30.9 C
Jakarta

Serial Pengakuan Eks Napiter (XII): William Maksum yang Terjebak Aksi Terorisme

Artikel Trending

KhazanahInspiratifSerial Pengakuan Eks Napiter (XII): William Maksum yang Terjebak Aksi Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Saya, William Maksum, asal Bandung memang lulusan master alias strata dua. Tingkat pendidikan yang secara rasional bakal selamat dari segala pemikiran yang jahat ternyata tidak menjamin saya, sehingga saya tidak sadar terpapar pada sebuah paham radikal atau terorisme.

Tepatnya tahun 2010 saya masih ingat dengan jelas, saya bergabung sebagai anggota JAT (Jamaah Anshorut Tauhid) yang dipimpin oleh Ustaz Heri. Lewat satu ustaz ini saya belajar banyak tentang Islam. Meski, saya sendiri terjebak dalam perangkap Islam garis keras alias ekstrem.

Ustaz Heri mengajarkan saya tentang beberapa hal: tauhid, tazqiyatun nufus, dan jihad. Bagi Heri, tauhid menjadi suatu keharusan bagi setiap individu dan kemudian berbuntut pada penekanan berjihad secara individual juga. Jihad secara individual menunjukkan jihad itu bersifat fardu ain. Masing-masing orang wajib berjihad. Jika tidak, maka akan menerima konsekuensi dosa dari Sang Pencipta.

Jihad bagi Ustaz Heri diekspresikan dalam bentuk peperangan untuk menegakkan kalimah Allah (li i’la’i kalimatillah). Jihad ini dapat pula dicurahkan, baik secara lisan, perbuatan maupun secara harta untuk melawan musuh-musuh Allah. Sedang, musuh Allah yang ada dalam benak saya dan juga ustaz yang mengajari saya adalah orang kafir dan orang musyrik.

Bukan suatu hal yang asing mendengar istilah kafir. Saya pikir sebutan “kafir” banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Inilah yang semakin menguatkan keyakinan saya mendengarkan fatuwah Ustaz Heri tekait kafir itu. Siapa sebenarnya yang dapat disebut orang kafir?

Saya bersikukuh kafir itu adalah orang-orang yang beragama di luar Islam alias non-muslim. Lebih dari itu, kafir adalah orang yang tidak tidak menggunakan hukum Allah. Indonesia dapat digolongkan sebagai negara kafir, karena negara ini tidak menerapkan hukum Allah, melainkan hukum manusia yang merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum agama, dan hukum adat.

Kafir-mengkafirkan karena persoalan hukum sesungguhnya sudah terjadi jauh sebelum saya mendengar fatuwah Ustaz Heri. Tepatnya pada masa kepemerintahannya Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib, datang kelompok Khawarij, yang keluar dan membenci keputusan tahkim yang diambil oleh Ali dan Muawiyah saat itu.

BACA JUGA  Serial Pengakuan Eks Napiter (C-LI-XXXVII): Aksi dan Dukungan terhadap Eks Napiter Salsa Bangkit dari Stigma Teroris

Kelompok Khawarij berpikir Ali dan Muawiyah beserta pengikutnya kafir karena mereka menerapkan hukum manusia, bukan hukum Allah. Klaim kafir ini dipahami dari pesan Al-Qur’an secara tekstual. Bunyinya, “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS. al-Maidah/5: 44).

Ustaz Heri menegaskan, orang kafir seperti orang-orang yang duduk di pemerintahan/eksekutif dan legislatif di Indonesia wajib diperangi. Salah satu cara memerangi mereka dengan peledakan bom atau lebih akrab disebut aksi terorisme. Saat itu saya tidak berpikir banyak dengan akal sehat sebelum semuanya menjadi bubur.

Sampai kemudian saya melakukan aksi-aksi terorisme di berbagai wilayah di Indonesia. Sempat sebelum itu saya dan teman-teman merakit bom setelah melakukan pertemuan di daerah Situ Gintung Jakarta. Tepat tahun 2012 saya dan teman-teman naik Gunung Kamojang untuk membahas nama kelompok, kajian, sekaligus membuat bom rakitan di puncak gunung dengan berkemah.

Sekian aksi terorisme tersebut mengantarkan saya mendekam di balik jeruji besi. Saya yang saat itu berusia 36 tahun mendapat hukuman di Lapas Besi Nusakambangan, Jawa Tengah. Saya terpidana dua belas tahun. Selama di penjara ini saya terus melakukan refleksi atas perbuatan yang telah saya lakukan. Hal positif apa yang telah saya dapat? Kurang lebih begitu yang terbersit dalam benak saya.

Saya mulai menyadari perbuatan terorisme bukanlah cara terbaik dalam menegakkan agama Allah. Kafir memang disebut-sebut dalam Al-Qur’an, tapi kafir tidak dapat dialamatkan kepada orang-orang non-muslim. Kafir itu memiliki cakupan makna yang amat luas. Sehingga, saya sekarang mulai hijrah dari pemikiran radikalis-teroris menuju pemahaman moderat. Saya mulai mendukung sistem yang diterapkan di negara tercinta Indonesia.[] Shallallah ala Muhammad.

*Tulisan ini dinarasikan dari Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Website ruangobrol.id

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru