29.5 C
Jakarta

Menyeterilkan Sekolah dari Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMenyeterilkan Sekolah dari Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Jangan sampai sekolah malah jadi tempat untuk menyebarkan paham radikal-intoleran. Sebab ada guru yang ditangkap Densus 88 karena diduga berpaham radikal, seperti di Sumenep, Madura dan Sigi, Sulawesi Tengah. Kita harus menguatkan karakter kebinekaan di sekolah agar sekolah steril dari radikalisme.

Kalau kita lihat hasil rapor pendidikan tahun 2021, pendidikan karakter kebinekaan harus lebih dikembangkan lagi di sekolah. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah bagi sekolah, terlebih tantangannya adalah paham radikalisme mulai disusupkan pada guru-guru kita.

Rapor pendidikan itu sendiri adalah sebuah platform yang mengintegrasikan berbagai data pendidikan untuk membantu sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan. Di rapor itu memuat hasil Asesmen Nasional yang berupa tingkat kompetensi literasi, numerasi, karakter, dan lingkungan sekolah dimana proses pendidikan berlangsung. Jadi, rapor pendidikan bisa dipakai pihak sekolah untuk mengerti situasinya, kemudian melakukan refleksi sisi mana yang perlu dikembangkan, dan membuat rencana untuk memajukan diri.

Persoalan Karakter Kebinekaan

Sekarang persoalannya adalah dari rapor pendidikan tahun 2021, ditemukan bahwa sisi karakter yang masih perlu dikembangkan, yaitu nilai kebinekaan yang menyangkut inklusifitas, kebangsaan, toleransi, kesetaraan yang masih rendah. Ini karena baru 32 persen satuan pendidikan yang telah membudayakan sikap kebinekaan. Sedangkan 59 persen sekolah masih perlu menguatkan, dan 9 persennya perlu meningkatkan sikap kebinekaan.

Penemuan data tersebut kiranya menjadi pekerjaan rumah bagi sekolah. Yang jelas sekolah harus memerhatikan dan memikirkan berbagai program yang dapat membantu perkembangan nilai kebinekaan yang menjadi salah satu karakter penting bagi keutuhan Bangsa Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika.

Iklim kebinekaan di sekolah memang menjadi salah satu aspek penting untuk mendukung pendidikan berkualitas. Iklim kebinekaan menyangkut bagaimana lingkungan satuan pendidikan menyikapi keberagaman seperti perbedaan individu, identitas, maupun latar belakang sosial-budaya, seperti agama, juga mengenai komitmen kebangsaan.

Nyatanya, penghargaan guru terhadap keberagaman, juga implementasi mereka terhadap nilai-nilai keberagaman di kelas, masih lemah. Hal ini terlihat dari kemampuan guru menghadirkan pembelajaran interaktif sesuai kemampuan peserta didik, menghargai keragaman individu, dalam kategori baik hanya satu persen. Sedangkan, enam puluh tujuh persen guru tidak mampu melakukannya atau masuk dalam kategori kurang dan sisanya sedang.

Di tengah tantangan iklim kebinekaan yang belum membudaya di sekolah, kesadaran dan keberpihakan guru pada nilai-nilai keberagaman dan kebinekaan perlu dibangun. Diskriminasi terhadap siswa beragama tertentu pun masih terjadi. Seperti kasus guru yang memaksa siswa menggunakan sragam sekolah yang sesuai agama tertentu. Kemudian, pelarangan kegiatan kerohanian agama tertentu di suatu sekolah.

Belum lagi kasus soal guru yang terpapar paham radikalisme. Lalu diam-diam ia menyusupkan paham radikalisme pada muridnya di kelas. Itu semua menjadi tantangan berat dalam menumbuhkembangkan karakter kebhinekaan pada anak didik di sekolah. Bagaimana guru yang seharusnya jadi teladan dan rujukan nilai keberagaman, malah menjadi agen penyebaran paham radikal-intoleran di sekolah.

BACA JUGA  Menyikapi Radikalisme dan Narasi Keislaman yang Dipolitisasi

Upaya Lebih Masif

Maka itu, dibutuhkan upaya yang lebih masif lagi dalam menyemai karakter kebinekaan anak bangsa. Dimulai dari guru yang mesti disterilkan dari paham radikal-intoleran yang dapat mengancam proses dan pertumbuhan pola pikir siswa. Guru harus punya paham kebangsaan yang kuat, sehingga ia bisa berkontribusi sebagai penjaga kebhinekaan Indonesia.

Agar guru punya wawasan kebangsaan yang kuat, saya pikir penting diadakan diklat wawasan kebangsaan berbasis Pancasila. Tidak semua guru diwajibkan ikut diklat. Tetapi bagi mereka yang terindikasi kena pengaruh paham radikal. Ini bisa dipetakan melalui tes wawasan kebangsaaan.

Jadi, lewat tes itu akan diketahui guru yang memiliki pandangan yang bertentangan dengan nilai-nilai keberagaman. Sehingga nantinya wajib ikut diklat wawasan kebangsaan berbasis Pancasila.

Selain itu, guru harus jadi pelopor moderasi beragama. Guru dijadikan aktor lokal dan kunci di sekolah agar bisa membentengi sekolah beserta seluruh warganya dari paham radikal teroris, kekerasan, intoleransi, dan eksklusif. Sehingga bisa mengembangkan budaya inklusif di lingkungan sekolah.

Hal itu bisa dilakukan guru dengan berbagai cara untuk menyemai nilai-nilai toleransi. Misalnya, mulai dari pertemuan antarsekolah, sepekan di rumah warga (menginap di kawan yang berbeda agama), kegiatan seni tradisi untuk toleransi, kemah siswa, kolaborasi lembaga ekstrakurikuluer, bakti sosial, kunjungan ke rumah ibadah, hingga pembuatan dan penyebaran konten serta narasi moderasi beragama melalui media sosial.

Kemudian pendidikan karakter kebinekaan di sekolah sebagaimana pendapat Lickona (2012), bila ingin menjadikan generasi muda sebagai generasi yang berkarakter, maka para guru harus memasukkan pendidikan nilai. Nah, lewat Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), pendidikan nilai yang meliputi pengetahuan moral, perasaan moral dan tindakan moral diharapkan dapat tersampaikan. Tujuan utama dilaksanakan P5 ini sebenarnya untuk memberikan penguatan karakter pada pelajar agar sesuai dengan karakter Pancasila.

Rancangan pembelaran P5 tentu harus berpusat pada siswa (student centered learning). Pembelajaran yang berpusat pada siswa ya pembelajaran berdiferensiasi itu. Pembelajaran yang memberi keleluasaan pada siswa untuk meningkatkan potensi dirinya sesuai dengan kesiapan belajar, minat, dan profil belajar siswa.

Tidak hanya berfokus pada produk pembelajaran, tapi juga fokus pada proses dan konten/materi. Jadi, dengan pembelajaran berdiferensiasi itu guru lebih menghargai keberagaman siswa. Di sinilah pentingnya penanaman karakter kebhinekaan itu.

Karena pembelajaran berdeferesiansi pada dasarnya proses belajar mengajar yang menyesuaikan kemampuan dan kebutuhan masing-masing siswa. Maka, ketika tema P5 seperti bhineka tunggal ika, kearifan lokal, suara demokrasi, dan sebagainya diberikan pada siswa sesuai tahapan belajar dan kebutuhannya.

Siswa bisa benar-benar menjadi subyek pembelajaran yang dihargai, dihormati, dibebaskan, dan berkeadilan dalam mengakses pembelajaran. Sedangkan guru benar-benar sebagai fasilitator yang membimbing, menuntun (among) dan mendampingi siswa dalam mengembangkan potensi yang dimiliki. Dalam berproses tersebut diharapkan bertumbuh karakter kebinekaan yang baik dalam diri siswa sejak dini.

Kurniawan Adi Santoso, S.Pd
Kurniawan Adi Santoso, S.Pd
Guru SDN Sidorejo Kec. Krian Kab. Sidoarjo

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru