29.7 C
Jakarta

Film Tilik Vs Film Jejak Khilafah di Nusantara

Artikel Trending

KhazanahPerspektifFilm Tilik Vs Film Jejak Khilafah di Nusantara
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Film Jejak Khilafah di Nusantara sebenarnya, lebih dahulu ramai dibicarakan publik dibandingkan film Tilik. Akan tetapi, film Tilik justru lebih menyita perhatian publik dibandingkan film Jejak Khilafah di Nusantara. Indikatornya dapat dilihat dari jumlah penonton per tanggal 22/8. Film Tilik ditonton lebih 6 juta orang sementara, film Jejak Khilafah ditonton sekitar 18 ribu orang.

Film Tilik karya Wahyu Agung Prasetyo dan diproduksi bersama oleh Ravacana Films dan Pemda DI Yogyakarta ini bercerita tentang kehidupan sehari-hari sekelompok ibu-ibu di desa dan menggambarkan betapa kuatnya jiwa solidaritas antar sesama warga, meskipun sarat dengan stereotip di dalamnya.

Sementara film Jejak Khilafah di Nusantara yang dibuat oleh Nicko Pandawa dan Komunitas Literasi JKDN itu bercerita tentang hubungan antara Kekhalifahan Utsmaniyah dan Kesultanan-kesultanan Islam di Jawa dan di Sumatera.

Dari uraian tersebut, maka timbul sebuah pertanyaan, mengapa film Tilik lebih menyita perhatian publik dibandingkan film Jejak Khilafah di Nusantara? Berbicara sebuah film maka berbicara pula tentang substansi dan tujuan film itu dibuat. Untuk mengetahuinya maksud film itu dibuat maka dapat dilihat salah satunya, melalui sinopsisnya.

Sinopsis Jejak Khalifah ini menceritakan Sultan Muhammad I pada 1404 M (808 H) mengirim surat kepada para pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah untuk meminta sejumlah ulama guna diberangkatkan ke Jawa. Kemudian, diberangkatkanlah para ulama dalam enam angkatan yang masing-masing terdiri dari Sembilan orang. Angkatan I dipimpin oleh Maulana Malik Ibrahim asal Turki.

Angkatan berikutnya hingga angkatan VI ditetapkan ketika ada ulama yang meninggal di angkatan sebelumnya. Pendeknya, film ini menggambarkan tentang sistem kekhilafahan dan hubungan khilafah Turki Usmani dengan khilafah di Nusantara seperti di Jawa dan Sumatera.

Sementara, sinopsis film Tilik menceritakan tentang perjalanan sekelompok ibu-ibu dari sebuah desa menuju ke rumah sakit, untuk menjenguk ibu kepala desa mereka yang tengah dirawat. Sepanjang perjalanan, dengan menggunakan truk milik sesama warga, obrolan serta gosip mengenai Dian, seorang kembang desa di lingkungannya. Gadis itu diperbincangkan karena parasnya yang membuat para suami di desa gemar memandanginya.

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari “internet” dan sejumlah kabar burung, Bu Tejo menyebut Dian sebagai “wanita tidak benar”. Namun, tidak semua ibu-ibu dalam truk tersebut setuju dengan perkataan Bu Tejo. Ada Yu Ning, yang merasa kurang setuju dan tidak nyaman dengan perkataan Bu Tejo. Beberapa kali, Yu Ning mencoba mengingatkan Bu Tejo untuk menjaga ucapannya.

BACA JUGA  Menghindari Tafsir Tekstual, Menyelamatkan Diri dari Radikalisme

Sesampainya di rumah sakit, rombongan ibu-ibu itu rupanya gagal menjenguk Bu Lurah karena ia masih terbaring di ICU. Mereka pun hanya bisa bertemu dengan anak Bu Lurah, Fikri, dan gadis bernama Dian yang sejak tadi diperbincangkan. Ringkasnya, film ini menggambarkan bagaimana kehidupan sosial masyarakat di pedesaan.

Kedua film tersebut merupakan film dokumenter, namun keduanya terdapat perbedaan yang amat diametral. Satu berbicara tentang sejarah “yang dipaksakan” dan satunya lagi berbicara tentang kehidupan masyarakat saat ini.

Pandangan tersebut tentu dapat dibenarkan apabila kita disandarkan pada pendapat Azyumardi Azra (2020). Azyumardi mengatakan, ditinjau dari segi sejarah Islam, film Jejak Khilafah jelas dibuat untuk mengelabuhi masyarakat yang tidak paham sejarah dengan cara memanipulasi sejarah yang dibuat seromantis.

Menurutnya lagi, kelompok pengasong khilafah akan terus mempropagandakan bahwa Khilafah adalah solusi dari segala solusi persoalan dunia. Salah satu buktinya, mereka berani memproduksi film yang dipaksakan ada korelasinya antara Dinasti Usmani dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Di Indonesia, tidak ada jejak khilafah seperti yang dinarasikan oleh kelompok pendukung Khilafah Islamiyah ala Taqiyyuddin An-Nabhani, yakni Hizbut Tahrir.

Sementara, film Tilik, menurut Drajat Tri Kartono (2020), ditinjau dari sudut pandang sosiologi, mengatakan bahwa film Tilik ini berhasil merefleksikan antara penggambaran kehidupan sehari-hari dengan masa sekarang amat dekat sekali.

Oleh karena itu, jangan heran film ini viral karena mampu menampilkan sebuah realitas kehidupan perempuan kelas menengah ke bawah dan mampu merepresentasikan perempuan sebagai kaum dominan. Biasanya perempuan digambarkan sebagai kanca wingking dan ini kerap terjadi pada perempuan di Jawa.

Dengan demikian, maka tak ayal, apabila film Tilik ini lebih menyita perhatian publik karena, film ini menggambarkan realitas sosial yang ada sehingga lebih mudah dicerna oleh masyarakat luas dibandingkan narasi yang dibangun oleh film Jejak Khilafah yang menceritakan tentang sejarah yang kevalidannya bisa diperdebatkan.

Pada akhirnya, narasi-narasi khilafatisme melalui film dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara ini redup di tengah trendingnya film Tilik. Di satu sisi, tindakan pemerintah memblokir film tersebut menjadikan masyarakat Indonesia terbebas dari paparan paham khilafah yang ditonjolkan oleh HTI.

Saiful Bari
Saiful Bari
Alumnus Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Juga, pernah nyantri di Ponpes Al-falah Silo, Jember. Kini menjadi Redaktur Majalah Silapedia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru