menghafal surat pendek di depan kantor sambil berdiri. Boleh duduk kalo hafal dan bacannya fasih.

“Udah jam berapa?” Adel kaget dan beranjak berdiri mendekati tombol lampu kamar.

Adel kaget melihat jarum jam dinding bertengger di angka tujuh. Adel berdesis,
“Kesiangan.”

“Gimana ya? Aku pasti dipanggil pengurus nanti malam, kenak hukuman, ngafalin lagi.” Tampak raut muka sesal dan kusut.

“Siapa suruh, dibangunin, tidak bangun.”

“Memang kamu bangunin aku tadi?”

“Nggak juga sih, tapi kan ada pengurus yang bertugas.”

“Aku belum merasa dibangunin.”

“Buktinya yang lain bangun kok.”

“Udah, udah.”

Congrat, Adel.”

“Apa sih!”

Adel dan Hanum beradu mulut. Mereka memang berteman. Tapi, kadang saling usil. Sikap mereka tak ubahnya Tom dan Jerry, sebuah serial animasi Amerika Serikat hasil produksi MGM yang bercerita tentang seekor kucing dan seekor tikus yang selalu bertengkar. Sikap mereka berdua lucu, suka beradu mulut, membuat suasana jadi cair, dan menyenangkan.

BACA JUGA  Rekonsiliasi Pasca-Pemilu: Jalan Menjaga Solidaritas Kebangsaan

“Tahu Diva nggak?” Pertanyaan Hanum membingunkan.

Adel sok ngerti. “Diva naksir Fairuz, kan?”

“Bukan.”

“Naksir siapa lagi situ anak?”

“Diva juara satu, Del.” Kata-katanya sontak mengagetkan Adel seakan tidak percaya bercampur bahagia.

“Beneran?!”

Hanum mengangguk.

“Hebat Diva sekarang ya! Kak Nadia sudah tahu kabar ini?”

“Aku tahu dari Kak Nadia langsung tadi pagi pas selesai shalat Shubuh.”

Hati Adel bergumam: Pantesan aku tidak tahu. Aku kesiangan. Belum shalat Shubuh lagi.

“Buat sesuatu yang surprise yuk!” usul Adel.

“Nah, itu dia, aku ke sini, bangunin kamu ya menyampaikan usulan Kak Nadia buat menyambut kedatangan sang juara.”

“Hmmm, Apa ya? Kok jadi bingung.”

“Biasanya kamu punya ide bagus.”

“Bentar, tak pikir dulu.”

Tak lama Nadia datang. “Kak, Adel baru bangun. Dari tadi males bangunnya.” Hanum mengadukan kepada Nadia, mulai beradu mulut lagi. Nadia membiarkan.

“Tak kirain masih belum Subuh, Kak.” Adel membantah tak mau kalah.

“Apa keputusannya?” Nadia mengembalikan pada topik utama, rencana menyambut kedatangan Diva di Annuqayah.

“Aku punya ide begini. Diva kan delegasi pesantren, seharusnya pesantren yang nyambut, persoalan teknisnya menyusul. Intinya, pesantren siap menyambut.”

“Ide yang bagus.”

“Benar.”

“Aku nanti sampaikan ke pengurus pesantren.” Tiga sepertemanan ini merasakan kegembiraan yang tiada bertepi. Kebahagian yang dirasakan Diva dirasakan pula oleh mereka. Dalam pandangan banyak orang, Nadia adalah satu-satunya guru yang sukses mendidik Diva menjadi sang juara. Entahlah, Nadia tidak pernah menganggap dirinya guru, namun selalu mengatakan bahwa dia teman berbagi saja. Pesantren mengajarkan Nadia tetap tawaduk, tidak sombong, kendati ilmunya setinggi langit.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru