25.4 C
Jakarta

Yahya Staquf dan Konsolidasi Politik Perdamaian Internasional

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuYahya Staquf dan Konsolidasi Politik Perdamaian Internasional
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul: Biografi KH. Yahya Cholil Staquf: Derap Langkah dan Gagasan, Penulis: Septa Dinata, Penerbit: LKiS, Tahun: 2022, Tebal: x + 138 halaman, ISBN: 978-623-7177-85-2, Peresensi: Muhammad Syaiful Bahri.

Harakatuna.com – Meringkas pemikiran dan perjalanan hidup Gus Yahya, sapaan akrab KH. Yahya Cholil Staquf dalam satu buku merupakan pekerjaan yang cukup berat. Beliau adalah pribadi yang kompleks. Apalagi ketika dikaitkan dengan salah satu organisasi besar dunia: Nahdlatul Ulama. Gus Yahya mempunyai sinyal kuat dalam satu dekade terakhir. Peran beliau mampu bersinar di kancah internasional.

Hadirnya buku Biografi KH. Yahya Cholil Staquf: Derap Langkah dan Gagasan yang diterbitkan LKiS menjadi penanda dari keberhasilan Nahdlatul Ulama dalam mencetak kader yang tidak hanya berkutat dalam literatur kitab klasik, tetapi mampu mengolaborasikan dengan pisau analisis sosiologi. Sehingga perca-perca pemikirannya sebagai kaum sarungan tetap mampu memosisikan diri dalam percaturan Islam internasional.

Gus Yahya, sebagai cendekiawan muslim merasa terpanggil dalam perkembangan isu-isu keagamaan, khususnya bagaimana NU hadir untuk menyikapi setiap fenomena yang hadir belakangan. Pemikiran keagamaan yang ditawarkan Gus Yahya cukup tajam dan realistis (hlm. vi).

Tak heran bila pandangannya sering ditolak oleh kalangan pesantren dan NU sendiri. Sebaliknya, Gus Yahya dengan kokoh mempertahankan pemikiran yang diwariskan Gus Dur dalam membela kaum marjinal dan menyuarakan perdamaian di dunia internasional.

Sebagai anak ideologi Gus Dur, Gus Yahya merasa beruntung lebih awal dikenalkan dengan wacana global. Kedekatan dengan Gus Dur mengilhaminya untuk membangun jejaring ke dunia internasional. Apalagi gagasan yang ditawarkan Gus Yahya cukup relevan dengan isu yang sedang berkembang. Tentu, peranan ini tidak lepas dari aktivitasnya sejak kecil, tumbuh di lingkungan pesantren, nyantri di Krapyak Yogyakarta di bawah asuhan KH. Ali Maksum, kemudian melanjutkan ke Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Kiprahnya di dunia internasional dimulai sejak tahun 2011, dan mulai kerap keluar masuk Amerika dan Eropa pada tahun 2013. Selain warisan aktivisme dari Gus Dur kepada Gus Mus (paman Gus Yahya), yang kemudian diserkahkan sepenuhnya kepada Gus Yahya. Beliau juga terlibat bersama Gus Mus, pak Holland dan Borden Hans dalam pendirian organisasi Bayt Ar-Rahmah yang bertujuan untuk menumbuhkembangkan Dakwah Islam Rahmatan Lil ‘Alamin (hlm. 72).

Lebih lanjut, Gus Yahya mencoba memperluas sinyal aktivisme di dunia global bersama beberapa tokoh yang konsisten mengawal isu-isu perdamaian lintas agama. Kemudian Gus Yahya, menginisiasi berdirinya organisasi yang mempererat kesadaran atas dasar kehidupan bersama: Center for Shared Civilizational Values (CSCV) bersama Gus Mus, Gus Yaqut dan Pak Holland. Dari sini kita akan menambal setiap sisi yang belum dipublikasikan dari sosok Gus Yahya, yang baru-baru ini menjadi nakhoda baru Nahdlatul Ulama.

Seperti yang kita tahu, bahwa publik sempat digegerkan atas kedatangan Gus Yahya di forum American Jewish Committee (AJC) tahun 2018 lalu. Agenda tersebut mendapat reaksi dari kalangan umat Muslim di Indonesia, lebih-lebih dari organisasi NU. Gus Yahya merasa terpanggil untuk memberikan peta perjalanan ke Israel kepada para kiai di pesantren.

BACA JUGA  Benarkah Plularisme Agama Itu Ideologi yang Cacat?

Sebab Muslim di Indonesia masih belum mendapatkan kursi dalam wacana internasional. Maka, kehadiran Gus Dur, Gus Mus dan Gus Yahya sendiri merupakan salah satu cara untuk menawarkan gagasan Muslim Indonesia ke wilayah internasional.

Dunia cukup dinamis, di dalamnya banyak perubahan yang silih-berganti, dan kita terkadang tidak siap untuk bertarung. Perubahan membutuhkan respons yang tepat, sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Tentu respons terhadap perubahan ini bukan ujug-ujug hanya sebagai kerja untuk menggugurkan kewajiban.

Lebih dari itu, para ulama dengan fatwa-fatwanya merupakan ijtihad untuk merespons perubahan zaman (hlm. 87). Gus Yahya merasa terpanggil untuk merespons setiap perubahan yang terjadi, baik skala nasional atau pun internasional.

Ada empat model perubahan dalam peradaban manusia dewasa ini: perubahan tata politik, perubahan demografi, perubahan standar norma dan globalisasi. Untuk menjawab setiap perubahan yang terjadi, Gus Yahya kembali menyentak ingatan kita terhadap apa yang dikatakan oleh KH. Ahmad Siddiq tahun 1948, yaitu: Kita harus menegakkan tidak hanya Ukhuwah Islamiyah, tetapi juga Ukhuwah Wathaniyah dan Ukhuwah Basyariyah. Gus Yahya berpandangan bahwa tiga tali persaudaraan ini sangat relevan dengan kondisi hari ini.

Untuk sampai pada cita-cita luhur perdamaian tidak cukup hanya bermodal kesadaran atas persaudaraan atas dasar agama (Islam) dan juga tali kebangsaan (nasionalis), melainkan membutuhkan kesadaran bersama atas pentingnya rasa solidaritas kemanusiaan.

Sebab dengan tingginya solidaritas kemanusiaan, semua model konflik dan perbedaan kultur bisa direndam. Gus Yahya memandang bahwa Ukhuwah Basyarih menjadi modal NU dalam membangun peradaban dunia yang damai dan sejahtera.

Gus Yahya berpandangan bahwa agamawan sepatutnya mulai memikirkan apa yang bisa agama sumbangsihkan terhadap konflik yang terjadi di dunia. Dalam artian Gus Yahya memberi ruang terhadap agamawan untuk mencari solusi atas realitas perubahan dan fenomena keberagamaan yang menimpa umat beragama. Bukan malah menjadikan agama sebagai senjata untuk menyulut api dan kemudian membakar rumah ibadah, dan iman setiap pemeluk agama. Di sinilah agama sebagai Rahmah benar-benar diuji.

Buku ini layak untuk dibaca oleh santri, kader NU dan umat Muslim di Indonesia. Sebab dalam buku yang ditulis Septa Dinata, pembaca akan diperlihatkan dengan gagasan cemerlang Gus Yahya dalam misi perdamaian di dunia. Meskipun buku tipis ini tidak memotret secara keseluruhan gagasan dan kiprah Gus Yahya, tetapi setidaknya bisa menjadi pelengkap literatur tentang tokoh muslim yang mempunyai pengaruh di dunia internasional.

Muhammad Syaiful Bahri
Muhammad Syaiful Bahri
Santri PPM Hasyim Asy’ari Yogyakarta, Aktif di Lingkaran Kajian Culture, Humanity and Religion di Lesehan KUTUB Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru