29.7 C
Jakarta
Array

Zakat Profesi, Perlukah?

Artikel Trending

Zakat Profesi, Perlukah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Seribu satu orang mencari pekerjaan dari pengamen sampai menjadi presiden, seribu satu cara orang mencari makan dari menjual koran sampai menjual kehormatan” begitulah kata Bang Haji Rhoma Irama. Memang banyak jalan yang dilakukan orang untuk mengais rezeki. Mulai dari pekerjaan yang sangat ringan hingga yang harus mengeluarkan banyak energi. Ada orang yang karena keahliannya, dengan sedikit kerja saja ia memperoleh penghasilan yang melimpah. Sebut saja, dokter, pengacara, seniman, bisnisman, kontraktor dan lain gebagainya. Sebaliknya, ada yang tiap hari peras keringat banting tulang rapi hasilnya hanya cukup untuk makan saja. Misalnya kuli, karyawan pabrik, buruh tani dll. Lebih-lebih di era milenial seperti sekarang ini. Orang akan rela bekerja apa saja asalkan asap dapur tetap bisa mengepul. Ironisnya, dari waktu ke waktu, kondisi kaum petani (rakyat kecil) justeru sangat memprihatinkan. Padahal mayoritas penduduk |ndonesia adalah Petani. Sebagaimana bebrapa waktu yang lalu, di saat pegawai negeri menikmati kenaikan gaji, nasib petani justeru malah terpuruk. Hasil panen yang menjadi tumpuan hidup mereka jauh dari yang diharapkan. Penyebabnya tidak lain karena harga gabah hasil panen mereka jeblok. Tidak sebanding dengan biaya produksi yang mereka keluarkan. Di sisi lain, membanjirnya gula impor juga menjadi problem tersendiri. yang jelas, petani tebu menjadi kalang kabut. Pasalnya, gula lokal kurang laku di pasaran. Akibatnya, tebu mereka terancam tak ada pembelinya.

Yang lebih memprihatinkan, pemahaman agama kadangkala juga ikut menyodok posisi mereka. Karena sampai saat ini ada asumsi di tengah masyarakat bahwa bidang pertanian dan perdagangan saja yang dikenakan kewajiban zakat. Sedangkan profesi-profesi lain tidak. Padahal penghasilan mereka (profesi diluar perdagangan dan pertanian) lebih besar. Karena itulah, pemahaman itu perlu diluruskan . Diantaranya dengan menggagas adanya zakat profesi. Artinya, setiap profesi yang menghasilkan uang harus dikenakan zakat.

Pertanyaanya, bagaimana pandangan fiqih terhadap zakat profesi ? Wajibkah setiap profesi dikeluarkan zakatnya? Kapankah waktu pembayarannya ? Berapa nisab dan bagaimana cara pembayarannya?

Zakat merupakan salah satu bentuk ibadah sosial. Sebab, disamping berfungsi untuk mendekatkan diri kepada Allah juga sebagai Wujud solidaritas sosial. Dengan zakat, diharapkan dapat mengurangi jurang pemisah antara si kaya dengan si’ miskin. Karena melalui zakat, orang yang kaya (aghniya’) berarti telah membantu kaum yang lemah (mustad’afin). Yakni, dengan jalan menyerahkan sebagaian hartanya kepada para mustahiq (orang yang berhak menerima). Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu… [QS. AI-Baqarah, 267]

Para Ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan “anfiqu” dalam ayat di atas. Kelompok pertama menafsirkan kata tersebut dengan zakat. Lain halnya kelompok kedua, mereka berpendapat bahwa yang dimaksud adalah sedekah sunnah. Sedangkan golongan ketiga menyatakan bahwa kata infak dalam ayat di atas mencakup zakat dan sedekah sunnah. Dari ketiga alur penafsiran ini, nampaknya penafsiran pertama lebih kuat. Karena, ayat di atas disebutkan bersamaan dengan sumber zakat yang lain, yaitu hasil bumi. Dengan demikian, ayat ini bisa menjadi dasar bagi kewajiban zakat bagi hasilbumi usaha seseorang (Tafsir Fakhru al-Razi, IV,66).

Permasalahannya, jenis-jenis hasil usaha atau pekerjaan apa saja yang harus dikeluarkan zakatnya ? Kembali kepada ayat di atas, para ulama berselisih pendapat ketika mengomentari lafadz “ma kasabtum”. Sebagaian mereka menafsirkan ”ma kasabtum” hanya khusus perdagangan dan hasil tambang (emas dan perak) saja. Sementara kelompok yang lain berpendapat bahwa “ma kasabtum“ itu mencakup setiap usaha untuk mendapatkan harta secara halal, baik itu pedagang, tukang atau yang lainnya. (Jami’u al-Bayan, III, 80; Tafsir Bahru al-Muhith,ll,330).

Berdasarkan alur penafsiran pertama, maka penghasilan orang yang berprofesi sebagai PNS, pengacara, dokter, manager tidak dikenakan zakat. Sebaliknya, jika mengikuti alur penafsiran kedua, maka mereka wajib bayar zakat. Karena, pada prinsipnya setiap usaha yang menghasilkan harta warta dikeluarkan zakatnya. Apapun jenis pekerjaannya. Nampaknya, pendapat yang kedua ini lebih realistis, Sebab, sangat tidak adil jika dua orang sama-sama memiliki harta yang satu wajib zakat sementara yang lain tidak. Lebih-lebih pendapatan profesi-profesi tertentu seringkali lebih besar dibandingkan para pedagang dan petani.

Mengomentari masalah ini, Dr. Yusuf Qardawi menegaskan pahwa gaji, upah kerja dan penghasilan wiraswata masuk dalam kategori Mal al-Mustafad. Yakni, segala macam pendapatan yang diperoleh dari zelain harta yang wajib dikenakan zakat (produktif). Gaji, honor dan uang jasa bukan diperoleh dari harta yang produktif. Makanya ia masuk Katagori mal al-mustafad. Dengan demikian, penghasilan seorang dokter, pengacara, seniman dan lain sebagainya tercakup dalam pengertian Mal Mustafad. [Fiqh al-Zakat,l,490]

Nisab Dan Kadarnya

Mal al-mustafad disepakati para sahabat dan para ulama’ berikutnya untuk wajib dikenakan zakat. Lalu berapa nisab dan kadarnya,? Karena zakat profesi kita kategorikan Mal al-Mustafad, maka nisabnya sebagaimana nisab mal al-mustafad sebesar 94 gram emas. Tentunya, cara penghitungannya sesudah dipotong untuk nafkah keluarga, hutang-hutang dan keburuhan pokok lainnya. Sedangkan kadar zakatnya sebanyak 2,5 persen. Penetapan nisab dan kadar zakat disamakan dengan zakat mata uang. Sebab, mal al-mustafadz tercakup dalam pengertian keumuman zakat mata uang. [Fiqh al-Zakat, 519-520:I]

Jadi, berdasarkan aturan ini yang wajib membayar zakat adalah mereka yang penghasilannya senilai 94 gram emas saja (ada juga yang menyatakan 85 gram). Namun demikian, bukan berarti bagi orang yang penghasilannya dibawah itu mutlak tidak kena zakat. Sebab, jika kita merujuk pada pendapat golongan Hanabilah, yaitu mereka berpandangan bahwa untuk mencapai satu nisab dari hasil tanaman, maka penghasilan selama satu tahun diperhitungkan secara akumulatif. Dengan demikian, gaji pegawai, upah buruh, honorarium seniman, penghasilan dokter dan lain sebagainya apabila dijumlahkan selama setahun telah mencapai satu nisab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. [Fiqh aI-Zakat, 515-517:l]

Waktu Pembayarannya ?

Para ulama’ berbeda pendapat tentang waktu wajib untuk pembayaran zakat mal mustafad. Menurut Ibnu Abbas, lbnu Mas’ud, Muawwiyah dan sebagian Tabi’in, mal al-mustafad yang mencapai satu nisab meskipun belum mencapai satu tahun tetap wajib dikeluarkan takatnya. Karena itu, ketika mendapatkan harta tersebut ia langsung membayar zakatnya. Konsekwensinya, di akhir tahun tidak berkewajiban membayar zakat lagi. [Al-Fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, 866:ll]

Sedangkan jumhur ulama (Malikiyah, Hanafiyah, Syafi’iyah da’i Hanabilah) berpendapat bahwa mal al-mustafad tidak wajib dikeluarkan Zakatnya kecuali jika mencapai satu nisab dan genap satu tahun Sebagaimana Sabda Nabi:

“Barangsiapa mendapatkan harta mustafad maka tidak wajib zakat sehingga ia sampai satu tahun di sisi Tuhannya [Sunan Turmudzi, 129:I]

Berdasarkan pendapat ini, jika ada orang memiliki mal mustafad yang telah mencapai satu nisab tapi belum mencapai satu tahun (haul) maka tidak wajib mengeluarkan zakat.

Lalu bolehkah pembayaran zakat dilakukan sebelum tiba waktunya (ta’jil). Ternyata kalangan Syafi’iyah, Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan ta’jil zakat. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis: Sesungguhnya sayyidina Abbas bertanya kepada Rasulullah tentang menyegerakan pembayaran zakat sebelum mencapai satu tahun. Kemudian Rasulullah membrikan keringanan (rukhshoh) dalam hal itu. [Sunan Turmudzi, 152:ll]

Lain halnya kalangan Malikiyah dan Dzahiriyah, mereka melarang praktek ta’jil dalam zakat. Alasannya, mereka memegang keumuman larangan hadis di atas. [al-fiqh al-Islamy wa adillatuhu, 755:II]

Dengan demikian, sebenarnya praktek ta’jil dalam pembayaran zakat profesi tidak ada masalah. Sebab jika kita amati, pertimbangan kebolehan ta’jil dalam hadis di atas semata-mata karena rukhshoh (memberikan kemudahan). Karena itu, pembayaran zakat yang dilakukan setiap bulan setelah orang menerima gaji atau honor bisa dibenarkan. Dan yang terpenting, dengan kemudahan ini kita berharap kesadaran berzakat profesi tumbuh di tengah masyarakat kita. Sehingga zakat gebagai wahana untuk pemberdayaan umat dan pengentasan kemiskinan dapat terealisir. Semoga. Amin….

Sumber: Fikih Progresif

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru