31.8 C
Jakarta

Merajut Harmoni Kebangsaan

Artikel Trending

Milenial IslamMerajut Harmoni Kebangsaan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Meminjam pendapat Eko Sumadi (2016), “wawasan keislaman tanpa disertai dengan wawasan kebangsaan dapat berdampak pada melemahnya sikap nasionalisme. Tanpa wawasan kebangsaan yang kokoh, organisasi dapat terjebak pada sikap fanatik berlebihan, sehingga bersikap intoleran, dan bahkan keyakinan lain yang tidak sama”.

Wawasan keislaman (agama) dan kebangsaan (nasionalisme) bagaikan bulan dan bintang yang menyinari kegelapan malam. Semangat kekitaan memerlukan keindahan untuk kehidupan semesta ini guna mewujudkan pertemuan agama dan nasionalisme sebagai fondasi bangunan harmoni kebangsaan.

Perubahan sosial yang semakin cepat melaju tinggi karena dampak pengamalan etika sosial yang terjadi begitu masif di kalangan umat beragama apapun di Indonesia ini. Di samping itu, kultur masyarakat dalam menghormati sesama umat manusia memerlukan sikap yang responsif dan toleran terhadap perbedaan.

Islam sendiri yang memiliki kuasa menjemput harmoni sosial perlu kita sandarkan kepada pilar-pilar kebangsaan, dan keindonesiaan. Oleh karena itu, penguatan persatuan dan pluralitas agama merupakan tantangan bagi kita dalam merawat kemajemukan suatu bangsa agar mampu terhindar dari kekerasan dan perpecahan.

Dalam praktik ini, negara Pancasila hampir terus-menerus dirundung ujaran kebencian (hate speech), produksi hoaks, dan situs-situs keislaman ekstrem yang sebenarnya mudah memicu konflik sosial maupun agama. Api-api perpecahan tersebut potensial merusak hubungan negara dan agama menjadi saling memberontak.

Pada kenyataannya, media sosial dijadikan sarana untuk mengedarkan isu-isu identitas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Padahal, isu demikian tampak menunjukkan krisis perdamaian di Indonesia. Sehingga, mudah merusak kebhinekaan kita karena faktor sosiologis yang kian saling membangun sentimen-sentimen negatif publik.

Distorsi Harmoni Kebangsaan

Pertumbuhan intoleransi di negeri memang masih sangat tinggi. Begitu pun, radikalisme alias penyebaran paham radikal telah menyasar melalui ruang-ruang dan dialog-dialog keagamaan, perekonomian, dan bahkan lewat gerakan politik yang bersentuhan atau berafiliasi dengan agama tertentu seperti, Ikhwanul Muslimin, HTI, dan organ lainnya.

Salah satunya adalah Hizbut Tahrir di Indonesia membuktikan gagasan atau ide khilafah Islamiyah dikobarkan karena menginginkan bergantinya ideologi negara Indonesia, yaitu Pancasila. Aspirasi ini tentu tidak secara langsung memproduksi konflik baru yang bisa saja menghancurkan sistem ketatanegaraan yang berdasarkan Pancasila.

BACA JUGA  Menakar Jebakan Isu Pemilu Curang dari Kelompok Ekstrem-Radikal

Kesepakatan kita semua atas negara Pancasila yang final ini semata-mata ada pemberontakan terhadap negara dengan menggunakan simbol agama. Pun HTI yang diam-diam menggunakan silent politik. Ormas Islam ini menginginkan praktik keislaman dalam suatu tatanan negara (sosial, politik, hukum, ekonomi).

Ormas Islam seperti HTI memang menampilkan gerakan politik Islam ekstrem. Langkah ekstremitas kelompok tersebut identik dengan radikalisme agama dan politik yang makna sederhananya menyukai kekerasan sebagai satu jalan untuk menyelesaikan persoalan apapun, terutama dalam meunifikasi sistem Islam dan negara.

Khilafah Islamiyah tidak mungkin dipraktikkan dalam negara demokrasi Pancasila, sebab itu merupakan faktor-faktor yang dapat mereduksi soliditas persatuan, dan toleransi agama. Khususnya dari segi hubungan sosial keagamaan kita semua.

Meskipun, intoleransi dan radikalisme menjadi virus utama negara bangsa, maka pluralitas agama harus mampu menghidupkan mesin negara demokrasi Pancasila agar bangsa dan negara kita ini tidak selalu dirundung oleh pelbagai isu negatif. Apalagi jika sampai mengancam perpecahan harmoni kebangsaan yang telah lama terajut?

Optimisme

Pun semua umat beragama harus mempunyai rasa optimisme yang tinggi dalam merawat kemajemukan bangsa Indonesia. Kemajemukan bangsa itu merupakan simbol di mana kita memiliki keharusan untuk saling belas kasih. Dan menghargai perbedaan suku, ras, agama, dan antar golongan yang didasarkan kepada perdaban perdamaian.

Karena itu, peradaban dapat dijadikan pelajaran penting bagi masyarakat untuk menjaga praktik etika sosial yang baik dan sopan santun. Sedangkan, perdamain merupakan kunci awal keberhasilan masyarakat dalam mewujudkan sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara yang penuh kerukunan dan keharmonisan.

Untuk merajut harmoni kebangsaan, tentunya semua agama diyakini membutuhkan cerminan sikap yang masyarakat berbudi luhur, toleran, responsif, dan akomodatif. Dari semua pemikiran ini setidaknya mampu memberi solusi efektifnya menjaga hubungan yang telah lama terjalin baik, sebab Islam menawarkan umatnya untuk membangun hubungan persaudaraan.

Semua hal itu tertuang dalam nasionalisme, yaitu Pancasila. Dan Pancasila tidak hanya sekedar ideologi pemersatu bangsa, agama, dan pengikat persaudaraan. Melainkan juga sebagai mesin lokomotif perubahan peradaban bangsa semakin mengalami kemajuan untuk perdamian dan persatuan negeri ini. Cara pandang demikian memperlihatkan umat yang moderat (ummatan wasathan).

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru