29.7 C
Jakarta

Yayasan Insantama, Milik Ismail Yusanto, Ancaman Bagi NKRI

Artikel Trending

Milenial IslamYayasan Insantama, Milik Ismail Yusanto, Ancaman Bagi NKRI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Salah satu tantangan terbesar manusia Indonesia kini ada di pendidikan. Mengingat, pendidikan di Indonesia sedang dihadapkan pada pertarungan ideologi. Dari ideologi yang memandang pentingnya “Indonesianisasi Islam” dengan non-indigenous Islam Indonesia yang memandang perlunya “Islamisasi Indonesia”.

Gayutnya pertarungan ideologi itu menyebabkan pendidikan Islam mengalami pergeseran visi atau wajah. Pendidikan Islam Indonesia yang dulunya toleran, menjadi intoleran. Yang dulunya santri/anak didik/orang/kelompok/organisasi ramah, bergeser menjadi marah. Yang dulunya ingklusif menjadi eksklusif. Yang dulunya moderat menjadi ekstrem/radikal.

Demikian itu terjadi di lembaga-lembaga seperti pendidikan Islam swasta transnasional, atau lembaga pendidikan berbasis masyarakat organik yang mandiri dan otonomi kebijakannya, seperti  madrasah, sekolah Islam, dan pesantren (Toto Suharto, 2020). Contohnya, Yayasan Insantama, pimpinan Ismail Yusanto, sang Jubir HTI.

Fenomena itu menjadi kegelisahan kita semua, apalagi pada kontestasi ajaran pendidikan Islam Indonesia. Selama ini kita melihat dan menemukan beberapa perubahan yang mencemaskan, mungkin memiriskan di dunia pendidikan: madrasah, sekolah Islam, dan pesantren. Dari padanya, sebagian telah terjadi pertarungan ideologis yang mengarah pada konservatisme. Bahkan, pertarungan ideologi ini menghapus “citra” atau “norma baik” yang dimiliki lembaga itu sendiri. Yang dulunya berfungsi sebagai pengawal moderasi Islam dan mencerdaskan manusia yang toleran, malah sebaliknya: konservatif.

Mengapa demikian terjadi? Kalau kita lacak genealogisnya, karena pendidikan swasta yang di kelola oleh Yayasan Insantama, atau organisasi tertentu memiliki jejaring Islam transnasional, memiliki ideologi tersembunyi. Yakni ideologi HTI hingga Salafi yang menginginkan negara Islam dan penerapan syariah dan ajang kontestasi politik praktis. Dan lembaga macam Yayasan Insantama, yang berpusat di Bogor, lepas dari pengawasan pemerintah.

Bukti lepasnya pantauan pemerintah adalah adanya ideologi tersembunyi (“radikal-konservatif”) dipasokkan kedalam kurikulum dan ekstra. Dan bukti dari adanya ideologi “radikal-konservatif” itu, Yayasan Insantama ini atau lembaga “lainnya” secara samar menerima Pancasila meski hanya sebagai taqiyyah saja, agar pendidikannya tetap eksis, menolak mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang memuat Pancasila, dan bahkan di ekstrakulikuler seperti Pramuka, ideologi tersembunyi itu gencar diajarkan di beberapa materinya.

Yayasan Insantama, milik Ismail Yusanto, sang Jubir HTI, mengajarkan itu. Berjumlah 22 Sekolah Islam Terpadu yang tersebar di berbagai kota se-Indonesia. Mulai dari dari Bogor, Bekasi, Makassar, Kendari, Ternate, Malang, Tangerang Selatan, Jember, Pontianak dan lainnya. Yayasan Insantama ini pendidikannya juga sudah lengkap dari SD hingga SMA (Harakatuna, 12/4/2021).

Yayasan Insantama dan Kita

Kenyataan ini semestinya menjadi cambuk dan acuan bagi kita, guru dan penyelenggara pendidikan di Indonesia. Artinya, kita semua pada era kini harus melek suasana dan berjiwa responsif terhadap lingkungan kehidupan pendidikan anak atau siswa. Alih-alih menyalahkan anak, kita sebaiknya mampu melihat dan menerjemahkan ajaran dan realitas yang terjadi di samping kehidupan anak, tentu saja dengan suasana senang nan gembira dalam proses pendekatan-pembelajaran.

Pada sisi ini, kebuntuan perlu disibak dan perlu diarahkan. Sebab, pendidikan bukan hanya mencipta kepribadian siswa, tetapi menjadi titik masuk ideologi ekstrem, baik lewat kurikulum resmi atau tersembunyi. Baik lewat program ekstra mau pun intra—yang—pada akhirnya membahayakan siswa dan kita. Di sini, kita atau penyelenggara pendidikan perlu berpikir keras. Karena ketidaksadaran dan kekurangsadaran pada segala sesuatu menjadi pembentuk mereka sebagaimana mereka ada sekarang.

BACA JUGA  2024: Momentum Memperkuat Demokrasi

Kita jangan kecolongan dalam pengelola pendidikan. Karena sekolah/kurikulum/modul jadi muara ilmu-budi lahir. Pendidikan paling mudah untuk menanamkan ragam ideologi. Apabila sebuah modul pendidikan lepas dari nilai ke-indonesia-an dan ke-moderatan, bisa jadi itu merupakan bom waktu yang akan meledak kapan saja. Dan bom waktu itu kita rasakan akibat kecolongan di tiga dekade sebelumnya.

Kita tahu, lembaga pendidikan memiliki fungsi sebagai pintu masuk penyebaran ideologi tertentu sekaligus merupakan pintu keluar untuk mencari solusi hidup. Seperti dikatakan Horace Mann (1796-1859), seorang pemikir pendidikan kelahiran Massachusetts, bahwa pendidikan adalah pengaman manusia satu-satunya, di luar bahtera ini hanya ada banjir dan air bah.

Karena itu, kita memerlukan penyelenggara pendidikan dan guru-guru yang terampil-moderat dan memiliki pemahaman keagamaan yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Sekaligus memerlukan kerangka kurikulum-modul pendidikan yang moderat, memerdekakan, dan mencerdaskan. Melalui pendidikan dan kurikulum, anak-anak kita (murid) bisa dilihat signifikansinya, masa depan, lapangan kerja, akhlaknya serta tantangan dunianya besok. Pendidikan penting memiliki program dan acuan yang sesuai bagi anak-anak Indonesia.

Jalan Alternatif

Oleh sebab itu, dalam berbagai teks literatur akademis pendidikan Islam banyak menawarkan rekomendasi yang, bisa meniscayakan bagaimana terangnya pendidikan dan  anak-anak kedepan. Sehingga, semua pendidikan di Indonesia (pesantren, yayasan, sekolah, kampus dan sejenisnya) menjadi lembaga pendidikan moderat yang menciptakan insan-insan cendekia santun, dan saling menguatkan kaki NKRI dari gempuran paham, ajaran, pendidikan kelompok ekstem.

Hanya tiga kemungkinan yang bisa dilakukan di Indonesia: pertama, membongkar genealogi, anatomi, sumber rujukan, tokoh, dari kelompok-kelompok ekstrem. Kedua, mendongkel geopolitik dibalik gerakannya dan kampenya eksportir ajarannya. Ketiga, menukangi yang pertama dan yang kedua dengan jalan remoderasi ajaran Islam, baik melalui re-interpretasi ayat Al-Qur’an atau kontra narasi, menyaingi dalam bentuk strategi politik, ekonomi, psikologis, sosial, dan dengan gerakan  moderasi Islam (di realitas dan media sosial).

Bila di atas dapat diinternalisasikan dalam proses pendidikan siswa, yang merupakan abstraksi dari paham Islam moderat, maka akan menjadi karakter Islam Indonesia. Sebab, pengetahuan Islam moderat memungkinkan dapat menjadi official knowlegde. Bahkan mungkin menentukan arah masa depan Islam Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dan dimulai oleh santri. Karena, selain sebagai mayoritas dan punya akar sejarah yang kuat, juga menjadi pandu anatomi kontestasi Islam dan penangkal gerakan ekstremisme di Indonesia, baik melalui proyek “Islam Nusantaranya”, jalan kulturalnya, atau “Islam Berkemajuannya”.

Jika itu berhasil diterapkan, maka pendidikan, yayasan sosial, dan moderasi agama tidak hanya membumi di bumi Indonesia, tetapi bisa menjadi penerang masa depan manusia, negara, bangsa, yang bermartabat, berdulat, dan memanusiakan manusia. Semoga[]

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru