26.1 C
Jakarta

Menengahi Dua Pemikiran tentang Pesantren Salaf: Dialog Antara Khalilullah dan Ridho

Artikel Trending

KhazanahOpiniMenengahi Dua Pemikiran tentang Pesantren Salaf: Dialog Antara Khalilullah dan Ridho
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Artikel Khalilullah yang berjudul “Pesantren Salaf Tersandera Paham Radikal?” di www.www.harakatuna.com mendapat komentar yang agak pedas dari saudara Muhammad Izul Ridho. Melalui artikelnya “Kedangkalan Paham Tentang Pesantren Salaf; Tanggapan Atas Tulisan Khalilullah“, Ridho melayangkan pandangan ketidaksepakatan atas pandangan Khalil tentang pesantren salaf yang cenderung eksklusif dan tersandera radikalisme.

Akan tetapi, jika kita amati betul, tulisan Saudara Khalil hanya sebatas ajakan kepada kita agar tidak terjebak pada sebuah institusi pendidikan agama, sebut saja: pesantren salaf. Menurutnya, pesantren yang digagas oleh wali songo beberapa abad silam, tidak dapat digeneralisir semua pesantren itu baik. Oleh karenanya, ia menyarankan kita agar melihat dan mendalami dahulu, kira-kira pesantren itu di-support oleh paham radikal atau tidak.

Bagi saya, tulisan Saudara Khalil tersebut memang tidak mengandung unsur subjektivitas, melainkan ia berupaya merekonstruksi paradigma kita pada pesantren salaf.

Kendati demikian, Saudara Ridho membantah tulisan Saudara Khalil dan menyatakan, bahwa tulisannya adalah ‘ngawur’. Hal ini karena ada beberapa alasan yang melatarbelakanginya yakni, pesantren salaf mempelajari kerangka atau metode berpikir yang benar. Hal ini dapat ditelusuri melalui penerapan belajar ilmu manthiq (logika) dan ilmu ushul fikih yang sangat erat kaitannya dengan ilmu manthiq. Ini artinya, pesantren salaf tidaklah eksklusif, apalagi disamakan dengan FPI.

Selain itu, pesantren salaf banyak berafiliasi kultural dengan Nahdhatul Ulama (NU) dengan kekhasan fikih bermazhab Syafi’i, akidah tauhid bermazhab Asy’ariyah atau Maturidiyah, dan mengajarkan ilmu tasawuf seperti karya Al-Ghazali dan lainnya.

Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, dialog antara Khalil dan Ridho ini menyiratkan bahwa khazanah pemikiran keislaman itu amatlah lentur dan dinamis. Akan tetapi, supaya kita, minimal saya sendiri, tidak larut dalam salah satu pandangan dari kedua pemikiran di atas, maka alangkah baiknya kita ketahui dahulu tipologi pesantren di Indonesia.

Menurut Irfan Abubakar & Idris Hemay (2020), ada beberapa tipologi pesantren yang kaitannya dengan tingkat kerentanan atau ketahanan pesantren terhadap radikalisme, yakni modal sosial pesantren tradisional adalah eksistensi kiai dan kitab kuning. Sedang, modal sosial pesantren reformis lebih bervariasi.

BACA JUGA  Radikalisme di Kalangan Mahasiswa, Seberapa Bahaya?

Pondok Gontor dan afiliasinya memiliki modal sosial berupa sistem nilai pondok pesantren yang diabstraksikan dalam “Panca Jiwa” (keikhlasan, keseder-hanaan, ukhuwah Islamiyah, kemandirian, dan kebebasan). Selanjutnya, pondok-pondok pesantren modernis seperti Muhammadiyah dan Persis, memiliki modal sosial keterikatan mereka dengan Ormas Muhammadiyah dan Persis.

Sementara pesantren bercorak salafi ditentukan oleh hubungan mereka terhadap teologi Wahhabi dan Salafi yang dominan di Saudi Arabia.

Berdasarkan pada tipologi tersebut, maka dibandingkan dengan pesantren-pesantren tradisional dan modernis, pesantren salafi adalah yang paling jauh keterhubungan dengan pandangan teologis dan budaya keislaman yang dominan di Indonesia selama ini, yaitu Ahlussunnah wal-Jama’ah (Aswaja) ala Indonesia.

Dengan demikian, pandangan Khalil tentang pesantren salaf yang memiliki kaitannya dengan salafi (memperoleh sumber pendanaan dari kalangan Wahabi) dengan secara tidak langsung terbantahkan.

Kendati demikian, pandangan dari Saudara Ridho pun tak sepenuhnya benar. Karena, dalam realitanya, tak semua pondok pesantren yang menyatakan dirinya sebagai pesantren salaf itu bermazhab ahlussunah wal-jama’ah an-nadliyah (NU). Karena, tampaknya ada pesantren salaf memperoleh pendanaan dari Arab Saudi atau organisasi yang berpaham radikal ekstremis.

Harus diakui pula bahwa sejumlah sosok yang terlibat terorisme di Indonesia berlatar belakang pendidikan pesantren. Sebut saja pelaku Bom Bali 2002, Amrozi cs, berasal dari Pesantren Al-Islam, Tenggulun, Lamongan; 2 tersangka teroris Solo yang ditembak mati tahun 2012, Farhan Mujahid dan Muchsin Tsani, jebolan Pesantren Ngruki, Solo.

Aman Abdurrahman, pimpinan Jamaah Ansharud Daulah (JAD), juga pernah nyantri di Pesantren Darussalam Ciamis. Namun demikian, mereka yang disebut namanya di atas tidak mewakili keseluruhan profil pesantren karena sebagian besar pesantren tidak terpapar radikalisme-terorisme.

Akhirnya, dialog antara kedua pemikiran tentang pesantren salaf dan arus radikalisme itu bukanlah suatu hal yang tabu melainkan, sesuatu keniscayaan. Wallahu A’lam…

Saiful Bari
Saiful Bari
Alumnus Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Juga, pernah nyantri di Ponpes Al-falah Silo, Jember. Kini menjadi Redaktur Majalah Silapedia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru