25.7 C
Jakarta

Milenial Radikalis dan Brand Moderasi Beragama yang Elitis

Artikel Trending

Milenial IslamMilenial Radikalis dan Brand Moderasi Beragama yang Elitis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Prodak “moderasi beragama” bagi sebagian milenial teranggap proyek brand yang elitis. Karena, ia lahir dari kaum elite keagamaan dan bahkan pertama kalinya diproduksi oleh bangsawan kenegaraan. Bukan lahir dari wilayah dan dari kesadaran akar rumput masyarakat.

Sampai saat ini, jika milenial ditanya apa itu “moderasi beragama”, maka ia akan memberikan penjelasan, “oh itu Kementerian Agama”. Milenial tidak memberikan penjelasan yang lebih dan detail. Karena, selain mereka tidak tertarik terhadap brand “moderasi”, milenal sampai saat ini tidak diberikan penjelasan penuh apa itu sesungguhnya “moderasi beragama”.

Moderasi Beragama Elitis

Sejak brand “moderasi beragama” dimunculkan, diskusi moderasi beragama sampai saat ini, masih berada di lingkaran para elite. Meski bahasa “milenial dan masyarakat” dicatut dalam beberapa tema dan judul diskusinya, tetapi diskusi tersebut hanya memutar di antara para elite keagamaan dan para akademisi. Milenial sering hanya dijadikan sampiran dan hiasan dari segala huru-hara diskusi mengenai moderasi beragama.

Milenial tak pernah ditanya apa itu moderasi beragama, dan sesungguhnya tawaran riil dari moderasi beragama jika itu disebut sebagai ideologi? Pelemparan brand itu laku pada tataran akademisi, tapi tidak pada akar rumput. Hingga, di beberapa institusi berbondong-bondong untuk membuat lembaga atau padepikan yang menamai “moderasi beragama”.

Sampai saat ini apa tawaran moderasi beragama bagi milenial dan masyarakat luas? Brand itu mengulang brand toleransi dulu. Hanya saja, dari segi produksi berbeda. Yang pertama sangat elitis, sedang yang kedua separoh elite.

Keakuratan Brand Moderasi

Keakuratan brand-brand keagamaan di masyarakat biasanya dibuktikan bilamana di masyarakat timbul permasalahan dan kekacauan berbasis agama. Misalnya, pada 2020, di Solo terjadi aksi-aksi kekerasan atau penyerangan terhadap salah satu rumah warga di Solo, yang sedang menyelenggarakan acara midodareni, atau acara doa sebelum pernikahan.

Laskar yang datang pada waktu itu menuduh bahwa keluarga itu adalah pemeluk Syiah dan karena itu layak dibunuh karena dianggap darahnya halal. Laskar menganggap bahwa Syiah adalah kafir, dan kafir wajib dimusnahkan.

Saat itu, keluarga tersebut dikroyok dan dipukuli. Dan acara pada keluarga tersebut dipaksa untuk dibubarkan. Ada beberapa kepala korban dipukul dengan batu dan perut mereka diinjak-injak. Kabarnya pihak berwajib yang melerai juga ikut kena pukul dari laskar tersebut.

BACA JUGA  War Takjil: Potret Kerukunan Antarumat yang Harus Dilestarikan

Dari kejadian ini masyarakat menganggap bahwa para laskar yang memandang bahwa acara midodareni ini tidak sesuai dengan syariat Islam, itu adalah tindakan intoleransi. Yang muncul di masyarakat adalah Bahasa intoleran di mana kebalikan dari toleransi. Bahasa toleran dan intoleran lebih diterima di wilayah masyarakat. Bahasa toleransi tidak asing dari kehidupan masyarakat.

Jadi, keakuratan brand toleransi lebih dikenal oleh masyarakat. Karena apa? Karena toleransi bukan sekadar brand dan Bahasa. Tetapi, itu ada Bahasa lelaku dan praktik di wilayah riil kehidupan umat manusia, khususnya muslim.

Menimbang Brand Moderasi

Milenial radikalis pun memahami bahwa toleransi adalah sikap saling mengasihi. Sedang Bahasa moderasi mereka tidak memahami karena tidak pernah mendengar apa arti, maksud, tujuan dan harapan yang hendak dicapai daripada brand moderasi.

Tapi demikian, intoleransi akan terus berkibar jika sudah ada teriakan takbir yang menggema. Takbir menjadi pambakar semangat dari umat muslim yang radikal. Takbir seringkali dijadikan sebagai jurus pamungkas untuk menghajar dan membenci orang yang dinilai salah orang mereka. Takbir mereka pekikkan untuk melegitimasi aksi-aksi biadab.

Maka itu, tawaran brand moderasi beragama seharusnya bisa menjawab aksi-aksi nyata di lapangan dengan segala program dan hasil diskusinya. Karena, dalam konteks masalah di akar bawah, mereka adalah gerakan terorganisir baik dari paham, bacaan, ideologi, dan gerakan. Gerakan yang ada di Solo adalah contoh nyata bagaimana aksi-aksi buas yang tidak bisa dikendalikan orang ragam kontra narasi keagamaan, apalagi sekadar diskusi dan jargon.

Sebagai warga awam kita harus bagaimana melihat agamawan yang membranding brand moderasi beragama tetapi bersifat elitisme, sedang masalah di bawah makin menjadi-jadi bahkan sudah menghampiri rumah kita? Kita tidak bisa meminta brand elite dan lokal yang harus menjawab dan memberikan solusi untuk masalah di masyarakat kita semua. Melainkan kita sendiri yang membuka mata dan melebarkan domain sosial agar mampu menilai, menyelidiki, menjawab, dan membantu sesama, dalam takaran tertentu. Yang pasti radikalisme wajib terkikis dari depan muka kita. Wallahu a’lam bisshawab..

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru