32.1 C
Jakarta

Bebalnya Otak Para Aktivis Khilafah

Artikel Trending

Milenial IslamBebalnya Otak Para Aktivis Khilafah
image_pdfDownload PDF

Heran. Sangat heran. Sebenarnya apa yang diinginkan? Rasanya seperti bebal sekali. Penjelasan tentang khilafah itu tidak sedikit. Banyak para tokoh telah mengulasnya. Banyak literatur sudah dihasilkan. Pergulatan intelektual tentang sistem pemerintahan bukan sesuatu yang berusia dini. Kenapa pendukungnya bebal sekali?

Jalaluddin as-Suyuthi (w. 1505), cendekiawan Muslim dari Kairo, Mesir, menulis buku ensiklopedik yang bagus sekali. Judulnya Tarikh al-Khulafa’, Sejarah Para Penguasa. Ia mengulas sangat lengkap dan transparan. Mulai dari kepemimpinan keempat khalifah (khulafa’ ar-rasyidin) hingga imperium Abbasiyah di Mesir. Akhir periode Turki Utsmani jelas tidak, karena as-Suyuthi wafat di awal abad ke 16. Sedangkan Turki Utsmani runtuh pada abad ke-20.

Kalau mau jujur, transparansi as-Suyuthi dalam karyanya tersebut, bagaimana ia menelanjangi fakta sejarah, tidak akan disukai oleh para aktivis khilafah. Demikian karena akan meruntuhkan dalil penegakan khilafah itu sendiri. As-Suyuthi, misalnya, mengutip riwayat:

Dari Hudzaifah, ia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak menentukan pemimpin untuk kami?” Rasululullah bersabda: “Sesungguhnya jika aku melakukan suksesi kepada kalian, lalu kalian tidak patuh dengan ketentuanku, maka kalian akan diazab.” [hlm. 21]

Bukankah artinya, suksesi kepemimpinan secara turun-temurun, atau ditentukan oleh pemimpin sebelumnya, tidak diajarkan oleh Rasulullah? Lalu as-Suyuthi mengutip riwayat lain:

Imam Ahmad berkata dari Safinah: Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Khilafah hanya berlangsung tiga puluh tahun. Setelah itu kerajaan (bukan khilafah lagi, pen.),” dan riwayat lain, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya awal (masa) agamamu dimulai dengan kenabian penuh rahmat, lalu khilafah penuh rahmat, lalu kerajaan monarki.” [hlm. 24]

Dan masih banyak riwayat lainnya. Bukankah semua riwayat Nabi Saw. mengisyaratkan bahwa beliau tidak pernah mewariskan sistem kepemerintahan, melainkan hanya ciri-ciri kepemimpinan ideal, seperti yang dicontohkan dalam kepemimpinan Nabi Saw. sendiri?

Lalu kenapa aktivis khilafah ngotot? Kenapa mereka bebal untuk diberitahukan tentang yang sebenarnya, bahwa perjuangan mereka palsu? Kenapa juga Mehmed Al-Fatih, penakluk Konstantinopel, dianggap figur, lalu keruntuhan Turki Utsmani dianggap awal kemunduran Islam pasca khilafah tumbang?

Ngebet Berkuasa

Jawabannya atas rentetan pertanyaan tadi satu: ngebet berkuasa. Para aktivis khilafah, jika dianggap murni memperjuangkan Islam, adalah pandangan yang terlalu lugu, dan terkesan dibodohi. Yang mereka inginkan adalah kekuasaan, dan Islam sekadar tameng belaka. Nafsu kukuasaan ini yang kemudian diperjuangkan pengikutnya, orang-orang yang berhasil dibodohi bandar politik khilafah.

Kalau mau diusut, pangkal masalahnya adalah miskonsepsi mereka tentang khilafah itu sendiri. Bahasa Arab kh-l-f itu derivatif, dan maknanya juga demikian. Ia bisa berarti ‘di belakang/sesudah’, seperti dalam QS al-Baqarah [2]: 66, al-A’raf [7]: 17, Yunus [10]: 92. Atau berarti ‘ingkar’ seperti dalam QS al-Baqarah [2]: 80, Ali’Imran [3]: 194, Ibrahim [14] : 47. Juga bisa bermakna ‘kepemimpinan’, seperti dalam QS al-A’raf [7]: 69; 129, az-Zukhruf [43]: 60.

Karya as-Suyuthi di atas juga kalau ditermah menjadi ‘Sejarah Para Penguasa/Pemimpin’, bukan ‘Sejarah Para Khilafah’. Khalifah artinya pemimpin, yakni personal, sedangkan khilafah adalah kepemimpinan, yakni konsensus kolektif. Ia bukanlah sistem spesifik, melainkan jenis konsensus yang dipakai.

BACA JUGA  Strategi Baru “Perjuangan Islam” JI, Potensi Masih Berbahaya?

Ketika para aktivis berseru, “kita harus menegakkan khilafah ‘ala manhaj an-nubuwwah”, sejatinya mereka sedang mengatakan, khilafah bukanlah identitas kepemiminan tunggal. Ia adalah kepemimpinan itu sendiri, tidak spesifik, terserah mau pakai apa pun metode/manhaj-nya. Mau kepemimpinan metode/manhaj Nabi, manhaj sahabat, manhaj para raja Umayyah hingga Turki Utsmani, bahkan manhaj modern yaitu demokrasi.

Kalau manhaj Nabi, jelas, Nabi memakai sistem pemerintahan teokratis, menyatukan otoritas legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ini mustahil diterapkan hari ini. Kalau pakai manhaj sahabat, maka kita harus sadar, khulafa’ ar-rasyidin tidak pernah menunjuk pengganti dari anaknya sendiri, atau menunjuk satu orang. Suksesi Umar kepada Utsman bahkan mirip konsep demokrasi modern.

Kalau mau pakai manhaj para raja, Umayyah hingga Turki Utsmani, maka sistemnya adalah monarki absolut: mereka menunjuk putra mahkota, lalu dinobatkan sebagai raja pengganti. Suksesi kepemimpinan demikiankah yang diperjuangkan para aktivis khilafah? Jika iya, jangan mengatakannya sebagai khilafah ‘ala manhaj an-nubuwwah, melainkan ‘ala manhaj al-mulk.

Khilafah Palsu

Masih kurang jelas bahwa apa yang diperjuangkan aktivis khilafah itu palsu?

Bebalnya para aktivis khilafah, ternyata bersamaan dengan fakta pahit: banyak tokoh agama, terutama para dai, juga ikut-ikutan salah konsepsi tentangnya. Kalau saja lari kepada nubuat Nabi, bahwa di akhir zaman khilafah akan bangkit lagi, maka akan rumit ketika ditanya: atas dasar apa mengatakan hari ini adalah akhir zaman, sehingga nubuat tersebut harus dipaksategakkan?

Bukankah nubuat akan terjadi sendiri, bahkan tanpa disadari oleh umat sekalipun? Kenapa kita yakin kita harus membuat nubuat itu nyata hari ini? Kenapa kita berhasrat sekali seakan menganggap Allah lemah butuh pertolongan kita? Indoktrinasi memang kadung merasuk para korban, terutama yang dangkal pengetahuan agamanya. Kekritisan mereka sudah sirna.

Khilafah palsu yang diperjuangkan, selain tidak memiliki dasar yang kokoh, juga memalukan umat Islam sendiri. Bercita menegakkan satu komando global, satu pemimpin yang mencakup seluruh umat Islam, adalah cita-cita mustahil dari mereka yang ambisius kekuasaan. Jika sampai cita tersebut terjadi, nation state sebagai konsep pemersatu di era modern secara otomatis gugur.

Demikian karena umat Islam tersebar di seluruh negara, baik sebagai mayoritas maupun minoritas. Mendoktrin mereka mengakui dan mendukung khilafah adalah merebut mereka dari tempat ia berasal. Yang terjadi berikutnya adalah polemik, teror di mana-mana, dan perlawanan di mana-mana. Negara kesatuan menjadi kacau, nafsu khilafahlah penyebabnya.

Stigmatisasi Islam sebagai pemecah belah juga akan semakin menguat, dan dunia akan mengecamnya. Siapa yang rugi dalam hal ini? Lalu para aktivis khilafah mungkin akan merasa bertanggung jawab, dan meminta mereka bergabung ke basis di mana kekuatannya bersarang. Konkretnya, dapat kita telisik, kenapa mereka menggiring pengikutnya menuju Suriah.

Chaos pun tidak terhindarkan. Yang berandil besar adalah para aktivis itu. Dalam sangkaannya, Islam  telah berjaya. Padahal tidak. Islam akan hancur dan terpecah oleh ulah mereka. Oleh karena itu, narasi khilafah harus ditentang. Menjaga kedamaian negara-bangsa adalah keniscayaan. Biarkan mereka dalam kebebalannya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru