31.4 C
Jakarta

Menunggu Khilafah Eks HTI-ISIS Deklarasikan Diri

Artikel Trending

Milenial IslamMenunggu Khilafah Eks HTI-ISIS Deklarasikan Diri
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Mari kita bicara serius. Sudah siapkah kita kehilangan NKRI sama sekali? Jelas ini bukan menakut-nakuti. Tidak ada manfaatnya bagi saya menebarkan ketakutan. Tidak ada kepentingan apa pun, kecuali kekhawatiran mendalam melihat perkembangan pesat mereka, para veteran khilafah. Bukankah itu yang mereka anggap nubuat; kelak (hari ini?) mereka akan kembali tegak? Saya pikir, sudah bukan waktunya kita bercanda meremehkan pergerakan mereka.

Rabu (15/1) lalu, Peringatan Penaklukan Konstantinopel digelar di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Acara yang sama, di tanggal dan hari yang sama, juga digelar oleh Majelis Sahabat Syurga di Masjid Nurul Ikhlas Arbes, Stain, Kota Ambon, Maluku. Narasi yang dibangun adalah kembali mengenang kejayaan Islam, sejak penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad Al-Fatih. Katanya, Islam pernah berjaya di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah.

Dengan sejarah palsu yang dibuat oleh orang-orang bodoh tersebut lalu kita diminta berpikir, bahwa penegakan khilafah akan membawa kejayaan kembali. Ketika Turki Utsmani runtuh pada tahun 1924, konon, di situlah khilafah berakhir, atau diberakhirkan oleh ulah Barat. Penggantinya adalah demokrasi: Turki menjadi sekuler di bawah Kemal Ataturk. Apakah itu artinya kita diajak untuk melakukan kudeta terhadap sistem NKRI? Jelas.

Belum lagi kabar pemulangan WNI eks-ISIS sebanyak 660 orang. Meski kabar tersebut ditanggapi berbagai pihak, dan pemerintah diminta tidak sembarang ambil keputusan, tetap saja mencemaskan. Selain karena mereka jadi pengikut ISIS karena sukarela, letak risikonya adalah kemungkinan penyebaran ideologi radikal ketika sudah sampai di Indonesia. Di samping betapa sulitnya deradikalisasi returnis ISIS yang mindset-nya sudah terpapar virus radikal.

Semua persoalan ini, baik masifnya pergerakan para veteran khilafah di tanah air, maupun persoalan returnis ISIS, harus kita diskusikan segera. Seperti raja-raja baru yang belakangan ini bermunculan, khilafah juga akan mengalami momen yang sama. Ketika sudah siap, mendeklarasikan diri adalah hal yang pasti. Sekarang pertanyaannya, sudah seberapa siap kita benar-benar kehilangan NKRI setelah deklarasi sistem khilafah eks-HTI dan returnis ISIS itu terjadi?

Khilafah Eks-HTI dan Returnis ISIS

Tetapi benarkah khilafah berakhir tahun 1924? Benarkah Barat menghancurkan kejayaan Islam melalui penghancuran khilafah itu sendiri? Perlu diluruskan. Faktanya, Renaisans Eropa terjadi sekitar abad ke-14 hingga abad ke-17, atau empat abad sebelum Turki Utsmani runtuh. Saat Muhammad Al-Fatih menaklukkan Konstantinopel pun, apakah dikira Kekaisaran Romawi Timur menerapkan sistem kenegaraan ala Abad Modern? Belum.

Justru penaklukan tersebut merupakan penanda berakhirnya Abad Pertengahan. Sedang Renaisans sendiri adalah perpindahan Abad Pertengah pada Abad Modern. Dan, apakah Turki Utsmani menerapkan khilafah? Tidak. Mereka monarki-dinasti. Yang dibubarkan pada 1924 juga bukan “khilafah”, melainkan “kekhalifahan”, yakni sistem monarki-dinasti tersebut menjadi republik. Republik Turki. Apakah masih kurang jelas?

Khilafah ala para veteran HTI, yang Felix Siauw adalah salah satunya, adalah khilafah palsu yang dibangun atas kebodohan dan nafsu ingin berkuasa. Mau dikaitkan dengan sejarah, itu namanya buta sejarah. Tetapi semua ini tidak berguna bagi mereka, mustahil mereka bersedia untuk diluruskan. Masalahnya adalah, otak mereka sudah terdoktrin dengan ideologi tentang kekhilafahan (Catat: bukan kekhalifahan).

Mereka hari ini tengah melanjutkan misi indoktrinasi. Massa pendukung khilafah pun akan bertambah. Tidak sedikit yang akan terpengaruh pembodohan sejarah ala mereka. Kelak, ketika sudah siap, mereka pasti akan mendeklarasikan diri. Tak butuh pesan seragam bagi mereka untuk mendirikan khilafah. Ini bukan kerajaan Sunda Empire atau Keraton Agung Sejagat. Ini kerajaan yang mengatasnamakan (atau mengekploitasi?) Islam.

Pada saat yang sama, 660 returnis ISIS yang rencana dipulangkan ke Indonesia berada dalam tataran indoktrinasi yang jauh lebih parah. Ibarat terkena virus Corona—yang sempat viral kemarin—mereka akan juga menularkan penyakitnya ketika sudah tiba di tanah air. Virus khilafah yang dibawa returnis ISIS barangkali akan menggabungkan kekuatan dengan para pengusung khilafah sekawanan Felix Siauw.

BACA JUGA  Khilafah di Indonesia: Antara Ghirah Keislaman dan Kecemasan Berbangsa-Bernegara

Kalau dua kekuatan khilafah itu benar-benar menyatu, ditambah lagi para pembenci NKRI dan pemerintah, kira-kira apa yang akan terjadi? Sudah siapkah kita dengaan momen mengerikan penuh kekacauan (chaos) tersebut?

Momentum Tegaknya Khilafah

Inilah momen yang ditunggu-tunggu. Momen inilah yang mereka anggap sebagai nubuat kejayaan umat Islam di akhir zaman. Laksana Sultan Muhammad Al-Fatih menaklukkan Konstsntinopel, mereka akan menaklukkan Indonesia. Sayangnya, Sultan Muhammad Al-Fatih tak mengubah sistem pemerintahan Konstantinopel sehabis penaklukan. Hanya mengganti personel, dan beberapa administrasi lain yang harus diurus.

Sebab, keduanya, Kekaisaran Romawi Timur dan Turki Utsmani sama-sama menerapkan sistem monarki-dinasti. Bedanya sekadar dalam peristilahan: yang satu kekaisaran, yang satu kesultanan. Tetapi kalau Indonesia ditaklukkan, apakah sistem republik-demoratis akan diganti monarki-dinasti? Lalu siapa yang akan menjadi raja.

Mungkin sebagian kita akan berujar, bawa menaklukkan Indonesia tidak mudah. Memang benar. Tetapi siapa yang menutup kemungkinan tersebut, jika indoktrinasi terus-menerus dilakukan? Semuanya akan lebur. Jelas mereka yang berhashtag #Campaign1453 tidak akan menaklukkan dengan perang seperti penaklukkan Konstantinopel. Yang mereka buat keropos adalah senjata kesatuan-persatuan kita, melalui doktrin ideologi khilafah.

Yang jelas, ketika momen itu tiba, ketika kekuatan khilafah sudah tak terbendung, kemudian khilafah ditegakkan, NKRI tinggal memori masa lalu. Jelas salah jika kita membayangkan masa pasca penaklukan Indonesia dengan yang terjadi pasca penaklukan Konstantinopel. Sebab, Muhammad Al-Fatih ketika itu memberlakukan kebebasan beragama, dan membiarkan non-Muslim dalam agama mereka sendiri. Tetapi apa yang kita saksikan pasca tegaknya khilafah ISIS di Suriah?

Tidak ada lain kecuali darah, bangunan yang hancur lebur, kelaparan di mana-mana, rakyat yang menderita. Tak ada lain kecuali bunyi tembakan di sudut-sudut negeri. Seperti itulah masa pasca penaklukan. Yang katanya Islam akan jaya, itu absurd—nafsu politik belaka. Jika kejayaan harus dicapai melalui pembantaian dan bombardir di mana-mana, apakah itu yang dikehendaki Islam?

Kalau nyatanya kita belum siap dengan sesuatu yang amat mengerikan tersebut, lalu buat apa kita memberi ruang nafas kepada mereka yang bermaksud menghancurkan negeri? Sekali lagi, ini masalah serius. Baik pemerintah maupun rakyat, ini bukan lagi waktu yang tepat untuk meremehkan mereka. Khilafah adalah polemik serius, bukan bahan tertawa.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Saya akan mengulas di tulisan yang lain, tentang apakah yang harus kita perbuat. Haruskah kita minta ketegasan pemerintah untuk menangkap mereka, sebagaimana ketegasan pemerintah menangkap raja-raja baru? Semua demi NKRI. Khilafah gabungan Hizbut Tahrir dengan returnis ISIS jelas adalah perpaduan yang klop. Hibut Tahrir di Indonesia (eks-HTI), meski tidak memiliki badan hukum, faktanya tetap berdakwah. Agennya banyak, Felix itu hanya bagian kecilnya.

Sedangkan kalau pemerintah benar-benar memulangkan 660 WNI ISIS dari Suriah, permasalahannya semakin runyam. Terlepas dari kenyataan bahwa mereka adalah sudara setanah air kita, mereka sudah terdoktrin, ibarat sesorang yang terjangkit virus. Mudaratnya jelas, kelak ketika kembali ke Indonesia, mereka akan berdakwah tentang khilafah juga. Kalau di NKRI hari ini khilafah sudah memiliki panggung, bukankah itu jadi semakin mempermudah pergerakan mereka?

Yang bisa kita lakukan sejujurnya bergantung kebijakan pemerintah. Selama pergerakan khilafah dibiarkan, selama indoktrinasi ideologi terlarang itu lancar-lancar saja, deradikalisasi yang diwacanakan pemerintah mustahil berhasil, dan mentok dalam wacana belaka. Ini bukan lagi tentang kebebasan demokratis sebagai sesama warga negara. Untuk apa kita memberi mereka ruang bebas, jika kebebasan tersebut justru akan memusnahkan eksistensi kita sendiri?

Atau, mari kita tunggu mereka mendeklarasikan tegaknya khilafah di negeri tercinta ini.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru