25.9 C
Jakarta

Penceramah Radikal di Mata Jokowi

Artikel Trending

EditorialPenceramah Radikal di Mata Jokowi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Setelah Presiden Joko Widodo mengarahkan TNI dan Polri untuk mengoordinasi keamanan nasional dalam berbagai aspek, pada Rapat Pimpinan TNI-Polri kemarin, topik ‘penceramah radikal’ trending di media sosial. Apalagi setelah KSAD Dudung Abdurachman menginstruksikan anak buahnya untuk tidak mengundang penceramah radikal, topik tersebut bergulir semakin jauh. Banyak yang salah paham, hingga pro-kontra pun tak terhindarkan.

Pertanyaan yang banyak beredar ialah, seperti, siapa yang dimaksud penceramah radikal, apa tolok ukur radikal, dan mengapa Presiden sampai turun tangan mengingatkan TNI-Polri bahwa mereka jangan sampai mengundang penceramah radikal untuk mengisi pengajian. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menyebar bak bola api, dan tak juga ada yang memecahkan. Bahkan, ada yang beranggapan bahwa frasa ‘penceramah radikal’ berpotensi memecah belah.

Untuk itu, Editorial Harakatuna kali ini akan mengangkat tajuk “Penceramah Radikal di Mata Jokowi”, untuk menengahi polemik dan mencegahnya jadi bola liar yang memantik pelintiran kebencian. Fokus pertama ialah mengenai konteks pembicaraan. Presiden Jokowi berpidato di hadapan pimpinan TNI-Polri, dan secara spesifik pendisiplinan yang ia arahkan adalah untuk internal keluarga prajurit, para istri TNI-Polri. Jokowi tegas bahwa mereka harus loyal. Tidak bisa ditawar.

Lalu apa yang dimaksud radikal oleh Jokowi?

Radikalisme adalah gagasan dan tindakan yang bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan politik yang sudah mapan dengan sistem yang baru (Afkar, 2019: 2). Pelakunya disebut radikalis, sementara perilakunya disebut radikal. Adapun radikalisasi, itu adalah usaha si radikalis untuk meradikalkan orang lain. Pada titik ini menjadi jelas, radikal merupakan spirit ideologis yang kompleks di satu sisi, dan di sisi lainnya juga jelas bahwa ia sangat berbahaya.

Term radikal kemudian penting bagi Jokowi dalam konteks posisinya sebagai presiden. Kepala negara wajib memastikan semuanya dalam keadaan aman, jauh dari ancaman musuh yang punya spirit mengganti sistem negara. Para radikalis dan presiden ibarat berada di ring kompetisi, dan negara ibarat kejuaraan—yang jadi rebutan. Ideologi yang sah, yakni demokrasi, harus jadi juara tetap. Untuk itu, presiden mesti melakukan yang terbaik agar tak terkalahkan.

BACA JUGA  Fitnah Keji Aktivis Khilafah Terhadap Toleransi di Indonesia

Bagaimana tolok ukur seseorang dikatakan radikal, atau penceramah macam apa yang menurut Jokowi tidak boleh diundang?

Dalam konteks Indonesia, tolok ukur radikal ialah sejauh apa ia mengancam kedaulatan. Bangsa ini memiliki empat pilar yang menopang keberlangsungannya: Pancasila sebagai ideologi dan falsafah, Bhinneka Tunggal Ika sebagai motto atau semboyan bangsa, NKRI sebagai bentuk negara, dan UUD 1945 sebagai konstitusi. NKRI sebagai bentuk negara menganut demokrasi sebagai sistem pemerintahan. Dan konfrontasi atas semua itulah yang disebut radikal. Tolok ukurnya, dengan demikian, jelas.

Kemudian yang terakhir, mengapa Presiden sampai turun tangan atas masalah penceramah radikal?

Presiden menyinyalir adanya ketidaksepakatan internal yang ia anggap terpengaruhi faktor eksternal. Itulah sebabnya Jokowi meminta TNI-Polri mendisiplinkan keluarganya, terutama istri mereka. Jokowi tidak melarang masyarakat silang pendapat, sebagai bukti kehidupan yang demokratis, namun ia melarang TNI-Polri berbeda haluan. Maka ia pun merasa perlu menginisiasi pengarahan.

Frasa ‘penceramah radikal’ bisa jadi masih terlalu gamblang untuk diucapkan ke khalayak, sebagaimana istilah ‘manipulator agama’ yang juga pernah Jokowi ucapkan beberapa tahun lalu. Namun, masyarakat tidak perlu khawatir bahwa Presiden berpotensi memecah-belah umat Islam. Justru sebaliknya, umat Islam harus sadar bahwa di antara mereka ada yang benci bangsa ini dan ingin merusaknya. Merekalah manusia radikal yang mesti dimusuhi bersama.

Singkatnya, siapa penceramah radikal di mata Jokowi? Mereka adalah tokoh masyarakat, dan termasuk juga influencer, yang memiliki profesi sebagai dai, namun seluruh ceramahnya bertujuan memprovokasi umat Islam dengan negara. Sehingga isi ceramahnya tidak mendamaikan antarsesama warganegara, melainkan memunculkan banyak kekerasan yang diatasnamakan Islam. Islam pun rusak di tangan penceramah radikal. []

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru