34 C
Jakarta

Medan; Saksi Radikalisme di Indonesia

Artikel Trending

Milenial IslamMedan; Saksi Radikalisme di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Seorang pria dengan kebulatan tekad, datang ke sebuah kantor polisi. Di pikirannya, istri dan anaknya sudah hilang. Ia hanya ingat ribuan bidadari akan mengelilinginya, kelak, di taman surga. Paham radikalisme sudah menguasai dirinya. Pakaiannya menyamar, seolah ia tukang ojek online. Di punggungnya, ransel digendong. Isinya bom. Di halaman kantor polisi, ia ledakkan dirinya. Itu bom bunuh diri. Badannya terbelah, terkoyak, berkeping-keping.

Kira-kira seperti itu kronologi bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan, Jalan HM said, Medan, Sumatra Utara, pada Rabu (13/11) pagi. Rabbial Muslim Nasution, 24 tahun, warga Jalan Nangka, Kelurahan Sei Putih Barat, Medan Petisah, Medan, Sumatra Utara, meledakkan dirinya melalui bom bunuh diri di ranselnya. Rekannya selama ini tidak ada yang tahu, atau menyangka, Rabbial adalah seorang jihadis.

Komentar berdatangan. Bagus Prasetio, teman Rabbial, mengaku berteman akrab. Dedek, panggilan kecil Rabbial, kata Bagus, memiliki sifat baik dan setia kawan. “Dulu kami tergabung dalam remaja masjid. Dia aktif ikut rapat,” ujarnya. Sementara itu, Kepala BPM Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan, saat ini sedang menghimpun identitas Rabbial. “Akan dilakukan pengembangan apakah pelaku bagian dari JAD atau bukan,” terangnya, sebagaimana dilansir Kompas.

Polisi; Target Kebencian Kaum Jihadis

Kejadian teror dalam segala bentuknya, kalau kita amati, selalu menyasar kantor polisi. Ini bukan sekadar praduga belaka. Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi menilai bahwa kepolisian merupakan target utama teror. Hal itu juga dibenarkan oleh Ridwan Habibi, peneliti terorisme dari Universitas Indonesia. Katanya, teroris memang dendam pada polisi.

Sebelumnya, Kamis (10/10) atau sebulan lalu, eks Menko Polhukam Wiranto juga mengalami peristiwa nahas. Ia jadi target teror, ditusuk setelah menghadiri acara di universitas baru di Pandeglang, Banten. Apa yang menimpa Wiranto cukup membuat rakyat berpikir; kalau seorang Menko Polhukam saja ditusuk, menjadi sasaran teror, apalagi kita yang hanya rakyat biasa?

Dua bulan sebelum Wiranto ditusuk, kejadian mengerikan lain terjadi. Imam Mustofa (31) menyerang anggota Polsek Wonokromo, Surabaya, pada Sabtu (17/8) lalu. Juga dua bulan sebelum tragedi Wonokromo, Senin (3/6), Rafik Ansharuddin (22) meledakkan diri di depan pos pantau di simpang Tugu Kartasura, Jawa Tengah. Nahasnya, semua teror tersebut target utamanya adalah polisi itu sendiri.

Ini harus kita ingat, agar selalu waspada, bahwa betapa dekatnya teroris dengan kita. Bukan tidak mungkin, besok kita adalah korbannya, kalau tidak segera dibenahi. Jika para teroris dendam kepada polisi disebabkan kawan-kawannya ditangkap, bukan mustahil suatu hari kita juga akan diserang, baik melalui serangan senjata maupun bom, lantaran kita juga ikut memerangi radikalisme di Indonesia.

Medan Sarang Radikalisme

Tragedi Mapolrestabes Medan bukan kali pertama terorisme menampakkan diri. Ada setidaknya lima kali teror, yang kebanyak sasarannya adalah polisi, di Sumatra Utara. Hampir satu dekade lalu, tepatnya 22 September 2010, markas Kepolisian Sektor Hamparan Perak diserang 12 teroris menggunakan tembak. Akibat kejadian tersebut, tiga polisi meninggal, dan satu luka serius.

BACA JUGA  Mega Korupsi: Penghalang Indonesia Maju, Pemantik Terorisme

Pos jaga markas Polisi Daerah Sumatra Utara juga diserang dua teroris pada 27 Juni 2017 lalu. Setahun sebelumnya, sasaran bukan polisi, melainkan Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Medan. Bom bunuh diri itu juga ditaruh di ransel, bertepatan pada Minggu (28/8/2016) silam. Pastor Albert Pandiangan juga diserang menggunakan senjata tajam, ketika itu, tetapi beruntung masih selamat.

Kota Sibolgia, pada 12 Maret lalu, juga dihebohkan dengan bom bunuh diri. Abu Hamzah, terduga teroris, meledakkan diri di jalan Cendrawasih , dan menewaskan anggota Densus 88. Sehari berikutnya, 13 Maret, terjadi dua kali ledakan bom bunuh diri dan melukai anggota Polres. Akibat ledakan tersebut, puluhan rumah hancur. Polisi pun menemukan jenazah istri Abu Hamzah serta dua anaknya.

Menariknya, dari serangkaian teror tersebut, rata-rata pelaku adalah anggota Jemaah Ansharut Daulah (JAD). Kelompok ini merupakan cabang ISIS di Indonesia, yang memetakan sasaran mereka kepada kepolisian. Tidak ada yang tahu pasti doktrin apa yang membuat anggota JAD berani bertindak anarkis, membunuh dan bunuh diri. Katanya, bidadari surga adalah iming di balik ketololan aksi mereka.

Bendung Radikalisme; Hak Wajib Warga Negara

Menko Polhukam Manfud MD menegaskan, dalam suatu wawancara eksklusif, pemerintah memetakan pemberantasan radikalisme menjadi tiga: jeratan undang-undang bagi penebar ujaran kebencian, polisi dan BNPT untuk memerangi radikalisme jihadis, yang bom bunuh diri masuk di antaranya, dan perang wacana bagi penebar politik ideologi radikalis.

Yang terakhir ini, radikalisme sebagai politik ideologis, konotasinya adalah doktrinisasi. Misalnya, orang yang mati bunuh diri akan dapat balasan bidadari surga, dan sejenisnya. Kelak, ia tak hanya berupa doktrin, tetapi menjadi aksi konkret. Artinya, doktrinisasi ekstremisme merupakan sesuatu yang dinamis. Tinggal menunggu momen, kapan ia akan melakukan aksi teror seperti bom bunuh diri.

Menteri Agama memiliki kebijakan strategis untuk membendung radikalisme ini, di antaranya ialah dengan mengganti kurikulum pelajaran agama, yang dirasa menjadi cikal-bakal pemahaman radikal. Namun, yang tidak boleh diabaikan ialah, doktrinisasi tak selamanya berasal dari pelajaran. Media sosial memainkan peran penting terhadap doktrinisasi. Karenanya, kebijakan media sosial juga urgen dibuat.

Bahwa radikalisme bukan bagian dari ajaran Islam, itu adalah sesuatu yang mutlak, absolut. Segala tindakan teror adalah soal pertarungan ideologi politik, tidak lebih, yang dikirim dari Negara konflik di Timur Tengah. Di Indonesia, memerangi menjadi jihad wajib, demi keutuhan Negara kesatuan. Sama wajibnya dengan ketika Nabi Muhammad memerangi para pemberontak di Kota Madinah.

Teroris, ekstremis, radikalis, adalah hantu. Tidak tampak, tetapi begitu dekat dengan kita. Tidak tahu pasti, apakah kita masuk agenda penyerangan mereka. Yang jelas, perang total terhadap radikalisme adalah kewajiban individual warga Negara.

Sebagai Muslim, wajibnya menebarkan kedamaian, toleransi, dan berhenti bertindak bodoh dengan membunuh diri sendiri dan orang lain. Apalagi iming-imingnya hanya surga yang absurd. Cukuplah Medan menjadi saksi kebrutalan radikalisme. Tugas kita adalah memeranginya, demi membela Islam, demi membela keutuhan bangsa Indonesia.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru