26.8 C
Jakarta

Wasathiyah Islam, Makhluk Apakah Itu?

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuWasathiyah Islam, Makhluk Apakah Itu?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Hidup Bersama Al-Qur’an 1; Moderasi dan Tujuan Pendidikan Islam, Penulis: M. Quraish Shihab dan Najelaa Shihab, Penerbit: Lentera Hati, Terbit: April 2021, ISBN: 978-623-7713-64-7, Peresensi: M. Faidh Fasyani.

Harakatuna.com – Dalam konteks Indonesia tamsil keberagaman memang sudah tidak bisa dielakkan lagi. Di satu sisi, dengan karakteristik plural berupa bahasa, budaya, suku bahkan agama, tentunya menjadikan Indonesia sebagai negara yang mempunyai ciri dan gaya tersendiri dibandingkan negara lain.

Namun sisi yang lain, dengan keberagaman yang ada, tidak menutup kemungkinan akan menjadi faktor utama pecahnya suatu negara. Tentunya, ini akan terjadi jika dalam kultur dan dinamika kehidupan warga negara tidak ada harmoni dan rasa kasih sayang di antara setiap warga negara. Oleh karena itu, penting dalam menumbuhkan kedua sikap ini semata untuk tujuan mempertahankan dan merawat kerukunan serta menjaga stabilitas negara.

Menumbuhkan semangat moderasi beragama sudah lama menjadi proyek utama Menteri Agama Indonesia. Moderasi beragama diyakini sebagai solusi terbaik dalam mengantisipasi beragam potensi konflik di tengah dinamika kehidupan bernegara. Hampir di setiap kesempatan, Menteri Agama Indonesia sekarang, Yaqut Cholil Qoumas, menyampaikan akan pentingnya moderasi beragama dalam dinamika kehidupan warga bernegara, khususnya di Indonesia.

Jika hendak dirumuskan, moderasi beragama itu merupakan cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama, dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.

Namun lebih jauh tentang moderasi, ada satu buku menarik untuk dibahas yang mengulas lebih dalam terkait orientasi moderasi itu sendiri. Sebuah buku yang ditulis spesialis kajian tafsir Al-Qur’an ternama Indonesia yaitu M. Quraish Shihab sebagai hasil kolaborasi dengan putrinya Najelaa Shihab, berjudul Hidup Bersama Al-Qur’an 1, Moderasi dan Tujuan Pendidikan Islam (2021). Buku ini merupakan kumpulan dari berbagai rangkaian upaya pendidikan Islam sejak dini sebagai visi dan misi Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ), Jakarta, untuk membumikan Al-Quran di masyarakat plural.

Sebelum lebih jauh membahas moderasi, penting diketahui bahwa moderasi mempunyai kaitan erat dengan toleransi. Artinya, dalam upaya mewujudkan keharmonisan berbangsa dan beragama, dibutuhkan moderasi beragama sebagai sikap beragama yang tidak berlebihan. Lalu apa kaitannya dengan toleransi? Kaitannya adalah bahwa moderasi beragama adalah proses sedangkan toleransi adalah hasil dari segala proses. Artinya, toleransi lahir sebagai perwujudan dari sikap moderasi itu sendiri.

Lumrahnya, penyederhanaan yang paling sering dilakukan dalam hal ini adalah menyamakan moderasi dengan toleransi. Padahal, makna moderasi lebih jauh dan lebih dalam daripada sekadar menerima perbedaan yang ada. Makna moderasi lebih luas dari makna toleransi yang secara umum_sering dikaitkan dengan toleransi antar beragama.

Sama halnya dengan yang ada dalam buku ini, penyederhanaan lain yang juga sering ditemukan adalah membagi umat Islam ke kelompok yang berbeda. Padahal tantangan moderasi Islam dan umat Islam muncul setidaknya dua kecenderungan. Tentangan pertama, kecenderungan sebagian kalangan untuk bersikap ketat secara ekstrem dalam memahami hukum-hukum agama, dan mencoba untuk memaksakan cara tersebut dalam tamsil keberagaman yang ada, termasuk dalam Islam itu sendiri. Akibatnya, kekerasan-kekerasan menjadi jalan akhir dari pemaksaan tersebut.

Kecenderungan pertama, sebagian kalangan didorong oleh persepsi bahwa Islam dan umat Islam saat ini berada dalam fase kemunduran dan keterbelakangan di berbagai sektor. Kemudian, sebagai upaya untuk mengembalikan pada kejayaan Islam masa lalu, mereka beranggapan bahwa tidak ada cara lain selain kembali kepada tradisi masa lalu. Dalam artian, mereka kemudian mengutip Al-Qur’an, hadis, dan turats sebagai landasan dan kerangka pemikiran (Hlm. 2).

Implikasinya, karena dipahami hanya secara tekstual dan tidak didasari konteks kesejarahan, maka tak ayal sebagian mereka tampak seperti “generasi yang lahir terlambat.” Artinya, hidup di tengah masyarakat modern dengan cara pemikiran yang sudah tidak lagi relevan, dan selalu menafikan perkembangan dan perubahan zaman dari pemahaman keberagaman. Akibatnya, Islam juga ikut tervonis sebagai agama dan komunitas masyarakat yang eksklusif, menutup diri dari keberagaman.

Tantangan kedua yang terjadi di dunia, kecenderungan ekstrem dengan bersikap longgar dalam beragama, tunduk pada perilaku, serta pemikiran yang mengakibatkan Islam kehilangan jati dirinya. Semangat untuk mengedepankan Islam sebagai agama yang selalu adaptif terhadap perkembangan ruang dan waktu, telah mendorong sejumlah kalangan sudah mengimpor berbagai model pemikiran dari budaya dan peradaban asing, yang didominasi oleh pandangan materialistis semata.

BACA JUGA  Dinamika Zaman dan Sisi Lain Gerakan Radikal

Kedua pilihan di atas jelas tidak menggambarkan esensi ajaran dari Islam. Kedua sikap di atasse emperuncing polarisasi, juga jelas bertentangan dengan karakteristik umat Islam yang disebutkan Al-Qur’an sebagai ummatan wasathon (QS. Al-Baqarah: 2, 143).

Moderasi Bukan Sekadar Toleransi

Sisi ini barangkali menjadi yang menarik terkait pemaknaan moderasi yang lebih dalam. Bahwa moderasi yang bukan sekadar tentang toleransi. Setidaknya ada tiga poin yang dibeberkan dalam buku Hidup Bersama Al-Qur’an 1, Moderasi dan Tujuan Pendidikan Islam kolaborasi seorang ayah beserta putrinya, M. Quraish Shihab dan Najelaa Shihab.

Pertama, moderasi dalam akidah. Artinya, akidah Islam sejalan dengan fitrah kemanusiaan berada di tengah antara mereka yang tunduk pada khurafat dan mempercayai segala sesuatu walau tanpa dasar, dan mereka yang mengingkari segala sesuatu yang bersifat metafisik. Selain mengajak beriman kepada yang gaib, Islam juga mengajak akal manusia untuk membuktikan ajakannya secara rasional.

Hal ini bisa dilihat dalam Al-Qur’an, “Katakanlah (Nabi Muhammad SAW,): Tunjukkanlah bukti kebenaran kamu, jika kamu orang-orang yang benar,” (QS. Al-Baqarah: 2, 111). Demikian prinsip yang harus dipercaya, dalam keimanan tidak sampai mempertuhankan para pembawa risalah dari Tuhan karena mereka adalah manusia biasa yang diberi wahyu dan tidak menyepelekannya bahkan sampai membunuh urusan Allah.

Kedua, moderasi dalam ibadah. Artinya, Islam mewajibkan penganutnya untuk melakukan ibadah dalam bentuk dan jumlah yang terbatas. Misalnya saja, dalam buku tersebut disebutkan salat yang lima kali dalam sehari, puasa sebulan dalam satu setahun, haji sekali dalam seumur hidup, semuanya itu agar ada sebuah komunikasi antara manusia dengan Tuhannya. Selebihnya, mempersilahkan manusia untuk berkarya dan bekerja, mencari rezeki di permukaan bumi ciptaanNya.

Dalam konteks moderasi dalam ibadah, M. Quraish Shihab mencontohkannya dalam salat Jumat. Yang mana, dalam Al-Qur’an sendiri terdapat sebuah ayat di mana Allah tidak menyulitkan hambaNya beribadah di sela-sela mencari nafkah (QS. Al-Jumuah: 62, 9-10). Artinya jika datang waktu salat Jumat tinggalkan seluruh aktivitas dagang, dan setelah salat usai, maka lanjutkan aktivitas dagang tersebut dengan tujuan mendapatkan keberuntungan di dunia dan akhirat (Hlm. 6).

Ketiga, moderasi dalam akhlak. Dalam hal ketiga tersebut buku ini menjelaskan bahwa dalam proses penciptaan manusia pertama (Adam) dijelaskan bahwa Allah telah menciptakannya dari tanah, kemudian meniupkan dalam tubuhnya roh (QS. Shad: 38, 71-72). Kedua unsur tersebut memiliki hak yang harus diberikan penuh. Karena itu Rasulullah sangat mengecam keras sahabat beliau yang dianggapnya mengabaikan hak keluarga dan masyarakat, juga tubuh.

Rasulullah pernah bersabda, “Puasa dan berbukalah, bangun malam (untuk salat) dan tidurlah, sesungguhnya tubuhmu memiliki hak yang harus dipenuhi, matamu punya hak untuk dipejamkan, istrimu juga punya hak yang harus dipenuhi,” (HR. Bukhari dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash) (Hlm. 7).

Melalui hadis di atas inilah, Moderasi Islam yang lebih dalam sebenarnya tidak hanya selalu bermuara pada berbagai macam perbedaan yang bersifat niscaya, sebagaimana definisi pada umumnya. Tetapi lebih dari itu, moderasi Islam juga menitikberatkan terhadap hal-hal yang bersifat ubudiyah. Seperti Islam yang tidak mewajibkan penganutnya untuk beribadah terus menerus sebagaimana salat Jumat di atas. Artinya, antara ritual agama dan tanggung jawab mencari harus diposisikan secara seimbang.

Selain itu, Islam juga menitikberatkan agar bagaimana kita bisa bersikap “wasathiyah” tidak hanya dalam hal yang bersifat keagamaan atau paham keberagamaan. Lebih dari itu, “wasathiyah” harus juga dipahami sebagai sebuah esensi ajaran Islam yang sebenarnya, dalam segala lini dan dalam segala aspek. Termasuk juga memposisikan diri dalam pemenuhan hak-hak seperti dalam ranah moderasi dalam akhlak di atas.

Ala kulli hal, buku ini mengajak kita untuk memposisikan diri untuk selalu berada di jalan tengah dalam segala aspek. Buku dengan sajian tanya jawab ini, berisi pertanyaan dan jawaban tentang berbagai topik keagamaan beserta dengan dalil-dalil yang menyertainya. Buku ini cocok dibaca siapa saja bagi yang tertarik untuk membangun kebiasaan seseorang untuk berislam secara wasathiyah.

M. Faidh Fasyani
M. Faidh Fasyani
Santri PP Al-Anwar Sarang Rembang/Mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsir STAI Al-Anwar Sarang Rembang. Beberapa tulisannya telah termuat di beberapa media cetak dan online.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru