33 C
Jakarta

Bentangan Masjid dan Toleransi Beragama

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanBentangan Masjid dan Toleransi Beragama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Zaman digital berhasil menyulap dunia serba digital, mulai dari cara komunikasi hingga cara bertransaksi. Dunia digital dirasa memberikan kemudahan dan kecepatan bagi siapapun untuk menggapai apa yang mereka inginkan. Makan, kirim surat, naik motor, dan seterusnya cukup bermodalkan genggaman handphone. Semua serba praktis dan cepat. Siapapun yang gaptek akan ketinggalan zaman. Menurut Quraish Shihab, tipikal orang gaptek dan tertutup dengan perkembangan termasuk orang yang terlambat lahir.

Kedahsyatan digital nyatanya belum mampu mengubah cara berpikir (mindset) masyarakat internet (netizen) hijrah dari cara berpikir klasik menuju cara berpikir digitalis. Mirisnya, netizen seringkali membawa isu agama, politik, dan segala macam ke ranah media sosial, sehingga fitrah media sosial seiring waktu terkikis dengan ulah tangan mereka sendiri. Salah satu isu agama yang bertebaran di media sosial adalah terorisme.

Terorisme. Satu kata yang tak asing lagi di telinga masyarakat. Terorisme sudah mendapat stigma negatif tanpa terkecuali. Tak ada pesan agama yang disampaikan, sekalipun terorisme seringkali mengatasnamakan agama. Tak ada pesan jihad yang ditegakkan, sekalipun keyakinannya jihad fi sabilillah. Sebab, agama tidak menghendaki teror, namun menghendaki perdamaian dan toleransi. Selain itu, jihad sebagai ajaran agama tidak benar disandingkan dengan teror dan tindakan kekerasan yang lain. Jihad dan terorisme adalah dua sisi yang berlawanan.

Melihat isu terorisme yang tak kunjung pudar, saya ingin melihat toleransi yang terbentang pada bangunan masjid yang berdiri tegak di belahan dunia, baik di Indonesia sendiri maupun di negara lain. Masjid dibangun dengan beberapa bagian yang memiliki pesan tersirat dalam mengajarkan siapapun, termasuk pemeluk agama Islam sendiri, yakni pesan menegakkan toleransi antar umat beragama. Salah satu bagian masjid yang dimaksud adalah menara dan kubah.

Menara secara literal diambil dari bahasa Arab, manarah yang berarti “tempat api”. Ada apa dengan tempat api ini? Tempat api atau yang disebut dengan “menara” pada mulanya dijadikan tempat sesembahan kaum Majusi. Namun, pada kepemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan dibangun sebuah menara di Kota Bashrah supaya dapat menyaingi menara-menara lonceng di gereja.

Di samping itu, kubah masjid pada mulanya dibangun oleh peradaban Misopotamia. Perkembangannya kemudian terlihat pada periode awal masa Kristen. Bentangan kubah pada waktu itu tidak terlalu besar seperti kubah bangunan Santa Costanza di Roma. Bahkan, di Moskow Rusia berdiri bangun katedral dengan kubah di bagian atasnya yang mana saat dilihat sekilas bangunan ini menyerupai masjid.

Oleh sebab itu, menara dan kubah yang seringkali terlihat pada hampir semua bangunan masjid merupakan bangunan tempat ibadah non-muslim. Penyerupaan masjid dengan tempat ibadah non-muslim bukan karena para ulama atau para pendahulu tidak kreatif merancang pembangunan masjid berbeda dengan tempat ibadah agama lain, namun untuk menyampaikan pesan toleransi antar umat beragama.

BACA JUGA  Berpuasalah, Agar Kamu Selamat dari Kejahatan Radikalisme

Islam terbuka dengan budaya agama lain selagi tidak mengganggu keyakinan. Dimasukkannya menara dan kubah yang jelas budaya agama non-Islam pada kenyataannya tidak mengusik keyakinan orang Islam, bahkan membantu pemeluk agama Islam dalam beribadah. Sebelum teknologi masuk, pengeras suara belum ada, menara menjadi media mengumandangkan azan sebagai penanda masuk waktu shalat. Ketinggian menara ini membantu suara muazin terdengar di telinga masyarakat.

Keterbukaan Islam pun tergambar pada cara Khalifah Umar bin Khattab memberikan jaminan keamanan jiwa, harta, dan rumah ibadah bagi pemeluk agama Kristen. Dengan tegas Umar menyampaikan, “Gereja-geraja mereka tidak boleh dirusak dan dinodai, begitu juga salib dan harta kekayaan mereka. Tidak boleh seorang pun dari mereka dipaksa untuk meninggalkan agama mereka dan juga tidak boleh disakiti.”

Sikap toleransi Umar tersebut diperkuat dengan bunyi surah at-Taubah ayat 6: Dan jika di antara kaum musyrikin ada yang meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah agar dia dapat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya. (Demikian) itu karena sesungguhnya mereka kaum yang tidak mengetahui. 

Ayat itu menitipkan pesan toleransi terhadap pemeluk agama lain, sehingga akan tercipta perdamaian, kesejahteraan, dan saling tolong-menolong. Perlindungan terhadap pemeluk agama lain merupakan cara menghormati sesama, karena apapun agamanya semuanya tetap manusia yang memilik hak dan kewajiban yang sama: diperlakukan secara adil dan dijaga kehormatannya.

Toleransi Islam tergambar pula pada beberapa ayat yang melarang sikap diskriminatif dalam beragama: memaksa orang lain memeluk agama tertentu. Disebutkan pada surah Yunus ayat 99: Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa menusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman? Tentu, tidak dapat dibenarkan pemaksaan dalam beragama, karena keimanan adalah pilihan masing-masing orang. Pemaksaan itu berlawanan dengan kehendak hati. Orang yang dipaksa beragama Islam, sementara hatinya belum mengakuinya, maka ia sia-sia.

Terorisme adalah aliran keras yang memaksakan agama kepada orang lain. Sikap terorisme tidak memiliki pesan toleransi. Bila demikian, terorisme bukanlah Islam yang memberikan kebebasan beragama, menegakkan keadilan, menyemai perdamaian, dan membela penindasan. Terus, apa agama terorisme? Saya menyebutkan, agama terorisme adalah terorisme sendiri. Terorisme seakan mencipta agama baru. Sederhananya, membuat agama yang berlawanan dengan agama yang moderat, seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan beberapa agama moderat yang lain.

Sebagai penutup, ada pesan buat terorisme, “Renungkan kembali bangunan masjid yang sering dihancurkan, karena pada bangunan masjid itu ada pesan yang amat kuat: pesan toleransi antar umat beragama.”[] Shallallah ala Muhammad!

[zombify_post]

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru