31.7 C
Jakarta

Air Mata Bahagia Diva (Bagian XXI)

Artikel Trending

KhazanahOpiniAir Mata Bahagia Diva (Bagian XXI)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hampir semua pengurus pesantren tahu, bahwa Diva telah membawa Pesantren Annuqayah di ranah nasional, setelah Nadia menceritakannya. Kabar mengembirakan ini akhirnya terdengar pengasuh pesantren.

Pengasuh, pengurus, hingga para santri merasakan kebahagian ini. Nama Diva yang dari kemarin tenggelam, sekarang viral.

“Setelah ini, semua santri diharap menyambut kedatangan Diva. Dia berhasil meraih juara pertama pada Sayembara Menulis se-asional di kampus ternama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.” Nyi Nuh menyampaikan langsung di corongmasjid habis shalat jamaah Zuhur.

Tak dinyana kabar ini juga sampai di telinga santri putra. Menjadi artis makin terkenal, bahkan makin menarik. Penasaran beberapa santri melihat sang juara lewat di depan mereka. Membaca namanya, Diva, terbayang orangnya cantik tak jauh beda dengan seorang tokoh bernama Diva dalam novel Supernova: Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh karya Dee Lestari.

Sesaat kabar mengembirakan itu viral di pesantren putra akhirnya mendorong mereka untuk menyambut kedatang sang juara, sekalipun dia santri putri, tapi pada dasarnya kan satu pesantren. Jadi, semangatnya tetap bersatu, tanpa membedakan gender.

* * *

Mobil Toyota Alphard nongol dari pertigaan jalan Bu Jamil. Diikuti beberapa mobil dengan kaca terbuka. Shalawat “Thala’a al-badr alaina” dilantunkan begitu indah nan menggetarkan jiwa. Para santri berjajar di pinggir jalan yang membentang di depan masjid berkubah hijau. Jalan itu terbentang lurus dari arah Bu Jamil.

Betapa semaraknya suana pesantren! Diva membatin dalam mobil ditemani Abah dan Ummi yang menunggunya dari stasiun Pasar Turi Surabaya. Sungguh di luar dugaan, santri berjajar penuh antusias. Diva tetap terdiam dalam mobil, tak terucap sepatah kata pun. Benar pesan Abah dulu pas ngisi pengajian di pesantrennya sendiri, bahwa Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu. (QS. al-Mujadilah [58]: 11).

Mobil makin menyusuri jalan dan mendekati halaman masjid pesantren. Mobil memecah kerumunan santri bak lautan. Pintu mobil dibuka lalu Diva dibuat kaget saat pintu mobil itu ditutup. Tampak aura wajah sang Kyai yang berdiri menatap Diva dari kejauhan. Tidak lama Diva bergegas mendekati sang Kyai dan menarik tangannya lalu menciumnya tanpa ingin melepasnya. Air mata terharu dan bahagia bercucuran tak terbendung.

Sang Kyai mengelus-elus ubun-ubunnya. Abah dan Ummi menarik tangan sang Kyai pula, merasa tidak kuasa melihat perhatian beliau sampai menyambut seantusias mungkin. Sang Kyai mengucapkan selamat atas prestasi yang diraihnya.

Tidak banyak sang Kyai menyampaikan sesuatu. Setelah itu sang Kyai kembali ke dalem atau rumahnya. Saat sang Kyai menghilang di belokan samping masjid, Diva ditemani Abah dan Ummi memasuki lingkungan pesantren putri. Tak kalah samarak, santri putri juga menyambut dengan lantunan shalawat dan antusias kerumunan santri bak seporter sepak bola.

BACA JUGA  Isra Mi’raj: Antara Etika dan Spiritualitas

Nyi Nuh berdiri menunggu kedatangan Diva pula. Baru saja air mati ini kering, ketika mendekat memeluk Nyi Nuh dan menyalami beliau, air mata penuh haru tumpah kembali. Tidak ada kata yang terucap selain ucapan terimakasih yang tak bertepi, karena berkat didikan dan doa beliau Diva merasakan keberhasilan ini.

Nadia berdiri melihat Diva dan sosok guru yang karismatik. Nyi Nuh mengucapkan selamat pula atas prestasi yang diraihnya. Prestasi ini membanggakan pesantren. “Lihat lautan santri ini, Ananda Diva,” ucap Nyi Nuh, “Ini adalah bukti ikhtiar Diva selama berhari-hari.”

Pesan Nyi Nuh menggetarkan jiwa sehingga terus terpatri dalam sanubari. Nyi Nuh menyampaikan pesan dengan suara terbatuk-batuk, “Buat para santri yang lain, uhuk-uhuk, kesempatan masih terbentang luas di jagat raya. Zaman terus berkembang. Jangan puas dengan apa yang telah para santri dapatkan. Teruslah belajar hingga akhir hayat!”

Para santri tersentuh dengan kata-kata indah Nyi Nuh. Semangat belajar semakin berapi-api. Ingin menjadi Diva yang kedua.

* * *

“Abah-Ummi, ini Kak Nadia.” Diva memperkenalkan kepada orangtuanya saat duduk bersama di beranda bilik.

Nadia menyalami ummi Diva, diikuti Adel dan Hanum. Adel dan Hanum memang sudah kenal dekat dari awal Diva dijenguk di pesantren. Karena mereka sering menemui orangtua Diva saat berkunjung. Nadia orangnya mudah sungkan, apalagi sama orangtua Diva yang nyatanya juga sebagai sosok pengasuh salah satu pesantren di Madura.

Diva banyak bercerita, bahwa guru pertama yang mengajari menulis adalah Nadia. Masih ingat pesan Nadia saat pertama kali menghirup angin di bukit Lancaran, kalau ingin jadi penulis, cukup membaca dan menulis.

Nadia senyum-senyum mendengar kepolosan Diva di depan Abah dan Ummi. Diva memang cerewet dan suka mendongeng. Abah dan Ummi menghormati Nadia tak ubahnya menghormati seorang guru, karena guru anaknya sendiri secara tidak langsung guru mereka pula. Sebelum pulang, Abah dan Ummi menyedorkan lipatan uang seraya berucap terima kasih. Nadia tidak mengharapkan apa pun. Melihat anak didiknya berhasil adalah hadiah yang tak ada duanya, permata berharga.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru