28.8 C
Jakarta

Zakat dan Jihad Kemanusiaan

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuZakat dan Jihad Kemanusiaan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul Buku: Argumen Kontekstualisasi Zakat dalam Al-Qur’an: Dari Takziyah ke Pemberdayaan Sosial-Ekonomi Umat, Penulis: Rufi’ah, Penerbit: IRCiSoD, Tahun Terbit: Cetakan Pertama; 14×20 cm, ISBN: 978-623-6166-73-4, Peresensi: Moh. Syaiful Bahri.

Harakatuna.com – Zakat mempunyai peluang besar sebagai progaram alternatif pengentasan kemiskinan, karena zakat disalurkan dari orang kaya kepada orang yang layak menerimanya. Al-Qur’an menyebut sebanyak 82 kali dan beriringan dengan kewajiban salat. Hal ini mengisyarakatkan bahwa zakat menjadi hal pokok dalam rukun Islam. Sebagai ibadah berorientasi kepada hubungan vertikal dan horizontal, zakat diharapkan bisa mendorong aspek-aspek kemanusiaan.

Seperti yang ditegaskan oleh Allah SWT. dalam  Surah At-Taubah, ayat 103 yang artinya;

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Karena zakat adalah bentuk telaga membersihkan jiwa dan harta manusia. Maka dari itu, wajib untuk memberikan sebagian harta kepada mereka yang masuk dalam kreteria penerima zakat, di mana ada hak-hak orang lain dari kekayaan kita. Al-Qur’an dalam Surah At-Taubat ayat 60 menyebut beberapa golongan yang berhak untuk disalurkan zakat.

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S At-Taubat, ayat 60).

Di sinilah kemudian perlu untuk memberikan pemaknaan ulang terhadap zakat sesuai dengan konteks zamannya. Tentu buku Argumen Kontekstualisasi Zakat dalam Al-Qur’an memberi ruang dialektika baru tentang zakat. Setidaknya Rufi’ah melalui penelitian tesisnya ingin memotret pesan-pesan ideal Al-Qur’an sebagai pijakan teoritis serta praktis untuk melakukan transformasi zakat dalam realitas masyarakat hari ini (hlm. 19).

Sebagaimana dikatakan Nurcholish Madjid bahwa zakat bagian dari ibadah yang dikerjakan dengan pola bersinggungan langsung dengan pihak lain. Baik melalui amil zakat ataupun secara terang-terangan disalurukan kepada fakir miskin.

Zakat berfungsi sebagai wujud penguatan ekonomi di samping juga bentuk ekspresi ketaatan kepada Allah (hlm. 45). Ketaatan atas perintah zakat menunjukkan tingkat dan dorongan keimanan yang implikasinya bukan hanya kepada muzakki, mustahiq, tetapi juga pada masyarakat secara umum.

Dalam konteks ini, zakat sebagai penghubung interaksi antara si kaya dan si miskin. Oleh karenanya, zakat bukan semata-mata ibadah bertitik tumpu pada hablum minallah, tetapi juga hablum min annas.

Artinya, zakat memiliki dua dimensi yang terus berkelindan dengan kerja-kerja ketuhanan dan kemanusiaan. Di sinilah kemudian urgensinya untuk kesejahteraan masyarakat secara universal. Sebagaimana prinsip Pancasila tentang “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

Sebagai ibadah maliyah, zakat memiliki fungsi sosial ekonomi sebagai ejawantah solidaritas sosial. Tentu ini bagian dari nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin. Islam hadir untuk merangkul yang lemah, menciptakan kasih sayang dan saling mencintai satu dengan lainnya. Rufi’ah menyetbut bahwa aktualisasi nilai zakat diyakini memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan pembangunan dan peningkatan harkat martabat manusia (hlm. 95).

Dalam kontekstualisasi zakat bukan semata-mata melihat dan membaca ayat sesuai dengan pemahaman tekstual. Perlu telaah lebih lanjut sesuai dengan kaidah-kaidah tafsir atas ayat-ayat yang berkenaan dengan zakat.

Seperti halnya pengertian “mustahiq” yang tentu situasi dan kondisinya sudah mengalami perubahan besar. Termasuk juga kebutuhan yang tidak hanya bermuara pada kebutuhan konsumtif, melainkan juga untuk menjamin keberlangsungan dan kebutuhan masa depan.

Transformasi nilai-nilai zakat untuk menyucikan jiwa dan lebih penting lagi untuk mempertajam relasi sosial dan memperbaiki bangunan ekonomi umat. Oleh karenanya, saat bersamaan zakat harus dipahami sebagai jihad kemanusiaan.

Iya bukan sekadar untuk menggugurkan kewajiban agama, lebih jauh dari itu ada kehidupan masyarakat yang perlu dirangkul untuk menjunjung tinggi nilai-nilai solidaritas untuk kemajuan peradaban umat manusian; tanpa kemiskinan, ketimpangan dan penderitaan.

Muhammad Syaiful Bahri
Muhammad Syaiful Bahri
Santri PPM Hasyim Asy’ari Yogyakarta, Aktif di Lingkaran Kajian Culture, Humanity and Religion di Lesehan KUTUB Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru