27.1 C
Jakarta

Kredo Toleransi; Bagimu Agamamu, Bagiku Kau Saudaraku

Artikel Trending

KhazanahOpiniKredo Toleransi; Bagimu Agamamu, Bagiku Kau Saudaraku
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Seringkali masih banyak orang yang salah kaprah dalam memaknai toleransi. Tersebab, toleransi masih kerap dipahami sebagai tindakan pengabaian, pembiaran, dan ketidakpedulian. Cara pandang yang demikian itu tentu harus direvisi. Toleransi bukanlah sikap apatis atau skeptis terhadap perbedaan. Sebaliknya, kredo toleransi mensyaratkan hadirnya kepedulian dan keberpihakan pada kaum yang lemah.

Di dalam Islam, salah satu ayat yang bisa dijadikan dasar argumen toleransi ialah ayat “lakum dinukum waliya din”. Ayat ini bukanlah menganjurkan umat Islam untuk mengabaikan umat beragama lain dengan menarik garis batas perbedaan agama-agama. Ayat ini justru mengandung makna bahwa umat Islam harus memberikan ruang bagi kelompok agama lain untuk menjalani peribadatan dan mengekspresikan keimanan.

Ayat lakum dinukum waliya din itu mengandung kredo toleransi, yakni bahwa perbedaan agama ialah hal yang niscaya dan merupakan sunnatullah, namun hal itu tidak menghalangi manusia untuk menjalin persaudaraan.

Kita memang bisa dipisahkan oleh perbedaan iman, namun kemanusiaan lah yang mempertemukan kita kembali dalam bingkai persaudaraan. Di titik ini relevan kiranya mengutip pernyataan Gus Dur yang berbunyi, “bagimu agamamu, bagiku kau saudaraku”.

Justifikasi teologis melalui ayat lakum dinukum waliya din ini tentu tidak cukup untuk membangun kultur toleransi di kalangan umat Islam. Diperlukan langkah-langkah konkret untuk menjadikan toleransi sebagai gaya hidup sekaligus paradigma berpikir.

Langkah pertama yang harus umat lakukan ialah menghapus segala prasangka negatif terhadap kelompok agama lain. Harus diakui bahwa intoleransi kerap bermula dari sikap sinis dan benci terhadap agama lain. Kebencian dan sinisme yang umumnya dilatari oleh dalil teologis bahwa orang-orang non-Islam ialah kelompok kafir, sesat, celaka dan akan menghuni neraka.

Doktrin teologis yang demikian itu harus didekonstruksi dan ditafsirkan ulang. Di tengah kemajemukan bangsa saat ini kita membutuhkan sebuah tafsir yang lebih ramah perbedaan dan bernuansa inklusif. Di samping itu, diperlukan upaya untuk saling ajaran teologis antar-agama sehingga meminimalisasi sikap curiga, sinis, dan benci tersebut.

BACA JUGA  Bahaya Brainwashing Radikalisme di Dunia Maya dan Strategi Penanganannya

Langkah kedua ialah meluruhkan egoisme beragama yang dikukuhkan melalui klaim kebenaran agama secara absolut. Dalam banyak hal, klaim kebenaran atas tafsir agama yang diabsolutkan akan menumbuhkan benih-benih intoleransi.

Untuk mencegahnya, kita harus membangun konsep teologi baru yang lebih pluralis. Komunitas Katolik misalnya berani merilis Konsili Vatikan II yang salah satu poinnya telah mengakui bahwa Gereja Katolik bukan satu-satunya pemilik kebenaran dan jalan keselamatan.

Dunia Islam sendiri sampai saat ini belum memiliki dokumen tertulis resmi yang mengakui ada kebenaran dan jalan keselamatan lain di luar Islam. Padahal ini penting untuk mengikis egoisme dan arogansi beragama umat Islam selama ini.

Langkah ketiga ialah menumbuhkan kepedulian dan keberpihakan terhadap kaum lemah atau dalam hal ini kelompok minoritas agama. Sejarah mencatat bahwa kelompok agama minoritas merupakan obyek yang kerap menjadi sasaran tindakan intoleransi dan kekerasan. Dalam konteks ini, kaum minoritas kerap berada di posisi fait accompli alias tidak punya pilihan.

Mereka (minoritas) terpaksa tunduk pada aturan yang dibuat oleh kaum mayoritas. Apa yang terjadi kemudian ialah terciptanya konsep toleransi semu, atau yang diistilahkan oleh Herbert Marcuse sebagai toleransi represif. Yakni model toleransi yang menindas kaum lemah (minoritas).

Toleransi idealnya berbasis pada kepedulian dan keberpihakan, bukan berdasar pada hasrat untuk menguasai dan mengendalikan. Kaum mayoritas ialah pengayom, bukan pengekang. Kaum minoritas ialah subjek otonom yang merdeka, bukan objek yang dependen dan tidak memiliki posisi tawar.

Seperti pernah dinyatakan Gus Dur, “tidak ada toleransi, kecuali dengan keadilan”. Maka, toleransi hakikatnya satu paket dengan kepedulian, keberpihakan, dan keadilan.

Sivana Khamdi Syukria
Sivana Khamdi Syukria
Pemerhati isu sosial dan keagamaan, alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru