30 C
Jakarta

Yai Husein Muhammad: Guru Besar Universitas Kehidupan

Artikel Trending

KhazanahOpiniYai Husein Muhammad: Guru Besar Universitas Kehidupan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Seingatku pertama bertemu Yai Husein Muhammad di kediaman Ibu Sinta Nuriyah ketika diskusi tentang kitab Uqudullujain. Hasil diskusi berkala tersebut kemudian menjadi buku yang diterbitkan oleh Kompas dengan judul ‘Kembang Setaman Perkawinan’. Kalau tidak salah sih sekitar tahun 2004.

Ternyata menurut Pak Yai ada pertemuan lebih awal. Kami pernah bersama dalam satu tim studi banding ke Turki. Mereka punya layanan kesehatan reproduksi yang terintegrasi dan patut dicontoh.

Setelahnya, kami kerap bertemu di acara-acara Rahima, Alimat, Fahmina, dan terakhir di panel dalam Seminar Nasional Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) tentang Metode Studi Islam Keulamaan Perempuan Indonesia pada tanggal 26 April 2017 lalu di Cirebon.

Khas Sang Yai

Rasanya Kiai Husein ini sejak pertama bertemu sampai sekarang tidak berubah. Padahal sudah belasan tahun. Ya wajahnya, ya juga sikapnya yang konsisten. Kiai Husein kukenal sebagai pribadi yang serius dan tingkat keseriusannya bisa sampai puncaknya jika bertemu Bang Helmi Ali. Entah apa yang diperdebatkan.

Pak Yai juga sepertinya suka merenung dan gelisah. Bagusnya Pak Yai ini hobi menulis sehingga kegelisahannya berbuah tulisan. Banyaknya karya Kiai Husein sepertinya sejalan dengan banyaknya hal yang digelisahkannya.

Kegelisahan Pak Yai agaknya berawal dari keterlibatannya dalam program Fiqhun Nisa’ Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Kata Mbak Lies Marcoes, Pak Yai saat itu sampai demam. Virus pemikiran menjalari sekujur batinnya hingga membuat tubuh Pak Yai panas-dingin.

Sepertinya ini kegelisahan khas para santri yang kecebur dalam dunia aktivis gender. Maklumlah. Di satu sisi, tetap memegang erat-erat iman bahwa Islam dari Allah adalah rahmat bagi perempuan. Namun, di sisi lain juga mewaspadai bahwa Islam sangat mungkin ditafsirkan oleh manusia dengan cara-cara yang justru melemahkan perempuan.

Melihat rekam jejak karya dan kegiatannya hingga kini, Pak Yai agaknya telah memutuskan hal penting dalam hidupnya: membangun tradisi tafsir atas Islam yang adil gender, yakni adil pada laki-laki sekaligus perempuan.

Keahliannya berselancar di lembaran kitab kuning adalah kekuatannya. Pak Yai sangat terampil menemukan mutiara pemikiran ulama klasik yang menguatkan perempuan tapi kadang tersembunyi di tempat yang tak terduga. Lihatlah tulisan Pak Yai. Selalui bertabur kutipan ulama klasik yang kemudian menjadi ciri khasnya.

BACA JUGA  Pilpres, Momentum Berbaik Sangka Sesama Bangsa

Konsen dan Istiqamah

Banyak orang mungkin masih heran dengan keputusan ini. Bukankah sebagai laki-laki Pak Yai berada di pihak yang diuntungkan oleh relasi gender yang timpang? Bukankah sebagai laki-laki Pak Yai tidak rentan menjadi korban ketidakadilan gender? Lalu untuk apa menyibukkan diri dengan tafsir yang adil gender? Inilah bedanya.

Bagi Pak Yai, ketidakadilan gender bukanlah masalah perempuan semata, melainkan masalah kemanusiaan. Tafsir agama yang melemahkan perempuan sesungguhnya tidak hanya berdampak buruk pada perempuan, melainkan lebih luas pada sistem kehidupan manusia, termasuk laki-laki. Jika Islam adalah rahmat bagi manusia, maka tafsir atas Islam mesti menjadi rahmat bagi perempuan.

Pilihan untuk tekun dan istiqamah dalam isu keadilan gender Islam bukanlah pilihan mudah. Stigma sebagai agen Barat dan pemikir liberal belum seberapa. Pemikiran Kiai Husein berkali-kali “diadili” karena dipandang nyeleneh.

Pihak yang mengadili pun tidak sembarangan. Salah satu bukunya bahkan dilarang di Negeri Jiran. Apakah hal ini menyurutkan langkah Pak Yai? Nyatanya Pak Yai terus berjalan membawa keyakinannya bahwa Islam adalah agama yang memanusiakan, baik pada laki-laki maupun perempuan. Pak Yai telah lulus sidang munaqasyah universitas kehidupan.

Bagiku, Kiai Husein memanglah Guru Besar. Ia telah memberi teladan penting bagaimana memegang sebuah prinsip dengan teguh, dan tidak surut langkah menghadapi risikonya.

Dalam kondisi tertentu, sejujurnya aku sendiri kadang merasakan nyaris putus asa. Betapa tidak? Ikhtiyar untuk menghadirkan keadilan Islam atas perempuan sebagai konsekuensi iman pada Allah sebagai Dzat yang  Maha Adil tidak hanya pada laki-laki tapi juga perempuan malah dituduh menentang Islam.

Dalam kondisi seperti ini, maka keberadaan figur seperti Pak Yai ikut membangkitkan semangat lagi dan batal putus asa.

Selamat atas penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dari UIN Walisongo Semarang untuk sang Guru Besar Universitas Kehidupan: al-Mukarram KH. Dr (Hc) Husein Muhammad, beberapa waktu yang lalu.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

 

Dr. Nur Rofiah Bil Uzm, M.Sc, Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Alumni Ankara University, Turki.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru