Sepanjang sejarah peradaban Islam ada banyak penafsiran ataupun penafsiran ulang tentang kapasitas manusia dalam memimpin. Pada bidang teologi (kalam) klasik kita mengenal yang namanya paham jabariyah maupun qadariyah. Tentu, ini berkaitan dengan status kita sebagai khalifah di bumi (khalifah fi al-Ardhi).
Yang pertama bersifat fatalistis, bahwa manusia hanyalah serupa wayang di mana segala gerak-geriknya tergantung oleh sang dalang. Pada paham qadariyah manusia dikonstruksikan memiliki kehendak bebas beserta segala tanggung jawabnya. Ia tak akan berubah selama tak punya ambisi untuk berubah.
Ada pula yang berupaya memadukan kedua penafsiran atas diri manusia tersebut. Seumpamanya pada teologi Abu al-Hasan al-Asy’ari (Asy’ariyah), bahwa manusia tak selamanya seperti wayang yang seturut dengan kemauan sang dalang. Tapi ia tak pula memiliki kehendak bebas yang tanpa batas laiknya kaum proletar sebagi agen perubahannya Karl Marx.
Ada satu contoh sederhana berkaitan dengan perpaduan antara paham jabariyah dengan paham qadariyah. Taruhlah seonggok kepala yang dengan bebasnya dapat tertunduk, berputar-putar, atau mendongak. Tapi tentu, ia tak mungkin untuk tiba-tiba meloncat dan menari-nari lepas dari tubuh yang menopangnya. Dengan kata lain, dalam hal ini Tuhan sedikit memberi ruang pada manusia untuk berimprovisasi: memilih menjadi baik atau jahat.
Di sinilah kemudian polemik antara Muhammad Iqbal, seorang filosof Pakistan, dan para penganut teologi fatalistis sempat mewarnai sejarah peradaban Islam. Tak tanggung-tanggung, filosof berkumis tebal itu menulis pula puisi-puisi yang mengangkat vitalitas dan dinamika kedirian manusia: Asrar-i-Khudi.
Khalifah fi al-Ardhi yang Eksistensial
Dalam puisi-puisinya itu Iqbal tak suka menyajikan manusia sebagai diri-diri yang terkebiri. Untuk menjadi seorang khalifah fi al-Ardhi, ia mesti memanfaatkan segala potensinya yang telah dianugerahkan oleh Tuhan: jiwa, tubuh, juga pikiran atau nalar.
Iqbal tak berbicara tentang khalifah fi al-ardhi secara khusus. Khotbah-khotbahnya tentang manusia bersifat umum, mengarah ke siapa pun. Dengan demikian, khalifah dalam pengertian Iqbal bukanlah sejenis manusia khusus laiknya khalifah dalam pengertian para pemabuk khilafah Islamiyyah.
Tak pula sebagaimana konsep manusia rendahan yang untuk menumbuhkannya harus senantiasa digoreng dengan dicacimaki selaiknya dalam arus gelombang goblok “nasionalisme masturbasif” yang sama sekali tak Islami (Parasit dan Nasionalisme Masturbasif, Heru Harjo Hutomo, www.www.harakatuna.com).
Seperti halnya salah satu inspirator terbesarnya, Nietzsche, yang pernah menubuatkan apa yang ia sebut sebagai Übermensch (Nietzsche, Politik Kebiri, dan Insting Kerumunan, Heru Harjo Hutomo, geotimes.co.id).
Secara eksistensial, saya kira, konsep khalifah fi al-Ardhi berkaitan dengan fakta bahwa kita tak pernah minta untuk dilahirkan, tapi tiba-tiba kita menyadari bahwa kita ada. Dan kita pun mesti bertanggungjawab atas keberadaan ini. Untuk sekedar makan misalnya, kita mesti mencari cara, entah sekedar mencuri ayam tetangga atau bekerja sebagai buruh tani di sawah.
Bahkan pun ketika di antara kita memperoleh raskin, BLT, ataupun “tunjangan pengangguran,” kita mesti memiliki syarat-syarat tertentu untuk menerimanya. Di sinilah kemudian, saya kira, konsep khalifah menemukan kejelasannya: bertanggungjawab atas hidup yang tak pernah kita minta.
Begitu pula dalam kaitannya dengan dunia dan kehidupan bersama, masing-masing dari kita sudah dibekali dengan tubuh, jiwa, dan otak untuk digunakan dalam mencari cara dan menyikapi hidup atau keadaan.
Tuhan sudah meminjamkan segala sesuatunya untuk di-gadhuh (Muhammad, Heru Harjo Hutomo, jalandamai.net). Sekarang tinggal bagaimana kita memanfaatkannya. Dalam proses peng-gadhuh-an ini kita, manusia, adalah yang mesti menelan untung dan ruginya.