29.4 C
Jakarta
Array

Kembali ke-Khitah Keadilan

Artikel Trending

Kembali ke-Khitah Keadilan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dan mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang lemah (mustadafin), baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak yang berdo’a, “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang penduduknya dhalim, berilah kami pelindung dari sisi-Mu dan berilah kami penolong di sisi-Mu (Q.S AN-NISA’ ;75)

Dari terjemahan Qur’an Surah An-Nisa’ ayat 75 bisa disimpulkan jika ingin mencapai  keadilan, Maka di perlukan kaum pembela bagi kaum yang lemah(mustadafin), kaum pembela bila di kontekskan kepada negara adalah kaum penguasa atau penegak hukum, sementara kaum lemah (mustadafin) adalah rakyat.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, merupakan sila ke-lima dari salah satu ideologi Pancasila. Negeri yang mengagungkan dan menjunjung tinggi keadilan yang menyeluruh tanpa memilah-milah orang yang pantas untuk di adili adalah inti dari sila kelima  tsb.

Negeri berkeadilan,  julukan tersebut pantas untuk disematkan kepada Indonesia bila kita lihat dari ideologi Pancasila. Namun, dalam kehidupan realita apakah negeri ini sudah mencapai ideologi sila ke-lima yang diagungkan?

Mungkin sebagian mustadafin hanya menganggap sila ke-lima hanyalah omong kosong yang hanya menjadi simbol-simbol bagi golongan tertentu yaitu golongan pejabat dan golongan kaya.  Karena hal yang terjadi di Indonesia adalah kaum mustadafin selalu salah di mata penegak keadilan. Bukan lagi menjadi hal yang tabu bahwa orang yang berkuasa dan berharta menjadi pemeran utama yang menang. Orang yang berkuasa dan berharta bisa menang walaupun dalam kenyataanya mereka adalah pihak yang bersalah, semua itu bisa dicapai hanya dengan memberikan uang “pelicin”  kepada penegak hukum.

Kebiasaan para penegak hukum sangat berperan penting dalam menjalankan hukum. Mereka bisa membuat hukum menjadi tajam atau tumpul. Apabila mereka menegakkan hukum seadil-adilnya hukum akan ada tajinya dimasyarkat. Namun, hukum yang seharusnya bersifat memaksa dan mengikat bisa menjadi tumpul apabila mereka menegakkan hukum secara tebang pilih.

Namun kenyataanya sangat pahit bahwa ternyata penegak hukum di Indonesia sering melakukan praktek jual beli hukum, Hal ini membuat image hukum di kalangan masyarakat menjadi  hal yang bisa diperjual belikan. Bukan hal yang salah jika masyarakat berpendapat hukum di Indonesia tumpul keatas dan tajam kebawah. Hukum yang seharusnya bagaikan dua arah mata pisau yang menghadap keatas dan kebawah yang sama-sama tajam, tapi, kenyataannya hanyalah idealitas bukanlah realitas.

Banyak kasus yang terjadi di Indonesia tapi semuanya dilupakan atau dibuat lupa, contoh saja kasus pembuuhan aktivis Said Munir Thalib sudah 24 tahun berlalu tapi semua hanya berlalu bak angin sepoy yang hamya mampir untuk menerpa tubuh setelah itu hilang tak terasa. ada juga kasus penyiraman air keras kepada anggota penyidik KPK Novel Baswedan beberapa tahun silam yang tak tahu kabarnya dan masih banyak lagi kasus-kasus yag sampai sekarang belum terpecahkan.

Jika Indonesia ingin mencapai esensi sila ke-lima semua pihak harus terlibat. Semua pihak terkhusus penegak hukum harus berani mengatakan kebenaran sebgai kebenaran dan yang salah dikatakan salah. Indonesia pun perlu menghukum oknum-oknum penegak hukum yang melakukan malpraktik hukum agar masyarakat percaya kalau keadilan itu ada di Indonesia. Jika penegak hukum menjalankan hukum dengan seadil-adilnya maka Insya’allah Indonesia akan mencapai negara adil makmur yang di ridhoi Allah swt. Wallahu ‘alan bi al-showab.

Oleh: Moch Rosyad A.R., Mahasiswa Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru