25.4 C
Jakarta

Islam Agama Rahmat, Bukan Agama Laknat

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanIslam Agama Rahmat, Bukan Agama Laknat
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Saya meyakini bahwa Islam akan senantiasa menghidupi jiwa dan raga para pemeluknya apabila mereka mau memahami seluk-beluk ajaran-ajaran Islam secara utuh dan arif. Sebaliknya, Islam akan menjadi “barang mati” yang tidak memberikan daya apa-apa apabila umat Islam tidak mau menguak dan memahaminya. Dan meskipun Islam dipahami secara berbondong-bondong. Namun, karena gagal dalam memahaminya secara utuh sehingga menyebabkan keberadaan Islam seperti tidak ada (wujûduhû ka ‘adamihî). Ketika hasil pemahaman keislaman tersebut tidak mampu merepresentasikan dan memanifestasikan wajah Islam sebagai agama yang ramatan li al-‘âlamîn.

Oleh karena itu, tidak heran apabila kemudian, misalnya, muncul beberapa istilah dari non Muslim dalam menilai Islam. Seperti “Islam agama laknat” atau Islam agama rahmat. Beberapa istilah itu muncul terkadang sebagai respon terhadap sikap dan perilaku keberagamaan Muslim tertentu. Dan juga merupakan aktualisasi dari pemahamannya terhadap Islam itu sendiri.

Islam Di Indonesia

Mengingat orang-orang non Muslim merupakan salah satu mitra hidup masyarakat Muslim. Dengan demikian, salah besar apabila term “Islam agama laknat” ditujukan kepada Islam. Namun, bukan kepada Muslim tertentu yang barangkali salah atau keliru dalam memahami dan menafsirkan Islam. Sebab, secara teologis diyakini Islam adalah agama yang sempurna, sesuai dengan kemanusiaan, dan jauh dari kecacatan.

Adapun beberapa kecacatan yang dianggap lahir dari Islam sebenarnya timbul dari keberagamaan Muslim tertentu dalam memahami Islam itu sendiri. Hal ini ditegaskan dalam sebuah maqâla: laisa al-‘aib fî dîninâ wa lakin al-‘aib fî tadayyuninâ. Artinya, kecacatan tidak timbul dari agama kami. Tetapi timbul dari keberagamaan kami. Untuk itu, keindahan dan ke-ramatan lil ‘âlamîn-an Islam tertutupi oleh pemahaman dan perilaku buruk Muslim tertentu.

Dalam konteks Indonesia, seringkali dijumpai perilaku-perilaku keberislaman yang tidak membuat nyaman kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengingat tidak jarang Muslim atau kelompok tertentu mengambil hak Allah dengan mengafirkan dan memurtadkan Muslim lain yang memiliki pandangan keislaman berbeda dengan mayoritas. Sehingga, terkadang melahirkan beberapa fatwa keislaman yang mengganggu atau bahkan “merenggut” ketenangan dan kedamaian kehidupan Muslim tertentu. Padahal, diketahui hanya Allah yang berhak menghakimi perbedaan-perbedaan tersebut kelak kelak di akhirat (Yûnus (10): 93, an-Naḥl (16): 124, asy-Syu‘arâ’ (26): 10). Apalagi perkara yang dipermasalahkan adalah sama-sama hasil pemikiran (ijtihad) yang masih belum pasti kebenarannya.

Selain itu, beberapa aksi organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam tertentu, misalnya, satu sisi ingin menegakkan kewajiban amar ma‘rûf nahî munkar. Tetapi di sisi lain menebar “kemungkaran” di mana-mana, seperti kebencian, pemaksaan, pengusiran, kekerasan, perusakan, dan bahkan pembunuhan. Kenyataan ini seakan memaksa individu atau kelompok tertentu meninggalkan keyakinan mereka dan harus mengikuti ajaran beberapa ormas Islam tersebut sebagai “kebenaran tunggal” yang bersifat absolut. Sehingga, tidak jarang beberapa ormas Islam melakukan kekerasan ketika menghakimi aliran lain yang berbeda dengan pemahaman dan keyakinan mereka. Hal ini setidaknya dilihat dari beberapa kasus, seperti jemaat Ahmadiyah, Syiah Sampang, FPI vs warga Kendal tahun 2013, Sunni vs Syiah di Jember yang menewaskan satu orang, merusak dua masjid, puluhan perahu, dan rumah warga tahun 2013.

Bahkan peristiwa mengerikan pernah menimpa jemaat Ahmadiyah di Cikeusik tahun 2011. Menurut laporan Human Rights Watch, terdapat sekitar 1.500 militan Islamis yang melakukan penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah waktu itu. Mereka menyerang secara bringas dan tidak berkeprimanusiaan menggunakan batu, bambu, dan golok seraya berteriak “kafir!”. Dalam peristiwa berdarah dan memalukan ini, mereka―yang dengan bangganya mengaku beragama Islam―tidak hanya menyerang rumah-rumah jemaat Ahmadiyah dan merampas harta-benda seorang Ahmadi. Tetapi juga memukul dan menginjak-injak tiga orang Ahmadi hingga meninggal (Atas Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia, 2013: 1).

Akibat sikap arogan sebagian kelompok Muslim ini banyak orang yang kehilangan haknya dan bahkan hidup menderita. Muslim Syiah Sampang tidak hanya kehilangan haknya untuk hidup damai dan menjalankan keyakinan mereka di kampung halaman tercinta, tetapi juga hidup terusir hampir delapan tahun (2011-2019) di tempat pengungsian. Nasib serupa juga dialami oleh orang-orang Ahmadiyah Lombok. Mereka sudah sembilan tahun (pada tahun 2015) hidup terusir di pengungsian Transito Mataram, Nusa Tenggara Barat. Di tahun 2018, jemaat Ahmadiyah asal Desa Greneng, Kecamatan Sakra Timur, Lombok Timur, hidup terusir di tempat pengungsian setelah diserang dan diusir dari kampung halamannya oleh warga desa setempat.

BACA JUGA  Dua Hal Penting Biar Kita Layak Jadi Warga Indonesia

Padahal Allah sendiri sekali-kali tidak menghendaki hal demikian. Sebab, Allah sengaja menciptakan manusia dengan karakter dan pemikiran yang berbeda-beda agar saling mengenal, memahami, menghormati, dan mengakui satu sama lain (al-Mâ’idah (5): 48, al-Ḥujurât (49): 13, al-Baqarah (2): 256, dan al-Kahf (18): 29). Bahkan, menurut Nurcholish Madjid (Cak Nur), Nabi Muhammad saw. pernah ditegur Allah ketika hendak memaksakan kehendak(ajaran)nya kepada orang lain. Teguran ini diabadikan dalam surat Yûnus (10): 99, dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”. Hal ini karena Rasulullah saw. tidak memiliki otoritas sama sekali untuk memaksakan ajarannya kepada orang lain. Beliau hanyalah pemberi peringatan semata, sebagaimana firman Allah dalam al-Gâsyiyah (88): 21-22 (Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI: Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP), 2007: XXXI).

Islam Anti Kekerasan

Bahkan lebih mengerikan lagi adalah aksi terorisme yang banyak dilakukan oleh kelompok Muslim garis keras. Dalam praktiknya, mereka membawa nama besar Islam dan mengaku atas nama Islam untuk membunuh dan mengebom orang lain, menghancurkan rumah ibadah non Muslim, dan beberapa tempat tertentu. Kasus terakhir menimpa Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto, yang ditusuk oleh anggota terorisme Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan bom bunuh diri di Polrestabes Medan.

Kenyataan semacam ini sungguh sangat miris dan ironis. Sebab, Allah sendiri memberikan kebebasan kepada seluruh umat manusia dalam memilih dan mengambil jalan hidup mereka masing-masing. Yang terpenting bisa mempertanggung-jawabkan dan tidak merusak hak-hak orang lain (al-Baqarah (2): 134, 202, 256, Yûnus (10): 4, asy-Syu‘arâ’ (26): 216). Selain itu, keimanan Muslim yang suka menebarkan dan melakukan teror harus dipertanyakan kembali. Mengingat Allah akan menanamkan kasih-sayang ke dalam jiwa orang-orang beriman dan mengerjakan kebajikan. Hal ini ditegaskan dalam Maryam (19): 96,“sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih-sayang.

Berbeda dengan sikap Imam aṣ-Ṣan‘ânî ketika menghadapi realitas kehidupan yang sejatinya tidak sejalan dengan keinginanya. Beliau tetap membiarkan atau memberikan kebebasan kepada orang-orang dalam menjalani kehidupan mereka masing-masing. Hal ini diabadikan dalam syair indahnya (Subul as-Salâm, Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1997, I: 17): “wa khalîlun ra’â min an-nâs jam‘ân # lâ yazalûna fî al-hawâ khâiînâ. Qâla: hallâ nahaitahum ‘an hawâhum # qultu: żarhum fî khaiihim yal‘abunâ” (seorang sahabat karib melihat sekelompok manusia # mereka sedang berenang asyik dalam telaga nafsu. Dia berkata: ayolah anda cegah hawa nafsu dan kebiasaan buruk mereka # aku berkata: biarkanlah mereka berenang asyik dalam telaga mereka).

Dengan demikian, sebagai Muslim yang baik tentu harus lebih arif dalam menyikapi setiap perbedaan pemikiran dan gejolak kehidupan tanpa harus menggunakan kekerasan ketika meresponnya. Setiap Muslim seharusnya membuang jauh-jauh ego pribadi dan golongannya agar tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Sebab, menurut Cak Nur, memaksanakan kehendak pribadi atau kelompok kepada orang lain adalah bagian dari âgut (Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI). Sehingga, ketakutan kepada Islam atau islamofobia yang selama ini menghantui kehidupan manusia tidak semakin menjadi-jadi dan menjalar kemana-mana. Mengingat hal itu akan merugikan Islam itu sendiri. Padahal, Rasulullah saw. sendiri memerintahkan umat Islam agar bergaul secara baik dengan manusia: wa khâliq an-nâs bi khuluq asanin. Wa Allâh Alam wa A‘lâ wa Akam.

Nasrullah Ainul Yaqin, S.H.I., M.A
Nasrullah Ainul Yaqin, S.H.I., M.Ahttps://www.www.harakatuna.com
Alumni Interdisciplinary Islamic Studies Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogykarta Konsentrasi Kajian Maqasid dan Analisis Strategik

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru