29.9 C
Jakarta

Optimalisasi Ramadan untuk Menangkal Ekstremisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifOptimalisasi Ramadan untuk Menangkal Ekstremisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tinggal menghitung jari untuk sampai di bulan suci. Bulan di mana aktivitas ibadah menjadi lebih ekspresif dari biasanya. Hanya pada bulan tersebut, nyaris selama sehari semalam umat Islam lekat dengan ibadah. Siang hari lapar dan haus, malam hari tadarus, istirahat sebentar lanjut sahur. Demikian siklus yang terus berjalan selama satu bulan penuh tanpa henti hingga dipungkasi hari raya.

Di literatur-literatur klasik telah banyak dideskripsikan perihal keagungan Ramadan. Ulama-ulama terdahulu juga menyebut dengan gamblang salah satu faidah dari puasa. Antara lain untuk menurunkan tensi syahwat dan nafsu. Bahkan, beberapa orang melakukan pendekatan medis untuk menilai puasa itu. Kendati tidak makan dan minum selama sehari suntuk, nyatanya puasa diklaim dapat menyehatkan. Saya tidak akan menjelaskan panjang lebar terkait temuan tersebut.

Yang hendak dikemukakan di sini bahwa bulan puasa membawa banyak sekali macam keutamaan. Berdasarkan itu, penting dibaca kembali beberapa keutaman tersebut. Apa kita telah benar-benar memahami bulan tersebut secara esensial. Juga apa benar ritual puasa mampu menekan syahwat dan nafsu umat Islam. Posisi saya berada di barisan skeptis untuk mengatakan bahwa bulan siam telah dimaknai sedemikian dalam.

Kita lihat secara realistis belaka, bagaimana bulan yang diklaim agung tersebut ternyata terkotori hasrat manusia. Di bulan-bulan lain, ketika kita melihat orang yang tidak mematuhi perintah Tuhan mungkin biasa saja. Hal ini kemudian berbeda secara psikologis ketika di bulan Ramadan. Tak ayal ketika seseorang menemukan orang yang tidak berpuasa akan merasa risih. Bahkan, tidak jarang yang menghakimi.

Pada taraf yang paling ekstrem, hal itu dapat kita temukan pada aktivitas penggerebekan rumah makan di siang hari. Fenomena tersebut tidak bisa dilihat secara kasat mata sebagai ajang untuk menghargai orang yang berpuasa. Tidak sesederhana saling menghargai atau tidak. Fenomena yang marak ditemukan saat Ramadan tersebut dapat dimaknai lebih jauh sebagai pemaksaan untuk menjalankan syariat Tuhan.

Ketika sampai pada ranah penertiban agar melaksanakan perintah Tuhan itu berbahaya. Seminim-minimnya akan menjadikan beberapa orang justru munafik cum hipokrit. Melaksanakan puasa bukan karena dorongan dalam dirinya, melainkan karena paksaan. Bahkan karena tidak menemukan tempat makan yang buka di siang hari. Artinya, mereka melaksanakan kewajiban bukan karena ketakutan terhadap Tuhan. Melainkan lebih disebabkan adanya penertiban oleh beberapa pihak dengan tangan besinya.

BACA JUGA  Menjadikan Ruang Maya sebagai Ajang Politik Damai

Pemaksaan seperti itu mempunyai efek domino terhadap keberagaman. Kita harus ingat bahwa Indonesia terdiri dari banyak agama selain Islam itu sendiri. Artinya, penertiban dan pemaksaan semacam itu kerap melupakan objek yang menjadi sasaran. Tidak sedikit mungkin orang non-Islam yang merasa kesulitan mencari makan karena penutupan rumah makan secara paksa. Belum lagi tidak ada kepastian bahwa pemiliknya sendiri merupakan orang Islam.

Pemaksaan semacam itu dan yang setali tiga uang dengannya, menjadi bibit dari ekstremisme. Setiap ekstremisme senantiasa lahir dari pemaksaan-pemaksaan kecil dan kadang dinormalisasi. Semestinya, pada bulan yang agung tersebut tidak perlu adanya pemaksaan. Semua dibiarkan bebas saja, anggap saja sebagai ujian bagi yang menjalankan puasa. Sebab pada dasarnya hal tersebut sebagai pilihan personal dan tidak sepatutnya dicampurtangani.

Tidak masalah kalau ternyata hanya sampai pada taraf minimum dalam bentuk menasehati. Persoalannya adalah ketika sampai taraf pemaksaan dan pengharusan menutup rumah makan. Untuk itu perlu kiranya agar dipahami kembali spirit Ramadan ini. Ia sebagai bulan yang diklaim agung dan ritual puasa sebagai ajang untuk menahan nafsu. Pemaknaan nafsu tidak hanya sebatas hasrat makan, minum, hingga berhubungan badan. Ia melampaui itu semua.

Ramadan yang ideal mestinya meredam hasrat untuk memaksa orang lain melaksanakan kewajiban. Lagi pula, mereka yang tidak patuh sejatinya sudah tahu. Daripada memaksa dan berujung terhadap ekstremisme, mengapa tidak sebaiknya dibiarkan. Kekeliruan orang lain beserta dosanya tidak akan ditimpakan terhadap kita. Malahan hal tersebut menjadi bumerang terhadap diri sendiri, yaitu ketika kita merasa lebih baik dari mereka. Bukankah hal semacam itu termasuk nafsu yang perlu diredam?

Sebagai upaya untuk menyambut Ramadan dengan gembira, kiranya hal yang pertama yang harus dilakukan adalah dengan melakukan pembacaan ulang. Benarkah selama ini kita telah memaknai spirit Ramadan itu? Jangan-jangan kita malah terseret nafsu untuk memaksa orang lain melakukan puasa. Tidak cukup hanya memaksa, melainkan juga melakukan intimidasi-intimidasi yang tidak sepatutnya.

Moh Rofqil Bazikh
Moh Rofqil Bazikh
Mahasiswa Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga. Mukim di Garawiksa Institute Yogyakarta. Menulis puisi di pelbagai media cetak dan online antara lain; Tempo, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Tribun Jateng, Minggu Pagi, Merapi, Rakyat Sultra, Bali Pos, Harian Bhirawa, Lampung News, Analisa, Pos Bali, Banjarmasin Post, Malang Post, Radar Malang, Radar Banyuwangi, Radar Cirebon, Radar Madura, Cakra Bangsa, BMR Fox, Radar Jombang, Rakyat Sumbar, Radar Pagi, Kabar Madura, Takanta.id, Riau Pos, NusantaraNews, Mbludus.com, Galeri Buku Jakarta, Litera.co, KabarPesisir, Ideide.id, Asyikasyik.com, dll.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru