Harakatuna.com – Di tengah riuh-ramainya media sosial Indonesia, tagar #WeNeedKhilafah tiba-tiba menyeruak bak gelombang pasang. Gerakan tersebut mengklaim bahwa sistem khilafah adalah solusi ideal atas segala kegagalan demokrasi: korupsi yang menggurita, hukum yang tebang pilih, krisis kesehatan, pendidikan yang timpang, pengangguran yang meluas, hingga dominasi asing atas sumber daya alam.
Namun, di balik retorika yang terkesan “membela keadilan” itu, penulis menemukan benang merah yang mengkhawatirkan: infiltrasi ideologi ekstrem yang secara sistematis memanfaatkan kekecewaan publik untuk menanamkan narasi anti-kebhinekaan.
Fenomena semacam itu jelas bukan sekadar wacana. Di penghujung abad 20 hingga abad 21, terjadi pergeseran karakter umat Muslim Indonesia yang mengiris hati. Agama yang semestinya menjadi sumber toleransi dan perekat kebinekaan, perlahan diubah wajahnya menjadi momok yang menakutkan. Bagaimana mungkin Islam—yang dalam Al-Qur’an disebut rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi semesta alam—kini dikerdilkan menjadi alat legitimasi kekerasan dan intoleransi?
Data kasus kekerasan berdalih agama di Indonesia dalam dekade terakhir ibarat cermin retak. Mulai dari penyerangan tempat ibadah, diskriminasi terhadap minoritas, hingga kampanye radikal-teror yang menyusup lewat ceramah-ceramah dogma di pelosok desa. Ironisnya, pelaku kerap mengklaim diri sebagai pembela agama, kendati tindakan mereka justru menginjak-injak prinsip dasar semua agama: perdamaian.
Pertanyaan kritis perlu dilontarkan: benarkah Tuhan menurunkan agama untuk memicu konflik? Jawabannya tegas: tidak. Dalam surah Al-Maidah [5]: 32, Allah Swt. menegaskan, “Barangsiapa membunuh seorang manusia… seolah-olah ia telah membunuh seluruh umat manusia.” Ayat tersebut menjadi bukti bahwa agama, khususnya Islam, justru melarang kekerasan dalam bentuk apa pun. Lantas, mengapa masih ada kelompok yang bersikeras mengubah agama menjadi alat perang?
Faktanya, ini semua bukan persoalan teologis, melainkan politis. Para aktivis khilafah HTI memanfaatkan krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah untuk menyuntikkan ideologi transnasional. Mereka mengeksploitasi kemiskinan, ketimpangan, dan rasa ketidakadilan sebagai pintu masuk untuk menawarkan “solusi instan”: khilafah. Padahal, ia sama sekali tidak kompatibel dengan DNA Indonesia yang plural, di samping tidak punya landasan teologis sama sekali.
Indonesia Tak Butuh Khilafah!
Penting diketahui bersama, para pendiri bangsa ini bukanlah orang naif. Mereka sadar betul bahwa Indonesia adalah mosaik kompleks dari 17.000 pulau, 1.340 suku, 652 bahasa, dan 6 agama resmi. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika lahir bukan sebagai jargon kosong, melainkan kesepakatan luhur untuk merajut perbedaan menjadi kekuatan. Nilai itulah yang membuat Indonesia tetap utuh meski diterpa badai separatisme, kudeta, maupun konflik SARA sepanjang sejarah.
Namun, hari ini, benih-benih disintegrasi itu kembali muncul dalam bentuk baru: radikalisme yang menyamar sebagai gerakan keagamaan bertajuk “we need khilafah”. Mereka menawarkan khilafah sebagai alternatif sistem negara, tetapi dengan sengaja mengabaikan fakta bahwa Indonesia adalah darul ahdi, negara konsensus, yang dibangun atas konsensus seluruh elemen bangsa—bukan paksaan segelintir kelompok.
Penting digarisbawahi, konsep rahmatan lil alamin sering diklaim banyak pihak, tetapi jarang dipraktikkan secara utuh. Padahal, prinsip tersebut merupakan jantung ajaran Islam. Kata “Islam” sendiri berasal dari akar kata salima yang bermakna selamat, yang menekankan harmoni dalam tiga relasi: manusia-Tuhan (hablun min Allah), manusia-manusia (hablun min an-nas), dan manusia-alam (hablun min al-‘alam).
Nabi Muhammad Saw. diutus bukan untuk memaksa manusia masuk Islam, melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam, sebagaimana dalam surah Al-Anbiya’ [21]: 107). Ini tercermin dalam Piagam Madinah; konstitusi pertama dalam sejarah Islam yang menjamin hak hidup, beragama, dan berbudaya bagi Yahudi, Kristen, bahkan pagan. Sayangnya, narasi damai coba dikubur oleh kelompok radikal yang lebih suka mengutip ayat perang tanpa memahami konteks historisnya.
Di Indonesia, prinsip rahmatan lil alamin seharusnya diterjemahkan menjadi:
- Santun dalam bersikap, bahkan kepada yang berbeda keyakinan.
- Menolak kekerasan dalam segala bentuk dakwah.
- Menjaga lingkungan sebagai amanah Tuhan (QS. Al-A’raf [7]: 56).
- Merangkul budaya lokal selama tidak bertentangan dengan tauhid.
Khilafah itu Tidak Cocok!
Ini ada beberapa alasan. Pertama, secara historis, sistem khilafah klasik seperti Umayyah atau Abbasiyah penuh dengan pertumpahan darah, nepotisme, dan korupsi; mirip dengan masalah yang dikritik para aktivis HTI hari ini. Kedua, secara sosiologis, masyarakat Indonesia telah memiliki sistem musyawarah mufakat yang jauh lebih inklusif dibanding sistem monarki absolut. Ketiga, secara teologis, khilafah bukan ajaran Islam, melainkan produk sejarah yang telah using alias tak lagi cocok.
Yang lebih berbahaya, gerakan khilafah di tanah air itu berpotensi memecah-belah umat. Alih-alih menyelesaikan masalah, mereka justru menciptakan musuh baru: sesama Muslim yang dianggap “tidak cukup Islami”, non-Muslim, hingga pemerintah yang sah. Padahal, dalam hadis riwayat Bukhari, Nabi Saw. bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” Bukan yang paling gemar mengafirkan.
Untuk melawan propaganda khilafah, diperlukan strategi tiga lapis, yaitu ketegasan pemerintah menindak menindak konten radikal di medsos, sekaligus memperbaiki tata kelola negara untuk memutus kekecewaan publik; tokoh agama perlu menggaungkan kembali Islam yang ramah; dan masyarakat harus melek literasi digital untuk menyaring informasi, serta aktif merawat tradisi lokal seperti pela gandong di Maluku atau mapalus di Sulawesi yang menjadi contoh nyata harmoni.
Moderasi beragama bukan berarti kompromi pada prinsip, melainkan bijak dalam metode. Seperti kata Gus Nadirsyah Hosen dalam bukunya, “Islam Yes, Khilafah No!,”kKita bisa tetap setia pada ajaran Islam tanpa harus mencaplok sistem politik dari abad ke-7.
Agama mengajarkan kita untuk mencintai tanah air sebagaimana mencintai diri sendiri. Jika hari ini ada yang mengajak kita membenci Indonesia demi “kesetiaan pada agama”, maka sesungguhnya mereka telah mengkhianati kedua-duanya. Sebab, Indonesia—dengan segala kekurangannya—adalah bukti nyata bahwa Islam bisa hidup damai di tengah kebinekaan.
Sebagai penutup, mari renungkan pesan KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur,: “Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan tanya apa agamamu.” Itulah esensi sejati dari Islam rahmatan lil alamin.