29.5 C
Jakarta

COVID-19 di Panggung Ustaz-ustaz Radikal

Artikel Trending

Milenial IslamCOVID-19 di Panggung Ustaz-ustaz Radikal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tulisan-tulisan sebelumnya telah banyak berbicara tentang Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Bagaimana masyarakat memandang wabah ini dari berbagai aspek telah kita ulas. Ada yang memandangnya secara teologis, juga ada yang menggunakan kacamata sains. Bagi kita umat Islam, tentu tidak bisa berat sebelah. Mengimbangi keagamaan dengan sains adalah keharusan.

Pemerintah dan masyarakat tak tanggung-tanggung dalam melawan pandemi global ini. Meski di awal sempat dikhawatirkan Indonesia tak akan mampu melawan COVID-19, lantaran keterbatasan ketahanan nasional. Dilansir dari The Jakarta Post, Indonesia menjadi negara paling dermawan di dunia (The most generous country in the world) dengan persentase 59%.

Peringkat selanjutnya yaitu Australia 59%, Selandia Baru 58%, Amerika Serikat 56%, Irlandia 56%, Inggris 55%, Singapura 54%, Kenya 54%, Myanmar 54%, dan Bahrain 53%. Persentase kedermawanan ini dihitung berdasarkan tiga macam bantuan: jadi relawan (volunteering) sebanyak 53%, donasi uang (donating money) 78%, dan membantu orang tak dikenal (helping a stranger) sebanyak 46%.

Pembatasan sosial skala besar (PSSB) dicanangkan oleh Presiden Jokowi. Ini menunjukkan bahwa penanganan serius pemerintah harus diapresiasi. Karenanya, adalah tidak bijak bila kita terus-menerus mengkritik, menumbuhkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah. Apalagi sampai keluar statemen kebencian. Termasuk jika itu keluar dari seorang ustaz.

Agar tidak terkesan menuduh, di sini akan dikemukakan sebuah contoh. Beberapa waktu lalu, seorang ustaz sempat menganggap COVID-19 sebagai azab Allah kepada semua manusia yang banyak dosa dan terjerumus kesesatan-kekafiran. Oleh karena itu demi diangkatnya musibah ini, kita harus tunduk-patuh kepada hukum Allah, di antaranya ialah mendirikan khilafah.

Atau, contoh lain, belum lama ini terjadi. Ini sudah diulas dalam tulisan sebelumnya. Beredar pamflet yang berisi ujaran kebencian terhadap pemerintah. Menganggap rezim Jokowi sebagai rezim zalim yang tidak pro rakyat dan justru lebih mementingkan keselamatan negara dari krisis. Secara implisit, golongan ini menginginkan Jokowi lengser. Begitu tujuan akhirnya, bukan?

Tentu fenomena tersebut tak berjalan sendiri. Ada pelaku. Para pelakunya harus kita labeli radikal.

Siapa Ustaz Radikal?

Ustaz adalah dai, pendakwah, tokoh masyarakat, rujukan umat dalam segala persoalan keagamaan mereka. Mereka adalah public sphere, yang baik perkataan maupun perbuatannya menjadi panutan masyarakat. Masalahnya, seringkali isi dakwah mereka tidak sekadar menyampaikan sesuatu yang diklaimnya benar, melainkan juga membenturkan kebenaran tersebut dengan pemerintah.

Tentu ini tidak terjadi secara holistis. Tidak semua ustaz demikian. Tidak semua dai adalah oposisi. Penyematan ustaz radikal ini tidak dalam rangka memojokkan mereka, menstigmatisasi tokoh masyarakat sebagai sarang radikalisme. Tidak demikian. Namun, kita bisa memilah antara yang radikal atau tidak, adalah dari bahan dan cara dakwah itu sendiri.

Ustaz adalah ustaz, radikal adalah radikal. Keduanya tidak identik bersamaan, tetapi penyematan tidak selalu salah. Toh faktanya beberapa konten dakwah bertendensi provokatif. Maka dari itu, ustaz radikal adalah mereka yang memiliki pengaruh publik, tetapi memanipulasi posisinya untuk kepentingan ideologis. Biasanya, dakwahnya cenderung menggebu-gebu mirip orasi.

Di atas panggung, para ustaz radikal memiliki tema dakwah baru, tentang wabah COVID-19 ini. Tentu semua ustaz ingin ceramahnya disuka banyak jemaah. Di situlah COVID-19 menemukan momentum. Ia diulas dari berbagai aspek. Mulai dari dianggap tentara Allah, dianggap konspirasi orang-orang kafir, bahkan dianggap azab terhadap siapapun yang tak menerapkan hukum Tuhan, yaitu khilafah.

BACA JUGA  Indoktrinasi HTI di Taman Mini, Bagaimana Melawannya?

Panggung ustaz-ustaz radikal jelas beragam, tetapi konten dakwahnya sama: radikalisasi. Dalam keadaan genting seperti sekarang, semua ceramah tentang COVID-19 menarik sekali didengar. Apalagi jika dibumbui kutipan ayat Al-Qur’an, atau nubuat dalam hadis-hadis Nabi Muhammad. Sulit untuk tak percaya dakwah ustaz radikal ini. Apalagi bagi jemaah yang baru mengenal Islam.

Menganggap COVID-19 tidak sebagai musibah an sich dari Allah, dan melangkah lebih jauh menganggapnya sebagai azab, rekayasa orang kafir yang disebarkan oleh setan, dan setanlah yang bertugas menyebarkan virus itu, justru akan mengundang musibah baru, yaitu krisis kemanusiaan baru. Krisis ini belum pernah terjadi sebelumnya.

COVID-19 dan Krisis Kemanusiaan Baru

Jenazah Arsidin, pegawai Dinas PU, warga BTN Pao-pao, Kabupaten Gowa, seperti dilansir dari Kompas, ditolak warga ketika hendak dimakamkan di Baki Nipanipa, Kecamatan Manggala, Makassar. Pasien dalam pengawasan (PDP) yang meninggal di ruang isolasi RSUP Wahidin Sudirohusodo, Makassar, Minggu (29/3) lalu itu ternyata negatif COVID-19.

Peristiwa yang mengiris hati juga terjadi di sejumlah desa dan kelurahan di wilayah lereng Gunung Slamet. Ada yang memblokade jalan, memarkir truk di tengah jalan, demi menghalau ambulans yang membawa jenazah COVID-19. Beruntungnya, angin sejuk datang. Warga Desa Banjaranyar, Kecamatan Sokaraja, mengunggah video bahwa mereka siap menerima jenazah COVID-19.

Yang kita saksikan dari beberapa penolakan jenazah COVID-19 jelas bukan tragedi biasa. Itu menunjukkan bahwa hari ini tengah terjadi krisis kemanusiaan baru. Di tengah musibah wabah, tersimpan musibh lain, yaitu punahnya solidaritas. Ada stigma yang dilekatkan terhadap COVID-19 yang mengubah perilaku hidup masyarakat.

Bahwa yang berbaya, yang ditakuti dari COVID-19 adalah bukan sekadar virus itu sendiri, melainkan stigma atau citra buruk yang dihasilkannya. Wabah ini tak dianggap musibah yang membuat para warga harusnya saling tolong-menolong, melainkan dianggap seburuk-buruknya keadaan. Mereka yang positif lantas dianggap musuh yang harus dihindari.

Siapa yang menciptakan krisis kemanusiaan ini? Maka tanpa bermaksud menuduh, kita harus refleksi diri, jangan-jangan krisis ini terjadi lantaran ceramah-ceramah radikal tentang COVID-19 itu. Artinya, karena virus tersebut, kata ustaz-ustaz, adalah kemurkaan Allah, maka siapa yang mau melayani mayat korban kemurkaan tersebut?

Tidak ada yang mengetahui pasti. Yang jelas, andaikata masyarakat kita sains-oriented, menganggap COVID-19 murni adalah musibah virus, tanpa ada campur tangan siksa, setan, atau doktrin teologis lainnya, krisis ini tidak akan terjadi. Di sini sama sekali tak hendak dikatakan, bahwa ustaz radikallah yang bertanggung jawab atas krisis kemanusiaan ini.

Mungkin ada alasan lain. Tetapi kenapa di Barat krisis seperti ini tak terjadi? Jawabannya: karena di Barat, ustaz-ustaz radikal tidak dipercaya. Di sana, mereka tidak memiliki panggung.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…
Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru