27.4 C
Jakarta

Waspadai Bencana, Radikalisme Memuncak di 2022?

Artikel Trending

KhazanahPerspektifWaspadai Bencana, Radikalisme Memuncak di 2022?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Mengambil kesempatan dalam kesulitan adalah peribahasa yang tepat dinisbahkan bagi kelompok teroris pada masa-masa pandemi Covid-19 dan bencana lain yang melingkupi negeri kita. Sudah menjadi hal yang mafhum bahwa kelompok teroris terus konsisten dalam upaya-upaya mulai dari radikalisasi sampai perencanaan aksi serangan teror.

Hal ini juga dibuktikan dengan rangkaian penangkapan terduga teroris oleh Densus 88 dari berbagai level dan latar belakang, mulai dari eksekutor lapangan, trainee, hingga aktor intelektual pengumpul pendanaan termasuk dari latar belakang kelompok simpatisan Islamic State seperti Jama’ah Ansharut Daulah bahkan jaringan Jama’ah Islamiyah.

Ragam penelitian juga menggambarkan konsistensi bahkan peningkatan aktivitas kelompok radikal dan kelompok simpatisan teroris di dunia maya berupa rekrutmen dan propaganda menyusul pandemi Covid-19.  Pandemi dan kesulitan serta tantangan yang muncul dijadikan sebagai sebuah strategi rasional untuk dapat dimanfaatkan demi tujuan-tujuan radikalisasi.

Dari data yang ada, maka tentu kita patut bertanya, apakah radikalisme akan tumbuh subur dalam situasi bencana? Tentu pertanyaan ini tidak hanya menjadi relevan pada masa pandemi yang semoga segera berlalu, namun juga pada situasi bencana alam dan non-alam mendatang.

Jawaban pertanyaan tersebut dapat kita jumpai pada suatu diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Amanah Nurish, antropolog dari Universitas Indonesia memaparkan data menarik perihal bencana dan pengaruhnya pada paradigma beragama masyarakat.

Dalam risetnya, ia menyebut bahwa pada masyarakat terdampak bencana 79% masyarakat mengaku persepsinya tentang keagamaan berubah. Pada locus yang sama riset tersebut menunjukkan angka 68% persetujuan masyarakat untuk membentuk negara Islam di Indonesia.

Data dan analisis segar di atas memang tidak serta merta menunjukkan adanya peningkatan radikalisme beragama atau bahkan terorisme. Namun demikian data tersebut jelas menggambarkan kerentanan tumbuh subur paham radikalisme dan akhirnya dapat bermuara pada tindakan kekerasan berupa terorisme dengan permulaan kapitalisasi kondisi bencana yang mengubah persepsi beragama masyarakat terdampak.

Pertanyaan lanjutannya ialah mengapa bencana, bagaimana bencana dapat berhubungan pada peluang tumbuh suburnya radikalisme?

Bencana dan Kemarahan

Kelompok radikal dan simpatisan teroris kerap kali menggunakan rumus ketidakadilan dan kemarahan sebagai salah satu bahan bakar kampanyenya. Menurut Mughaddam (2005) menggambarkan kemarahan dan rasa atau persepsi ketidakadilan pada tangga awal menuju terorisme, pada tahap awal ini pula orang mengalami proses radikalisasi.

BACA JUGA  Mengonstruksi Ruang Digital yang Steril dari Ekstremisme-Terorisme

Proses menuju radikalisasi dalam tangga terorisme ini sangat berhubungan dengan rasa dan persepsi, tidak melulu harus merupakan suatu fakta. Sejalan dengan itu Kruglanski (2020) menyebut rumus kemarahan dan kekecewaan yang bertemu dengan sikap salah menyalahkan atau mencari kambing hitam adalah jalan radikalisasi menuju aksi terorisme.

Bencana, baik yang sifatnya fisik atau non fisik seperti Covid-19 kemudian berada dalam pusaran narasi kelompok radikal. Kita menjumpai narasi-narasi di ruang virtual bahwa bencana merupakan hukuman dari Tuhan atas kezaliman manusia yang tidak tunduk pada hukum Tuhan misalnya, framing ini terang berupaya menggiring persepsi yang menguntungkan kelompok radikal.

Framing sebagaimana konsep dasarnya untuk menggiring persepsi, memainkan peranan yang besar dalam proses lahirnya social movement atau menggerakkan orang, kebutuhan selanjutnya sebelum aksi ialah resource mobilization seperti pendanaan dan political opportunity structure, momentum, atau kesempatan, persis seperti rumus Kruglanski.

Narasi-narasi serupa pada masa bencana bahkan tidak hanya muncul di kalangan kelompok radikal dan simpatisan kelompok teror namun juga di kalangan masyarakat umum, belum lagi narasi yang sarat akan hasrat politik dengan mengerdilkan respons pemerintah pada penanganan bencana.

Framing ketidak hadiran negara adalah salah satu pintu masuk menuju kekecewaan. Hal ini, hasil riset, dan temuan lapangan lagi-lagi seharusnya menguatkan kewaspadaan kita pada potensi subur radikalisme dalam persepsi masyarakat di tengah bencana.

Kondisi ini juga didukung oleh kemajuan teknologi, internet dan konektivitas tanpa batas dalam genggaman gawai menjadikan proses radikalisasi tidak harus terjadi pada locus bencana, cukup melalui penyebaran di dunia maya.

Tumbuh suburnya radikalisme pada masa bencana tidak hanya perlu diwaspadai sebagai fenomena tunggal, melainkan sebagai siklus hidup terorisme. Layaknya menebar jala, dari proses radikalisasi sebagian besar orang pada akhirnya tidak terjaring dalam jebak terorisme, namun sedikit di antaranya tentu berpeluang ikut.

Oleh sebab itu penting bagi negara untuk hadir dalam situasi bencana, demikian pula bagi masyarakat untuk mawas diri dalam menyebarkan berbagai informasi kebencanaan dan waspada terhadap narasi sarat hasrat politik pada masa bencana.

Pada masa bencana sepatutnya kita bersatu padu dan saling mendukung. Semoga Indonesia jauh dari bencana pada tahun 2022 mendatang.

Prakoso Permono
Prakoso Permono
Sarjana Hubungan Internasional dan Magister Kajian Terorisme Universitas Indonesia

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru