26.1 C
Jakarta

Konsep Khalifah fi al-Ardhi di Tengah Gelombang Pembodohan Agama

Artikel Trending

KhazanahOpiniKonsep Khalifah fi al-Ardhi di Tengah Gelombang Pembodohan Agama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sepanjang sejarah peradaban Islam ada banyak penafsiran ataupun penafsiran ulang tentang kapasitas manusia dalam memimpin. Pada bidang teologi (kalam) klasik kita mengenal yang namanya paham jabariyah maupun qadariyah. Tentu, ini berkaitan dengan status kita sebagai khalifah di bumi (khalifah fi al-Ardhi).

Yang pertama bersifat fatalistis, bahwa manusia hanyalah serupa wayang di mana segala gerak-geriknya tergantung oleh sang dalang. Pada paham qadariyah manusia dikonstruksikan memiliki kehendak bebas beserta segala tanggung jawabnya. Ia tak akan berubah selama tak punya ambisi untuk berubah.

Ada pula yang berupaya memadukan kedua penafsiran atas diri manusia tersebut. Seumpamanya pada teologi Abu al-Hasan al-Asy’ari (Asy’ariyah), bahwa manusia tak selamanya seperti wayang yang seturut dengan kemauan sang dalang. Tapi ia tak pula memiliki kehendak bebas yang tanpa batas laiknya kaum proletar sebagi agen perubahannya Karl Marx.

Ada satu contoh sederhana berkaitan dengan perpaduan antara paham jabariyah dengan paham qadariyah. Taruhlah seonggok kepala yang dengan bebasnya dapat tertunduk, berputar-putar, atau mendongak. Tapi tentu, ia tak mungkin untuk tiba-tiba meloncat dan menari-nari lepas dari tubuh yang menopangnya. Dengan kata lain, dalam hal ini Tuhan sedikit memberi ruang pada manusia untuk berimprovisasi: memilih menjadi baik atau jahat.

Di sinilah kemudian polemik antara Muhammad Iqbal, seorang filosof Pakistan, dan para penganut teologi fatalistis sempat mewarnai sejarah peradaban Islam. Tak tanggung-tanggung, filosof berkumis tebal itu menulis pula puisi-puisi yang mengangkat vitalitas dan dinamika kedirian manusia: Asrar-i-Khudi.

Khalifah fi al-Ardhi yang Eksistensial

Dalam puisi-puisinya itu Iqbal tak suka menyajikan manusia sebagai diri-diri yang terkebiri. Untuk menjadi seorang khalifah fi al-Ardhi, ia mesti memanfaatkan segala potensinya yang telah dianugerahkan oleh Tuhan: jiwa, tubuh, juga pikiran atau nalar.

BACA JUGA  Menjaga Persatuan dalam Keberagaman Agama

Iqbal tak berbicara tentang khalifah fi al-ardhi secara khusus. Khotbah-khotbahnya tentang manusia bersifat umum, mengarah ke siapa pun. Dengan demikian, khalifah dalam pengertian Iqbal bukanlah sejenis manusia khusus laiknya khalifah dalam pengertian para pemabuk khilafah Islamiyyah.

Tak pula sebagaimana konsep manusia rendahan yang untuk menumbuhkannya harus senantiasa digoreng dengan dicacimaki selaiknya dalam arus gelombang goblok “nasionalisme masturbasif” yang sama sekali tak Islami (Parasit dan Nasionalisme Masturbasif, Heru Harjo Hutomo, www.www.harakatuna.com).

Seperti halnya salah satu inspirator terbesarnya, Nietzsche, yang pernah menubuatkan apa yang ia sebut sebagai Übermensch (Nietzsche, Politik Kebiri, dan Insting Kerumunan, Heru Harjo Hutomo, geotimes.co.id).

Secara eksistensial, saya kira, konsep khalifah fi al-Ardhi berkaitan dengan fakta bahwa kita tak pernah minta untuk dilahirkan, tapi tiba-tiba kita menyadari bahwa kita ada. Dan kita pun mesti bertanggungjawab atas keberadaan ini. Untuk sekedar makan misalnya, kita mesti mencari cara, entah sekedar mencuri ayam tetangga atau bekerja sebagai buruh tani di sawah.

Bahkan pun ketika di antara kita memperoleh raskin, BLT, ataupun “tunjangan pengangguran,” kita mesti memiliki syarat-syarat tertentu untuk menerimanya. Di sinilah kemudian, saya kira, konsep khalifah menemukan kejelasannya: bertanggungjawab atas hidup yang tak pernah kita minta.

Begitu pula dalam kaitannya dengan dunia dan kehidupan bersama, masing-masing dari kita sudah dibekali dengan tubuh, jiwa, dan otak untuk digunakan dalam mencari cara dan menyikapi hidup atau keadaan.

Tuhan sudah meminjamkan segala sesuatunya untuk di-gadhuh (Muhammad, Heru Harjo Hutomo, jalandamai.net). Sekarang tinggal bagaimana kita memanfaatkannya. Dalam proses peng-gadhuh-an ini kita, manusia, adalah yang mesti menelan untung dan ruginya.

Heru Harjo Hutomo
Heru Harjo Hutomo
Penulis, peneliti lepas, pemerhati radikalisme dan terorisme. Menggambar dan bermain musik. Sejak 2017 karya-karya analisisnya tentang radikalisme dan terorisme banyak dimuat di jalandamai.org dan www.www.harakatuna.com. Adapun pemikiran-pemikiran, esai-esai eksperimental dan karya-karya sastranya tentang kebudayaan, filsafat, politik, seni, dan Islam Nusantara, banyak dimuat di alif.id, islami.co, idenera.com, berdikarionline.com, idenera.com, dan jurnalfaktual.id. "Jalan Jalang Ketuhanan: Dekonstruksi Santri Brai," Kreasi Wacana, 2011, merupakan buku pertamanya tentang tema Islam Nusantara. Ia juga berkontribusi pada sebuah buku yang merupakan kumpulan refleksi tentang peristiwa bom Surabaya pada 13 Mei 2018: "Merawat Ingatan Merajut Kemanusiaan," idenera.com, Surabaya, 2019, "Kepercayaan dan Pandemi: Antologi Esai Penghayat Kepercayaan Menghadapi Covid-19," IRCiSoD, Yogyakarta, 2020, dan "Menolak Wabah: Suara-Suara Dari Manuskrip, Relief, Khazanah Rempah Dan Ritual Nusantara," Penerbit Ombak dan BWCF Society, Yogyakarta, 2020. Ia pun juga berkecimpung di dunia seni, beberapa sajaknya dimuat di "Mata Sajak: Antologi Puisi Pengawasan Pemilu," Bawaslu Jawa Tengah, Semarang, 2019, dan karya-karya seni rupanya dapat dilihat di alif.id dan idenera.com. Buku keduanya, "Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang," diterbitkan oleh CV. Kekata Group, Surakarta, 2020. Adapun buku ketiga dan keempatnya yang juga berisi karya-karya drawingnya, "Kahanan: Melongok dari yang Tak Pokok" dan "Sangkan-Paran," diterbitkan oleh Bintang Pustaka Madani, Yogyakarta, 2021. Single terbarunya, "Menjejak Keprak (2021)" dan "Gelisah" dirilis dan didistribusikan oleh CV. Belantika Digital, Yogyakarta. Sedangkan single lainnya, "Sapa Sira, Sapa Ingsun (2021)," dirilis dan didistribusikan oleh Netrilis Music, Yogyakarta. Pada tahun 2020 memperoleh Adi Acarya Award 2020 di bidang literasi dan pendidikan.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru