30.8 C
Jakarta
spot_img

Yang Lebih Kejam dari Pembakaran Buku-Buku

Artikel Trending

KhazanahLiterasiYang Lebih Kejam dari Pembakaran Buku-Buku
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Bayangkan sebuah dunia tanpa buku. Tidak ada novel yang membawa kita menjelajahi labirin emosi, tidak ada esai yang mengasah nalar, tidak ada catatan sejarah yang menghubungkan kita dengan masa lalu. Dunia semacam itu mungkin terlihat utopis bagi sebagian orang yang terjebak dalam ilusi teknologi dan hiburan instan.

Namun, Joseph Brodsky, penyair Rusia-Amerika yang memenangkan Nobel Sastra, menegaskan sesuatu yang mengejutkan: tidak membaca buku adalah kejahatan yang lebih besar daripada membakarnya. Sebuah pernyataan yang menghentak, terutama ketika kita menyadari bahwa di Indonesia, minat baca berada di titik nadir. Apakah kita, tanpa sadar, sedang membakar buku-buku kita sendiri dalam diam?

Pernyataan Brodsky mungkin terasa berlebihan bagi sebagian orang. Bukankah buku yang terbakar menghilang seketika, sedangkan buku yang tidak dibaca tetap ada di rak, menunggu pembacanya? Tetapi di situlah letak ironi yang ingin ditekankan oleh Brodsky. Buku yang tidak dibaca adalah buku yang mati.

Ia kehilangan tujuan keberadaannya, menjadi sekadar benda yang dilupakan, bahkan oleh mereka yang memilikinya. Jika pembakaran buku adalah bentuk penghancuran yang nyata, maka tidak membaca adalah penghancuran yang tak terlihat, tetapi efeknya jauh lebih dahsyat dan merusak dalam jangka panjang.

Untuk memahami kedalaman pernyataan Brodsky, mari kita kembali ke sebuah tragedi besar dalam sejarah: pembakaran perpustakaan besar Baghdad pada abad ke-13. Saat itu, Baghdad menjadi pusat intelektual dunia Islam. Perpustakaan Bait al-Hikmah atau House of Wisdom menyimpan ribuan manuskrip yang menjadi buah pemikiran dari berbagai budaya: Yunani, Persia, India, dan Arab. Manuskrip itu adalah bukti hidup dari peradaban yang menghargai ilmu pengetahuan.

Ketika pasukan Mongol di bawah Hulagu Khan menyerbu Baghdad pada 1258, mereka menghancurkan lebih dari sekadar bangunan dan kehidupan manusia. Mereka meruntuhkan simbol utama dari kejayaan intelektual tersebut dengan membakar perpustakaan Bait al-Hikmah.

Ribuan buku dilemparkan ke Sungai Tigris, hingga airnya dikabarkan berubah warna menjadi hitam karena tinta. Peristiwa itu bukan sekadar pembakaran fisik. Ia adalah serangan langsung terhadap ingatan manusia, upaya pemutusan rantai peradaban, sebuah penghapusan sistematis terhadap apa yang membuat manusia menjadi lebih manusiawi: akumulasi pengetahuan.

Joseph Brodsky tidak sedang hidup di Baghdad abad ke-13, tetapi gagasannya seperti sebuah penghubung yang menjelaskan efek jangka panjang dari pembakaran buku. Jika penghancuran Bait al-Hikmah adalah tragedi nyata yang terlihat—tinta yang menghitamkan sungai, abu yang beterbangan di udara—maka tidak membaca buku adalah tragedi tak kasat mata yang dampaknya tidak kalah buruk. Ketika kita tidak membaca, kita secara perlahan memadamkan api peradaban kita sendiri. Tidak perlu penjajah seperti Mongol untuk menghancurkan perpustakaan atau buku-buku kita; kita melakukannya dengan mengabaikan mereka.

Peristiwa Baghdad memberikan gambaran tentang apa yang hilang ketika buku-buku dihancurkan: pengetahuan, ide-ide, dan masa depan. Tetapi, seperti yang dikatakan Brodsky, tidak membaca buku adalah kehancuran yang lebih parah. Mengapa? Karena ia adalah pilihan. Pembakaran buku bisa jadi dilakukan oleh musuh yang ingin menghancurkan kita, tetapi tidak membaca adalah tindakan yang kita pilih sendiri. Dengan tidak membaca, kita menyerahkan masa depan kita kepada ketidaktahuan, kepada kedangkalan, kepada arus informasi instan yang sering kali tak lebih dari sekadar hiburan.

BACA JUGA  Krisis Literasi di Era Digital: Ketika Buku Kalah dengan Konten Instan

Tragedi di Baghdad menjadi pengingat nyata bahwa membaca bukan hanya soal aktivitas intelektual, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap kehancuran. Bait al-Hikmah dulunya adalah ruang di mana ide-ide dipertemukan, diperbincangkan, dan dikembangkan. Membaca adalah jantung dari proses itu. Ketika buku-buku itu dibakar, yang hilang bukan hanya fisik manuskrip, tetapi juga potensi yang terkandung di dalamnya. Potensi untuk memahami dunia, untuk menemukan solusi, untuk menciptakan peradaban yang lebih baik.

Jika kita lihat Indonesia hari ini, barangkali tidak ada pasukan Mongol yang datang membakar perpustakaan. Tetapi rendahnya minat baca di negeri ini adalah bentuk lain dari pembakaran buku yang terjadi perlahan-lahan. Berdasarkan data UNESCO, tingkat literasi Indonesia termasuk yang terendah di dunia. Perpustakaan-perpustakaan kita kosong, sementara ponsel pintar penuh dengan aplikasi media sosial. Buku-buku tergeletak berdebu di rak, sementara jari-jari sibuk menggulir layar.

Brodsky seolah ingin mengingatkan kita bahwa tidak membaca adalah cara paling halus untuk menghancurkan diri sendiri. Ketika masyarakat berhenti membaca, mereka kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis, untuk memahami dunia dengan lebih dalam, untuk membedakan antara informasi yang berharga dan yang dangkal. Mereka menjadi mangsa empuk bagi propaganda, manipulasi, dan kedangkalan budaya.

Kembali ke tragedi Baghdad, kita bisa belajar bahwa membaca adalah bentuk pelestarian. Membaca adalah cara kita menjaga ingatan kolektif, melindungi warisan intelektual, dan memastikan bahwa peradaban kita tidak runtuh. Ketika Bait al-Hikmah dihancurkan, yang hilang bukan hanya buku-buku itu, tetapi juga kebiasaan membaca yang menjadi pusat dari kehidupan intelektual.

Kehilangan buku karena pembakaran adalah tragedi instan. Tetapi kehilangan kebiasaan membaca adalah tragedi yang perlahan tetapi pasti menghancurkan kita dari dalam. Brodsky benar, tidak membaca adalah kejahatan yang lebih besar. Jika kita memilih untuk tidak membaca, kita menyerahkan diri kepada ketidaktahuan, kita memadamkan api peradaban kita sendiri, dan kita membiarkan generasi mendatang hidup dalam kegelapan.

Jadi, mari mulai dari diri sendiri. Ambillah satu buku, baca satu halaman, dan biarkan dunia terbuka. Sebab, dengan membaca, kita tidak hanya melawan lupa, tetapi juga melawan kehancuran. Bagaimana pun, membaca adalah bentuk perlawanan yang paling sederhana, tetapi sekaligus paling kuat.

Peradaban kita mungkin pernah terbakar, tetapi ia bisa dibangun kembali melalui halaman-halaman buku yang kita baca hari ini. Sebab, seperti yang dikatakan Brodsky, buku adalah satu-satunya keabadian yang bisa kita sentuh. Karena yang lebih kejam dari pembakaran buku-buku adalah tidak membacanya.

Ali Ubaidillah
Ali Ubaidillah
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Hasanudin, Makasar. Pada tahun 2018 diundang di UBUD Writer Festival, Bali.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru