32.9 C
Jakarta

Apa Kabar Kebijakan Menteri tentang Deradikalisasi dan Moderasi Beragama?

Artikel Trending

Milenial IslamApa Kabar Kebijakan Menteri tentang Deradikalisasi dan Moderasi Beragama?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Coba kita googling tentang isu-isu yang tengah santer dibicarakan hari-hari ini, kira-kira apa yang search engine terbesar tersebut suguhkan? Mungkin hasilnya tak jauh dari dua isu ini: konflik Iran-AS, kasus Reynhard Sinaga, atau kasus kematian mantan istri Sule, Lina Jubaedah. Beberapa kasus populer mungkin akan juga tampil. Tetapi, ke mana isu-isu moderasi Islam dan deradikalisasi melenyapkan diri?

Ingatan kita masih cukup kuat. Akhir tahun lalu, terutama ketika baru dilantik, kementerian Kabinet Kerja II Jokowi-Ma’ruf gencar-gencarnya menarasikan anti-radikalisme. Perang total melawan radikalisme diumumkan, sampai Menteri Agama Fachrul Razi menjadi buah-bibir publik lantaran kebijakannya dianggap kontroversial. Talkshow-talkshow pun digelar, menanggapi isu tersebut.

Sayangnya, itu tidak lama. Hari ini televisi kita kembali dipenuhi infotainment tak bermutu. Komitmen pemerintah pun menjadi sesuatu yang mesti dipertanyakan. Hasil dari kebijakan mereka mesti juga kita crosscheck, sejauh apa sudah terlaksana. Sudah berjalan, atau bahkan tak sama sekali. Fachrul Razi sudah tidak muncul lagi, hilang laiknya tak pernah membuat kebijakan. Membingungkan.

Kemarin muncul, tetapi malah dengan kebijakan lain yang, saya pikir, periveral sekali. Ia mewartakan akan membuat kebijakan bagi calon lulusan Madrasah Aliyah harus bisa bahasa Mandarin. Isu yang sebelumnya dibuat, tentang moderasi Islam, tentang deradikalisasi, tak diketahui perkembangannya. Tentu fakta ini patut kita pertanyakan, mengingat radikalisme itu sendiri, saat ini, belum seutuhnya bungkam.

Pada saat yang sama, para pengusung khilafah lebih gigih dan ulet daripada kebijakan menteri yang terkesan kembang-kempis memberantas radikalisme tersebut. Mereka menunggu setiap isu di negeri ini, untuk dipelintir, dicari celah untuk tegaknya khilafah. Ini bisa kita lihat, umpamanya, ketika mereka merespon konflik Iran-AS sebagai konspirasi Barat demi memperlemah Daulah Khilafah.

Ini jelas mengundang kejanggalan, dan mempertanyakan narasi tersebut kepada sang pembuat kebijakan. Dalam hal ini kementerian, terutama menteri agama. Seyogianya, follow up dan evaluasi menjadi solusi, agar progresivitas program mengemuka, misalnya, deradikalisasi tidak benar-benar diprioritaskan. Semua narasi itu tak lebih dari kebijakan belaka.

Deradikalisasi, Kebijakan Belaka?

Bahwa setiap kebijakan selalu melalui pertimbangan yang matang, adalah sebuah keharusan.  Tetapi apakah kebijakan yang dibuat benar-benar direalisasikan, bahkan berjalan sesuai ekspektasi, adalah sesuatu yang lain. Seringkali kebijakan dibentuk bukan benar-benar untuk dijalankan, melainkan untuk mengecoh publik. Untuk yang terakhir ini, saya tidak menuduh menteri manapun.

Sungguhpun demikian, fakta-fakta mencengangkan dan membingungkan dari kebijakan itu bisa kita lihat bersama. Tentang SKT FPI yang simpang-siur kemarin, Menag Fachrul Razi justru memprakarsai perpanjangan izinnya. Tentang  cadar, pada kebijakan sebelumnya, juga tak kalah rancu. Tidak jarang kebijakan-kebijakan yang dibangun itu sekadar untuk mencuri perhatian publik semata.

Saya pikir seharusnya menteri itu—Anda pasti tahu siapa yang saya maksud—tegas, dalam hal memberantas radikalisme. Deradikalisasi bukan perkara mudah, itu yang perlu dicatat. Perlu dibentuk kebijakan yang terstruktur dan diberlakukan secara menyeluruh, terus menerus. Bukan kembali membuat kebijakan baru di atas kebijakan lama yang terbengkalai. Sangat tidak efektif.

BACA JUGA  Potret Komunikasi Radikal di Indonesia

Beberapa kebijakan deradikalisasi berikut bisa kita tanyakan kabarnya. SKB di kalangan ASN, untuk memantau jejak digital ASN, tak jelas eksekusinya. Penguatan kebangsaan melalui pengajaran Islam moderat, justru berjalan oleh instansi individual, bukan dari kebijakan menteri itu sendiri. Pun dengan kebijakan lain yang diproyeksikan sebagai deradikalisasi, progresnya belum konkret maksimal.

Sebenarnya, moderasi Islam dan deradikalisasi adalah satu kesatuan. Mengajarakan moderasi sejatinya adalah bentuk lain dari deradikalisasi, dan deradikalisasi—salah satunya—ditempuh dengan pengajaran Islam moderat. Karenanya, kebijakan perihal keduanya juga tidak mesti berjalan gradual. Tetapi bila kebijakan moderasi tak jelas arahnya, bagaimana kita mengukur keberhasilan deradikalisasi tersebut?

Jika deradikalisasi yang dicanangkan menteri itu—sekali lagi, Anda pasti tahu siapa yang saya maksud—adalah kebijakan belaka, maka berharap radikalisme benar-benar hilang dari negeri ini adalah cita utopis. Atas semua itu, mesti tumbuh kesadaran kolektif untuk melakukan deradikalisasi. Sayang sekali misalkan gerakan pengusung khilafah lebih solid daripada pemerintah-rakyat itu sendiri.

NKRI dan Tantangan-tantangan

Mempererat persatuan di tengah keragaman itu bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Menyetarakan manusia tanpa pandang ras, suku, dan agama itu juga hanya bisa dilakukan orang tertentu. Merasa kuat dan paling berkuasa adalah manusiawi, dan beberapa umat Islam merasakan superioritas ini. Sedangkan menyelaraskan semuanya adalah kemustahilan. Kita hanya bisa menerima segala yang berbeda.

Menegasikan tantangan dalam konteks bernegara, juga adalah ujung kemustahilan. Apalagi berkaitan dengan persoalan keagamaan yang notabene sensitif. Oleh karena itu, yang semestinya diminimalisir bukanlah tantangan-tantangan tersebut, melainkan persepsi kolektif tentang segala tantangan yang ada. Mesti ada konsensus bahwa perdamaian abadi adalah cita besar demi berlangsungnya kehidupan.

Sampai di sini, bukan berarti kebijakan tentang deradikalisasi menjadi sesuatu yang tidak berarti. Persoalan radikalisme bukan tentang konfrontasi terhadap pluralitas, tetapi politik an sich. Para pengusung khilafah bukan ingin menjadi superior saja, bahkan lebih dari itu mereka ingin menguasai semuanya, mengganti ideologi Negara. Segenting itu deradikalisasi perlu dilakukan.

Kalaulah Menag sebelumnya, Lukman Hakim Saifuddin, lebih masif mangampanyekan moderasi beragama, hari ini medannya sudah berbeda. Beberapa peristiwa mengejutkan kita, misalnya tentang bom bunuh diri, atau narasi khilafah yang terus-menerus disuarakan. Tanpa konsistensi kebijakan, publik akan cenderung mudah terhasut narasi mereka, lalu radikalisme membengkak dalam NKRI.

NKRI dengan segala tantangannya memerlukan kesadaran kolektif kita. Pengajaran moderasi beragama sebagai wujud deradikalisasi menjadi salah satu terobosan yang bisa diharapkan. Adapun perihal kebijakan yang ada, barangkali kita tidak bisa berharap banyak. Sebab, di belakang kebijakan, pasti ada kepentingan-kepentingan mendesak lain tentang politik. Itu yang perlu digarisbawahi.

Bertanya status kebijakan tersebut juga tak lebih sebagai otokritik, betapa tumpang-tindihnya kebijakan di negeri ini. Satu kebijakan dibuat, yang lama ditinggalkan sama sekali, atau tetap berjalan tetapi tidak jelas kemajuannya. Padahal deradikalisai adalah demi kemaslahatan kita bersama. Satu-satunya jalan adalah kita bisa berharap kesadaran masing-masing institusi, di samping self deradicalization.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru