30.1 C
Jakarta

WNI, ISIS, dan Militansi Terhadap Terorisme

Artikel Trending

Milenial IslamWNI, ISIS, dan Militansi Terhadap Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Lima WNI diumumkan sebagai fasilitator keuangan ISIS yang beroperasi di Indonesia, Suriah, dan Turki. Kelimanya disebut memainkan peran kunci dalam memfasilitasi perjalanan para ekstremis ke Suriah dan daerah lain lokasi ISIS beroperasi. Mereka adalah Dwi Dahlia Susanti asal Tasikmalaya, Rudi Heryadi asal Sawangan Depok, Ari Kardian asal Tasikmalaya, Muh Dandi Adhiguna asal Cianjur, dan Dini Ramadhani asal Tegal. Dua di antara mereka sudah diproses hukum, bahkan sudah bebas.

Rilis AS tersebut sebenarnya relatif lambat, karena pendanaan pada ISIS sudah sejak lama terjadi. Itulah kenapa dua dari lima WNI itu sudah dipenjara bahkan bebas. Rilis Selasa (10/5) kemarin bertepatan dengan pertemuan ke-16 Counter ISIS Finance Group (CIFG) Global Coalition to Defeat ISIS. AS, Italia, dan Arab Saudi ikut memimpin CIFG, yang terdiri dari hampir 70 negara dan organisasi internasional, dan mengoordinasikan upaya melawan jaringan dukungan keuangan ISIS di seluruh dunia.

Menanggapi sanksi AS sedang santer dibicarakan, BNPT menegaskan bahwa WNI tersebut memang  terlibat jaringan Foreign Terrorist Fighters (FTF). BNPT akan menindaklanjuti sesuai dengan otoritas dan wewenang yang ada dalam UU No 9 Tahun 2013, melalui mekanisme Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Terorisme (DTTOT). Profil kelima WNI tersebut sedang dalam sorotan, sekaligus jadi fakta baru tentang ISIS dan simpatisannya di Indonesia. Ini menarik.

Sebab, orang Indonesia dengan ISIS memiliki relasi yang relatif dekat. Bahkan, para mujahidin teroris dari Indonesia lebih senior daripada ISIS, melalui akademi militer di Afghanistan di bawah komando Al-Qaeda. Pemerintah sendiri, melalui BNPT dan Densus 88, sangat masif melakukan kontra-terorisme melalui pendekatan keras dan pendekatan lunak-persuasif. Tetapi, mengapa kebijakan yang sangat ketat masih belum mampu memusnahkan militansi terhadap terorisme?

WNI yang tertangkap basah mendanai ISIS dan mendapat sanksi dari AS merupakan segelintir orang yang terjerumus ISIS sejak 2014 lalu. Di antara mereka ada yang sudah dikembalikan ke Indonesia, dan lainnya kebanyakan terjebak di Suriah karena membakar paspornya. Mereka yang jadi fasilitator finansial ISIS jelas sudah tidak mau ke Indonesia, sehinggan status ke-WNI-annya juga harus dihapus; mereka semua tidak lebih dari budak ISIS belaka.

WNI Budak ISIS

Budak ISIS di Indonesia, berdasarkan fungsinya, ada dua macam. Pertama, budak perang. Mereka adalah para teroris yang mendeklarasikan diri ke ISIS pada tahu 2014 silam, dipimpin oleh Aman Abdurahman yang notabene Amir JAD. Budak perang ISIS menyebut diri mereka para penolong Daulah, yakni segerombolan teroris yang membaktikan kehidupannya hanya untuk perang membantu ISIS di Suriah yang dianggap telah mendirikan Negara Islam.

BACA JUGA  War Takjil: Potret Kerukunan Antarumat yang Harus Dilestarikan

Kedua, budak uang. Dalam perspektif pendanaan terorisme, donatur memegang posisi cukup krusial tentang eksistensi suatu kelompok teror. Artinya, tanpa crowdfunding, mustahil terorisme akan berlangsung. Karenanya, membantu pendanaan merupakan bagian inheren dari militansi terhadap terorisme itu sendiri. Baik budak perang maupun budak uang, keduanya memiliki kesamaan primordial: sama-sama budak ideologi teror.

Apakah di Indonesia ideologi teror identik dengan ISIS? Sama sekali tidak. Teroris JI beberapa waktu lalu juga sempat menghebohkan publik melalui penemukan ribuan kotak amal yang ternyata digunakan untuk mendanai terorisme. Militansi terhadap terorisme di Indonesia telah menjadi penyakit kronis WNI, dan berdampak buruk terhadap persatuan dalam NKRI. Karena ulah budak terorisme itulah negara ini tercoreng di mata internasional. WNI budak ISIS, dalam hal ini, mewariskan citra buruk bagi NKRI.

Sebaran ISIS di Indonesia, Turki, dan Suriah bersatu melalui pendanaan. Karena itulah, menyikapi WNI yang bergabung ISIS dan militansi besar mereka terhadap terorisme membutuhkan upaya integratif ketiga negara. AS tidak perlu dilibatkan, melihat citra buruk mereka di mata sementara umat Islam. Artinya, kontra-ISIS harus dilakukan dengan melibatkan otoritas lokal terkait dan fokus utama untuk menyingkap habis pendanaan (funding) terorisme.

Funding Terorisme

Kotak amal bodong dan narko-terorisme sangat fimiliar ketika berbicara soal pendanaan terorisme. Namun, dua metode pengumpulan dana tersebut sangat riskan, mudah dilacak, dan biasanya digunakan oleh kelompok teror di negaranya sendiri. Sementara itu, pendanaan internasional selalu mengandalkan jemaahnya yang dermawan, dialirkan secara personal melalui transaksi yang sangat rahasia. Metode ini relatif aman untuk ISIS yang gerakan transnasionalnya melintasi lebih dari 40 negara.

Selama ini, kontra-terorisme identik dengan kontra-radikalisasi, dengan menganggap sisi pendanaan sebagai sesuatu yang diatasi belakangan. Upaya preventif difokuskan untuk menghapus doktrin radikal-teror dari seseorang, namun sering kali mengabaikan bagaimana militansi mereka untuk terorisme dari sisi pendanaan. Pada akhirnya, di kalangan WNI, ISIS tetap eksis, dan hanya sedikit yang berhasil mengungkap skandal crawdfunding-nya. Militansi terhadap terorisme sepertinya akan tetap berlangsung dalam waktu yang tidak diketahui kapan berakhirnya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru