31.8 C
Jakarta

Women Narrative Therapy dan Balancing Power: Strategi Redusir Ideologi Intoleran, Radikalisme dan Terorisme

Artikel Trending

KhazanahPerempuanWomen Narrative Therapy dan Balancing Power: Strategi Redusir Ideologi Intoleran, Radikalisme dan...
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Jejak teror yang ditinggalkan atas kontribusi Jack, teroris Bom Bali I tahun 2002 silam, masih menyisakan duka mendalam bagi keluarga korban masa lalu. Dikutip dari Suara Merdeka, Jack yang bernama asli Joko Triharmanto alias Harun ini, ditangkap pada 2004 dan didakwa menyembunyikan buron dan barang bukti. Jack mengklaim dirinya memiliki keahlian merakit bom berbekal ilmu yang diajarkan oleh Dulmatin dan mengatakan dirinya juga sebagai tangan kanan gembong teroris Dr. Azhari dan Noordin M Top dalam merakit bom.

Jack yang dikenal dulunya sebagai kombatan JI, kini aktif melakukan reintegrasi dengan masyarakat melalui pendekatan sosial dan ekonomi bersama Yayasan Gema Salam yang berdiri sejak tahun 2018 dan beranggotakan di antaranya 50 eks-napiter dari DIY dan Jawa Tengah. Ia juga saat ini proaktif mengikuti upaya deradikalisasi baik lewat penyuluhan, sarasehan, dialog, maupun berbagi pengalaman miliknya.

Hal-hal positif yang timbul dari dirinya ini, tidak lepas dari akibat intervensi keluarganya terutama istri dan ibunya guna mengintegrasikannya kembali dengan kehidupan normal pasca bebas bersyarat pada Tahun 2008 silam.

Joko tersadar buah hasil dari tangisan, keberterimaan (acceptability), kesabaran istrinya yang bernama Siti Atikoh. Selain tangisan Atikoh, Tumirah (75 Tahun), ibu dari Joko juga menyadarkannya untuk kembali ke jalan yang benar. Tumirah menggunakan pendekatan yang sama dengan Atikoh, memberikan nasihat-nasihat secara berkala melalui surat dan line telepon saat Joko masih di balik jeruji besi.

“(Kembali sadar karena) faktor simbok, dia selalu menasihati saat dipenjara. Lewat telepon yang dipinjami penyidik dan surat. Dia selalu mewanti-wanti dan nasihati hingga akhirnya saya sudah niat untuk ikut nasihat orang tua. Dan bisa kembali dari jalan tidak benar,” kata Joko.

Atikoh dan Tumirah berhasil menyadarkan Joko melalui pendekatan lunak (soft approach) berupa pendekatan emosional (emotional approach) sebagai bagian dari women narrative therapy. Narrative therapy atau terapi naratif merupakan pendekatan yang berguna dalam pengobatan depresi yang memungkinkan seseorang untuk ‘menulis ulang’ kisah hidupnya dengan berfokus pada interpretasi positif dan emosi positif.

Dengan pendekatan ini, Joko Triharmanto akhirnya menyadari pentingnya makna keberadaan support keluarga untuk mengembalikan dirinya menjadi manusia yang baik dan bermanfaat.

Di sisi lain, adanya keberterimaan atas apa yang sudah dialami oleh suaminya, atau anaknya, yang berkontribusi dalam aksi teror di atas, menunjukkan keikhlasan keduanya, istri dan ibu, untuk menerima apa yang telah terjadi dan menerima kembali kehadiran anaknya dan merangkulnya kembali untuk menjalani kehidupan dengan normal. Intervensi yang dilakukan oleh seorang istri dan ibu ini adalah kontribusi nyata bagi keduanya untuk meredusir ideologi intoleran, radikalisme dan terorisme secara internal melalui women narrative therapy.

Dalam konteks teori Acceptability, asumsi Family Intervention (FI) milik Marchal B, Dedzo M, Kegels G (2010) menjadikan keluarga inti sebagai ‘alat intervensi’ yang tidak bisa bekerja secara langsung namun terdapat mekanisme serta dorongan konteks-konteks tertentu untuk meredusir sikap seseorang menjadi yang diharapkan.

BACA JUGA  Menelaah Film “13 Bom di Jakarta” dalam Perspektif Perempuan

Berkat Acceptability dan approach yang dilakukan anggota keluarga intinya yaitu istri dan ibunya, Jack saat ini sudah menjadi bagian dari NKRI.  “Saya sudah taubat. Rekan-rekan saya lain yang juga mantan napiter (napi teroris) melakukan hal yang sama. Saya sudah kembali ke NKRI,” ujarnya.

Dengan kata lain, acceptability dan approach menjadi dua hal yang penting dalam menunjukkan balancing power atau penyeimbangan kekuatan peran perempuan untuk mengintegrasikan suaminya, eks-napiter, kembali menjalani hidupnya secara normal bebas dari kebencian, kekerasan, dan keinginan untuk melakukan aksi teror.

Women Balancing power sendiri adalah penyeimbangan kekuatan. Dalam kajian gender, bermakna adanya egalitarian relationship antara perempuan dan laki-laki dan bisa juga didefinisikan sebagai representasi dari kehadiran perempuan dalam menyuarakan aspirasinya untuk setara dengan laki-laki dalam berbagai hal.

Kaitannya dengan balancing power, ini bisa dilakukan perempuan dalam hal bagaimana dirinya menyuarakan pendapat, membuat keputusan, dan juga memengaruhi orang lain—melalui suatu pendekatan/approach—untuk tujuan tertentu dalam suatu komunitas bersistem patriarkat.

Sehingga penyeimbangan kekuatan ini bisa difungsikan juga sebagai upaya penyetaraan peran perempuan sebagai powerful agents of change, dalam pelibatannya melakukan pendekatan deradikalisasi, kontra naratif, dan juga pendampingan untuk suaminya atau kerabat dekatnya yang terpapar ideologi intoleran, radikalisme dan terorisme.

Pendekatan women balancing power ini diharapkan menjadi guideline para think-tank di bidang kajian gender dan terorisme untuk membuka ruang-ruang diskusi memperkuat pendekatan ini guna mereduksi gender inequality dan meningkatkan upaya integrasi peran perempuan dalam deradikalisasi, kontra narasi, dan pendampingan.

Dikutip dari Kompas, Joko Triharmanto mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk membangun NKRI dan terhindar dari paham ideologi intoleran, radikalisme, dan terorisme. “Harapannya ke depan kita semua bisa bersinergi gotong royong dan bahu membahu membangun NKRI”. Ucapan lisan ini bagian dari kesuksesan peran istri dan ibunya Joko Triharmanto menyadarkannya untuk kembali menyuarakan Pancasila dan menyebarkan pesan-pesan damai kepada dunia.

Kesuksesan yang terus berlanjut ini, adalah bukti konkret di mana peran perempuan yang awalnya bisa berpotensi berperan sebagai perekrut, fundraiser, campaigner, bahkan menjadi perpertrators atau pelaku bom bunuh diri, juga bisa menunjukkan perannya melalui Women Balancing Power dan Family Intervention untuk pendampingan mantan napiter, dalam hal ini suami dan orang terdekatnya, sebagai aktor-aktor kontra naratif dan kontributif menjadi bagian dari pendekatan deradikalisasi dalam keluarga.

Siska A., M.Han
Siska A., M.Han
Pengamat dan Analis Kajian Gender dan Kontra Radikalisme Terorisme

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru